Mohon tunggu...
Hendra Wattimena
Hendra Wattimena Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Puisi | Perencanaan Wilayah | Politik | Olahraga | Isu Terkini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apa Nanti Urus Cerai Harus Pakai BPJS?

28 Februari 2022   19:39 Diperbarui: 2 Maret 2022   09:00 1540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bercerai. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Hubungan Aris dan Kinan saat ini sudah di ujung perceraian, sejak keberadaan  Lidya dalam kehidupan mereka. Semuanya benar-benar hancur berantakan. 

Diam-diam Mas Aris sudah membeli Penthouse seharga lima miliar buat Lidya dan pergi bersama keluar negeri ke tempat idaman Kinan di Cappadocia. Sungguh sangat menyakitkan hati Kinan ketika mengetahui kalau laki-laki yang sudah terlanjur dia percaya berkhianat dengan dia.

"Ok fine Mas, aku gak mau tau pokoknya kita cerai", kata Kinan dengan berlinang air mata.

"Tapi Kin, bagaimana mau cerai? Aku saja tidak punya BPJS kesehatan", jawab Mas Aris sedih.

"Tinggal kau buat Mas! Biar sekaligus bisa dipakai buat urus jual beli  tanah. Pokoknya rumah, tanah dan semua harta kita, mau aku jual." Sambil merengek, Kinan berlarian ke kamar.

Mas Aris yang lagi stres dengan hubungan keluarganya yang sudah di pinggir jurang, makin dibuat pusing. Bagaimana tidak? Bukan soal cerainya, tapi di pikirannya apa hubungannya coba antara BPJS dengan surat cerai sampai mau cerai harus pakai BPJS segala. 

Oh, apa mungkin dengan lampirkan BPJS perceraian mereka bisa lebih sehat?

"Ahhhhh... apa-apaan ini? Makin pusing aku dengan aturan pemerintah. Buat apa sih pakai lampirkan BPJS segala untuk urusan sesuatu yang tak ada kaitannya." Dengan kesal, Aris sedikit berteriak.

Serial
Serial "Layangan Putus". (Sumber: INSTAGRAM/LAYANGAN PUTUS MD) 
Cerita di atas, sudah tentu hanya cerita fiktif belaka yang diadaptasi dari film layangan putus. Cerita singkat tersebut, akan mengantarkan penjelasan kita lebih jauh mengenai polemik terkait dengan BPJS kesehatan yang akan dijadikan syarat untuk pelayanan Publik. 

Tulisan di atas, menggambarkan bagaimana banyak masyarakat yang begitu merasa aneh dengan kebijakan terkait BPJS kesehatan yang menjadi syarat dalam pengurusan jual beli tanah dan pengurusan layanan publik lainnya.

Tidak menutup kemungkinan jika nanti semua kegiatan berkaitan dengan pelayanan publik harus melampirkan fotokopi kartu BPJS dan harus menjadi anggota aktif serta tentunya iuran haruslah dibayar dulu. 

Termasuk dalam pengurusan surat cerai maupun mengurus pernikahan juga perlu adanya kartu BPJS. Jadi, kalau misalnya yang ingin cerai tidak menjadi anggota aktif BPJS, maka harus urus BPJS dulu barulah ke lembaga terkait mengurusi surat perceraian. 

Jika tidak punya, maka tidak akan dilayani oleh lembaga terkait. Kira-kira seperti itu gambaran singkat terkait BPJS yang mejadi syarat pelayanan publik.

Saya kemudian berpikir jika kelak nanti aturan ini berlaku, seorang lelaki yang ingin menikah maka ketika bertemu calon mertuanya pertama akan ditanyakan adalah seperti berikut:

"Nak, kamu mau nikah sama anak saya? Kamu benar-benar cinta? Kamu sudah punya BPJS belum?"

Saat dijawab tidak punya, langsung tidak direstui oleh bapak si perempuan. Hehehe... Jadi nanti, tidak ditanya lagi soal kerja di mana, gaji berapa, kalau nikah sanggup bayar mahar berapa, tapi yang pertama akan ditanya adalah terkait BPJS. 

Ya, kalau tidak punya BPJS, maka batal nikah dong. Mau urusan kemana-mana kan harus punya BPJS. Apakah kelak nanti pengurusan kita akan lebih cepat jika ada BPJS?

Tapi sebelum kita membahas lebih lanjut terkait persoalan ini, kita kemudian perlu mengetahui dulu terkait dengan kebijakan ini.

Mengapa sampai pemerintah perlu membuat kebijakan tersebut?

