"Kamu tidak percaya?" selidiknya.
Aku mengernyit lalu menggeleng pelan. Perempuan itu menautkan dahi dan memajukan bibir bawah seperti kecewa. Aku tersenyum dibuatnya. Raut wajah itu sungguh menggemaskan, yang lantas tersipu malu. Kemudian kami saling menatap, perlahan mendekatkan wajah masing-masing dan ketika sudah sangat dekat, tanpa canggung lagi, kami mulai bercumbu.Â
****
Tiga tahun berlalu, tiga tahun pula kami bersama. Hampir tiap bulan aku pulang pergi Jakarta Bali hanya untuk menemuinya, menghabiskan waktu bersama di pondok ini. Terkadang pula aku pergi bersama kawan-kawanku yang lain untuk berlibur bersama. Kepada kawan-kawanku itu aku selalu membanggakan Nina sebagai kekasihku, sebagai perempuan yang kucintai. Sungguh tiga tahun yang paling indah.Â
Hingga masalah itu muncul. Atasanku akan memindahkan aku ke kantor cabang di Ankara, Turki. Dia memaksaku karena aku satu-satunya karyawan yang memenuhi syarat dan paling berkompeten untuk dikirim ke sana. Dia juga menjanjikan gaji tiga kali lipat jikalau aku mau.Â
Sesungguhnya aku tertarik dengan tawaran itu. Aku sempat merayu Nina agar ikut denganku ke Turki. Aku berusaha meyakinkannya bahwa kutukan itu semuanya adalah mitos belaka, dan kejadian meninggalnya kedua saudari Nina hanya kebetulan belaka. Namun, tetap saja Nina menolak. Bahkan dia mengancam untuk putus saja jika aku bersikeras.
"Keterlaluan kamu, Raga. Masa karena gaji yang lebih besar sampai tega mengingkari janjimu pada Nina," ucap Indra, kawanku, ketika aku mencoba meminta saran padanya.Â
"Lalu aku harus bagaimana?"
Sejenak lelaki itu terdiam, berpikir sambil menatapku agak serius. Dia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Bagaimana kalau kau beli pondok di Bali itu. Bukankah kau dulu sempat ingin menjadikannya kafe? Kau bisa tinggal di sana bersama Nina dan berhenti dari pekerjaanmu," ujarnya setelah isapan panjang dan mengembuskan asap ke udara.Â
Aku sedikit terkejut dengan idenya. "Kau yakin mau menjual pondok itu padaku?" tanyaku. Dia mengangguk. Aku tersenyum senang dan bangga punya teman seperti dirinya.
Aku membeli pondok itu dengan harga murah. Dengan uang tabungan dan uang kompensasi dari perusahaan, aku membangun sebuah kafe sekaligus tempat tinggal di pondok itu.