Seorang tukang kayu memegang gergaji,
Mengendarai banteng, menguasai negeri.
Keluar dari gorong-gorong,
Dari pasar ke pelosok,
Dengan kemeja kotak-kotak diganti putih bersih.
Muka planga-plongo,
Di kira tulus, padahal makin diberi jabatan,
Makin serakah.
Muka polosnya hanya kamuflase,
Kekuasaan membutakan hatinya.
Banteng setia yang menemaninya disembelih,
Tanduk-tanduknya jadi kursi untuk anak sulungnya.
Tukang kayu yang dulu dikira cupu,
Kini berkamuflase sebagai suhu.
Aturan diganti demi si sulung berkuasa,
Tak cukup sampai situ, si bungsu juga minta jabatan,
Aturan dibongkar pasang demi nafsu berkuasa.
Beringin ditebang si tukang kayu,
Dijadikan tangga keluarga berkuasa.
Tapi semua ini bukan tentang tukang kayu.
Ahh sudahlah, tak perlu lanjutkan puisi ini.
Prittt... Prittt... Pritt... Kaburrr...
Takut diserang buzzer si tukang kayu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H