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com
Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan Intruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2022 terkait dengan  Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. 

Regulasi ini akan mulai berlaku sejak 1 Maret 2022 ditujukan kepada 30 Kementerian/Lembaga yang berkaitan dengan pelayanan publik. Pelayanan publik yang dimaksud seperti pengurusan SIM, STNK, SKCK, melaksanakan ibadah haji atau umroh, serta jual beli tanah. 

Warga yang hendak mengurusi surat-surat tersebut haruslah memiliki BPJS Kesehatan yang harus difotokopi lalu dilampirkan pada saat pengurusan.

Para menteri pun sudah presiden intruksikan agar bisa menindaklanjuti regulasi ini pada setiap pelayanan publik yang dilakukan, seperti pada Kementrian Agama yang mana BPJS kesehatan menjadi syarat bagi para calon jemaah umroh dan haji. 

Bagi mereka yang ingin menyelenggarakan ibadah haji, maka harus menjadi peserta aktif dalam program JKN. Bukan hanya itu, syarat yang sama pula diperlakukan kepada peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan baik formal maupun nonformal di lingkungan Kementerian Agama.

Kementerian lain yang kemudian ditekankan untuk menerapkan regulasi ini adalah Kementerian ATR/BPN dengan salah satu tupoksinya mengurusi perizinan di pertanahan. Bagi masyarakat yang ingin mengurusi dan melakukan transaksi jual beli tanah maupun bangunan, maka perlu menjadi anggota aktif BPJS dengan menyertakan bukti fotokopinya. 

Yang mana nantinya, dalam pelayanan hak atas tanah atau hak atas milik atas satuan rumah susun karena diperjual belikan, maka saat pengurusan nantinya perlu melampirkan fotokopi Kartu Peserta BPJS Kesehatan.

Sumber :K-link Indonesia
Sumber :K-link Indonesia
Kebijakan ini kemudian menimbulkan polemik di tengah kehidupan masyarakat. Akan tetapi, pemerintah beralasan dikeluarkan kebijakan tersebut sebagai suatu upaya dalam mengoptimalisasi kesehatan nasional supaya masyarakat 100% bisa mengikuti BPJS. 

Menyertakan BPJS ketika melakukan pelayanan publik merupakan suatu upaya pemerintah dalam membangun kesadaran masyarakat lewat cara sosiologis agar masyarakat mengikuti BPJS.

 Jika kita melihat RPJM 2020-2024, kepesertaan BPJS Kesehatan di tahun 2024 harus mencapai minimal 98%. Sedangkan, hingga saat ini kepesertaan masyarakat baru mencapai 85% dari total penduduk Indonesia. 

Makanya, Inpres tersebut dikeluarkan agar bisa mencapai target yang sudah disepakati bukan untuk mengatur publik.

Diyakini oleh pemerintah dengan  adanya kebijakan tersebut akan mendorong masyarakat berbondong-bondong membuat BPJS kesehatan, karena jika kembali kita lihat pada landasan undang-undang BPJS itu wajib harus digunakan oleh masyarakat. 

Menurut pemerintah, Inpres yang dibuat untuk nantinya mengatur bawahan presiden termasuk kepala daerah agar menjalankan apa yang sudah diamanatkan pada Undang-Undang. 

Sumber:PIxabay.com
Sumber:PIxabay.com
Kepesertaan masyarakat dalam program JKN sejatinya bersifat wajib, sejalan dengan mandat dalam Undang-Undang. Amanat Undang-Undang telah mewajibkan masyarakat agar menjadi peserta program JKN yang mana  merujuk pada UU SJSN pada 2004 dan juga UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 

Kemudian, UU BPJS pada 2011, Peraturan Pemerintah (PP) 86/2013, Instruksi Presiden (Inpres) 8/2017, Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 hingga Inpres 1/2022.

Maka dari itu, yang menjadi point penting disini adalah kebijakan ini dibuat sebagai upaya negara melindungi warga negaranya. Apalagai pada saat pandemi seperti saat ini, sudah tentu masyarakat sangat membutuhkan pelayanan kesehatan. 

Pendapat dari pihak pemerintah mengklaim jika masyarakat merasa tidak ada korelasi misalnya antara mengurus tanah dengan dilampirkan BPJS Kesehatan, maka mereka menganggap ini kurang tepat karena yang dilihat adalah bukan persoalan korelasinya namun optimalisasi dari BPJS itu sendiri, karena itu adalah rencana mulia dari negara dalam menghadirkan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia secara menyeluruh agar bisa melindungi dan menyelamatkan rakyat.

