Ia tak meneruskan ucapannya dan langsung menaruh benda yang tadi diambilnya dalam tas tepat di meja sebelah kananku, kemudian segera pergi.Â
Sungguh aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Itu adalah sebuah kertas undangan pernikahan dengan nama Nina dan nama pria yang aku tahu adalah mantannya. Hatiku remuk ketika mengetahui kenyataan itu, seakan mendapatkan pukulan telak tepat di ulu hati. Perih. Aku menatap kertas undangan itu dengan air mata. Geram sekaligus sedih.Â
Di tanggal yang tercantum, aku memutuskan pergi ke pesta pernikahan itu. Dari jauh aku melihat perayaan pernikahan dengan adat Bali yang megah, persis seperti resepsi pernikahanku yang gagal dahulu. Aku melihat Nina tampak bahagia bersama pria itu. Belakangan aku tahu, selama ini Nina pergi menemui mantan kekasihnya yang sangat dia cintai ke Jepang. Rupanya dia sempat teryakinkan olehku bahwa kutukan itu hanya mitos. Ironi, Nina memilih kembali kepada mantannya berkat aku.
Sekali lagi, aku hancur.
****
Aku memutuskan untuk mengasingkan diri di pondok yang sudah dua tahun terbengkalai. Sudah berbulan-bulan aku di sini sendirian. Beberapa kali mencoba untuk bunuh diri karena berpikir untuk apa lagi aku meneruskan kehidupan ini. Terkadang seseorang yang aku kenal suaranya berbicara dari luar, bercerita tentang indahnya kehidupan di luar sana, dan menasihati agar aku menjadi orang yang lebih baik jika sudah keluar dari pondok ini.Â
Aku tahu itu suara Nina. Dia hadir seakan-akan berbicara padaku. Walau aku tahu dia hanya halusinasiku saja. Namun, kepadanya jua aku sering bercerita tentang "kita", tentang masa lalu dan kenapa aku berada di sini. Hanya untuk menjaga kewarasan yang hampir tak lagi kumiliki.Â
Hingga suatu hari, ketika sudah waktunya aku harus meninggalkan tempat ini.
Ada kekuatan aneh yang mengusikku untuk keluar. Suara aliran arus sungai terdengar tak biasa, seolah-olah meluap dan membanjiri pondok. Aku meringkuk di dalam tanpa bisa bergerak sedikit pun. Kemudian seseorang mendobrak masuk pondok. Tangan itu meraih tubuhku, memaksa untuk membawaku keluar.
Aku mendengar Nina berteriak kesakitan, bersama suara-suara lain terdengar seolah sibuk mengurusi sebuah kelahiran. Aku yang tak tahu apa yang sedang terjadi lalu menangis, karena hanya itu yang bisa kulakukan.
Hingga tak lama kemudian, aku menjadi lebih tenang, ketika aku merasa berada di pelukan dan mendengar detak jantung yang sangat kukenal.Â