Oleh karena, kebanyakan masyarakat baru mau membuat BPJS ketika mereka sakit hal ini kan sudah terlambat. 

Seharusnya, mereka buat ketika masih sehat agar ketika sakit BPJS bisa membantu meringankan biaya pengobatan. Mungkin itu kira-kira beberapa alasan yang saya kemudian tangkap dari berbagai pandangan para pejabat pemerintahan.

Tepatkah Pemerintah Mengeluarkan Regulasi Tersebut?

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com
Sesuai dengan tujuan mulia pemerintah terhadap regulasi yang dikeluarkan tersebut dalam rangka melindungi seluruh lapisan masyarakat Indonesia agar semuanya sudah memiliki BPJS, bagi saya pribadi tujuan tersebut sangat begitu mulia. 

Akan tetapi, tujuan yang mulia dan benar tersebut jangan dilakukan dengan cara yang salah. Mengapa dikatakan salah? Mari kita menguliknya satu per satu!

Aturan yang dibuat oleh pemerintah ini seakan mengada-ngada dan sangat terkesan dipaksakan. Mereka ingin membuat aturan ini seakan untuk mencapai target namun tidak memperhatikan efek domino yang terjadi dari dikeluarkannya Inpres tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan permasalahan waktu.

Kebijakan yang baik, seharusnya ketika dikeluarkan harus memperhatikan waktu dan kondisi masyarakar saat ini serta tidak perlu terburu-buru lalu menyuruh masyarakat mengikuti kebijakan tersebut. 

Tetapi, harus memberikan rentang waktu untuk dilakukannya sosialisasi barulah kebijakan itu diterapkan sepenuhnya. Karena pada dasarnya, kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang dapat memberikan nilai-nilai yang baik terhadap masyarakat baik dalam meningkatkan kualitas hidup baik fisik maupun non-fisik.

Kita semua akan sepakat dengan tujuan dari dikeluarkannya Inpres ini. Akan tetapi, kebijakan tersebut dinilai kebijakan publik yang bersifat cerdas namun tidak bijak. 

Kebijakan publik yang dibuat, seharusnya cerdas dan bijak yang langsung mengena pada inti permasalahan di kehidupan masyarakat serta kebijakan tersebut harus memberikan harapan kepada masyarakat untuk menjadi lebih baik lagi.

Sumber: Medcom.id
Sumber: Medcom.id
Sebagai negara demokrasi, ketika ingin mengeluarkan suatu kebijakan publik perlu memperhatikan waktu dan kondisi masyarakat. Kondisi yang dimaksudkan adalah terkait dengan kondisi sosial ekonomi yang merupakan variabel sangat penting. 

Saat ini, masyarakat sedang dipusingan dengan berbagai permasalahan mulai dari masalah harga minyak goreng naik harga, kedelai impor naik harga, masalah Jaminan Hari Tua yang belum terselesaikan pembahasannya sampai dengan permasalahan pandemi yang belum-belum selesai. 

Kebijakan yang dibuat sekarang ini haruslah kebijakan-kebijakan yang membuat masyarakat bahagia bukan kebijakan yang membuat pro-kontra di tengah masyarakat.

Sekarang ini, masyarakat sedang pusing dengan permasalahan yang ada. Dikeluarkannya kebijakan ini membuat masyarakat panik dan bagi masyarakat yang tidak tahu akan makin dibuat bingung. 

Ini namanya niat baik, tetapi menggunakan cara buruk. BPJS itu baik untuk menyelamatkan masyarakat, melindungi dan sebagai tanda bahwa ada kehadiran pemerintah. 

Namun, mengapa harus dikaitkan dengan proses jual beli tanah? Ini menambah ruet regulasi. Akibatnya, pergerakan ekonomi orang ke orang menjadi terbebankan.

Coba kita pikirkan, apa hubungannya antara  hak kesehatan masyarakat dengan kepemilikan tanah? Ini merupakan dua hal yang tidak nyambung sama sekali. Kalau punya tanah untuk investasi pastinya  ada syarat NPWP. Nah, ini sangat masuk akal. Tetapi, kalau harus melampirkan BPJS kan ini dua hal yang sangat tidak sinkron.

Jika untuk meningkatkan optimalisasi  BPJS, pemerintah tidak usah membebani kementerian lain untuk kemudian membuat regulasi seakan-akan memaksakan masyarakat untuk mengikuti BPJS. 

Tetapi, yang perlu dilakukan adalah bagaimana pemerintah melakukan sosialisasi dari tingkat terendah hingga tertinggi agar masyarakat paham mengenai pentingnya BPJS. 

Tujuan dari regulasi inikan agar dapat mendorong kesadaran masyarakat. Jadi, tidak perlu dipaksakan. Jangan sampai tujuan yang mulia ini malah akan berakibat memberangus hak-hak masyarakat lainya.

Apa sih yang Perlu Pemerintah Lakukan agar Permasalahan Ini Bisa Teratasi?

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com
Jika tujuan pemerintah untuk mengoptimalisasi keikutsertaan masyarakat dalam mengikuti BPJS, maka pemerintah perlu terlebih dahulu mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik supaya masyarakat bisa mengikuti BPJS kesehatan tanpa perlu dipaksa-paksakan, karena kenyataanya masih sangat rendahnya kualitas pelayanan BPJS membuat masyarakat tidak tertarik mengikuti BPJS.

Menurunnya kualitas BPJS karena pelayanan yang diberikan berkualitas rendah. Apa yang diharapkan oleh para pengguna BPJS tidak seindah apa yang dijanjikan oleh BPJS. Jika pemerintah sudah meningkatkan kualitas pelayanan BPJS, maka masyarakat akan dengan sukarela mengikuti BPJS. Ibaratkan kita yang ingin makan di restoran akan kembali makan jika pelayanan yang diberikan oleh restoran tersebut baik. 

Jadi di sini, kesalahan besar dari pemerintah yang mana tidak mengevaluasi kinerja BPJS malah mengeluarkan kebijakan seakan-akan mendesak masyarakat untuk harus ikut BPJS, lah bagaimana masyarakat mau ikut jika BPJS saja pelayanannya buruk.

Evaluasi dari program BPJS perlu dilihat mulai dari berbagai aspek terutama pengembangan kualitas pelayanannya dan model pelayanannya. 

Saat ini, masyarakat masih banyak mengeluh dengan pelayanan yang diberikan oleh BPJS, misalnya seperti dalam menunggu mereka perlu menghabiskan waktu berjam-jam hingga berhari-hari lamanya agar dapat layanan medis, dokter yang memberikan resep obat gratis kadang tidak tersedia di apotek dan kamar inap yang pasien butuhkan kadang tidak tersedia/penuh. 

Maka dari itu, BPJS Kesehatan juga perlu meningkatkan lebih baik kualitas pelayanan dan bersikap lebih trasparan. Rakyat berhak untuk menerima informasi terkait dengan program yang diikuti dimulai dari manfaatnya yang didapatkan hingga permasalahan yang dihadapi di lapangan.

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com
Dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, BPJS perlu memberikan ruangan yang luas, ruang tunggu yang nyaman dan menambahkan jumlah SDM terutama dibagian pendaftaran agar masyarakat tidak terlalu lama mengantri. 

Kemudian, perlu memperbaiki dan melengkapi ruangan serta fasilitas, seperti pada ruang inap yang masih kurang ideal dan perlu melengkapi alat pemeriksaan maupun alat diagnostik di setiap rumah sakit serta peningkatan kualitas kinerja petugas medis.

Jika memang kebijakan terkait Inpres ini pemerintah tetap ngotot untuk dijalankan, maka alangkah baiknya tidak secepat sekarang ini. 

Pemerintah perlu memberikan waktu selama setahun dengan tujuan untuk melakukan sosialisasi, edukasi dan literasi ke semua lapisan masyarakat mulai dari yang terendah sampai paling tinggi. Ketika masyarakat sudah paham dengan maksud baik pemerintah ini, barulah kebijakan tersebut diterapkan.

Perlu diakui, kita semua masyarakat sangat sulit dalam berurusan dengan BPJS. Masyarakat juga di masa pandemi seperti sekarang ini kesulitan dalam membayar iuran BPJS. 

Sedangkan pelayanan yang didapatkan pun tidak sesuai dengan diharapkan. Yuk! Perbaiki pelayanan BPJS  lebih baik, maka tanpa dipaksa-paksa masyarakat akan mengikutinya.

Tapi, kalau pemerintah hanya mengeluarkan Inpres yang seakan memaksa masyarakat ikut BPJS ini yang dirasakan bukan pemerintah peduli dengan rakyatnya, tapi malah pemerintah lebih peduli dengan setorannya. Maka, akan sangat terkesan pemerintah seakan-akan berbisnis dengan rakyatnya. 

Intinya, berilah pelayanan yang baik bagi rakyat. Maka, tanpa dipaksakan pun rakyat akan  langsung menuruti kebijakan tersebut, karena mereka tahu bahwasanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sangat berdampak penting bagi kehidupan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun