Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Akibat "Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari", Intoleransi Makin "Nggegirisi"

23 Juni 2021   17:30 Diperbarui: 23 Juni 2021   17:32 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar kumpulan berita perusakan makam di Solo (dok. pribadi)

"Makam saja dirusak? Maksudnya apa? Lama-lama bangunan arkeologi dan tempat ibadah yang jadi sasaran. Mana pelakunya anak-anak SD lagi. Gurunya siapa kok bisa mengajarkan anak-anak berbuat demikian?"

Jemari warganet bisa lebih lantang bertindak ketika persoalan moral dan etika tak lagi melangkah di jalannya. Kasus yang sebenarnya terjadi sepekan lalu banyak menghiasi linimasa berita online sejak hari Senin (21/6/2021) ketika walikota Solo meninjau langsung lokasi TKP (tempat kejadian perkara). Ia terlihat emosi, geram, marah, jengkel atas kejadian ini.

Kronologi Kasus

Agar tidak terjadi bias informasi, berikut ini sekumpulan fakta yang dirangkum dari beragam media online yang menjadi objek penulisan ini.

A. Rabu, 16 Juni 2021

Terdapat 10 anak di bawah umur (3-12 tahun) diduga melakukan perusakan makam di TPU Cemoro Kembar di Kampung Kenteng, Kelurahan Mojo, Pasar Kliwon, Solo.

Kejadian ini berlangsung pada sore hari pkl. 15.00 WIB. Mereka adalah murid (ngaji) dari rumah belajar (sekolah informal) yang berlokasi di daerah sekitar.

Tempat dari 'lembaga keagamaan' yang dimaksud adalah rumah kontrakan. Lokasinya tak jauh dari areal makam TKP. Sementara para pelaku dipastikan bukan dari warga Kelurahan Mojo.

B. Senin, 21 Juni 2021

Siang  itu, Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka meninjau langsung ke TKP dan bertemu dengan para keluarga korban.

Ada 12 makam yang dirusak. Mayoritas adalah kuburan Kristen. Simbol ornamen berupa salib dan tanda-tanda lain dirusak (dirobohkan, dipukul dengan batu), digeser tempatnya.

Dugaan sementara, aksi perusakan ini berkaitan dengan praktik intoleransi (SARA). Saat ini sudah masuk dalam ranah kepolisian sebagai tindak lanjut.

Sekolah informal itu diminta walikota untuk ditutup karena tidak memiliki ijin (sebagai TPA). Kepada pelaku dan guru (pengasuh) akan diminta pertanggungjawaban sesuai hukum, meskipun di sisi lain ada kesepakatan untuk memperbaiki perusakan itu oleh pelaku.

Aspek Pemidanaan

Tindakan cepat dari Gibran, sang walikota yang baru dilantik pada 26 Februari 2021 ini dinilai sebagai langkah yang 'jempolan'. Tanpa banyak kata, kasus yang bisa mencoreng nama Surakarta, kota kelahirannya pada 1 Oktober 1987 lalu itu bisa segera diselesaikan.

Dalam kacamata hukum, tindakan perusakan ini dapat dijerat Pasal 406 (1) KUHP dan atau 179 KUHP. Adapun ancaman hukuman masing-masing 2 tahun 8 bulan (pasal 406), serta 1 tahun 4 bulan (pasal 179).

Demikian kutipan lengkapnya.

Pasal 406 (1) KUHP

"Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusak, membuat hingga tidak dapat di pakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,- (empat ribu lima ratus rupiah)".

Pasal 179 KUHP

"Barangsiapa dengan sengaja merusakkan kuburan atau dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan atau merusakkan sesuatu tanda peringatan yang didirikan di atas tempat pekuburan, dihukum penjara selama - lamanya satu tahun empat bulan."

Makam, Lebih dari Sekadar Benda Mati

Makam alias kuburan, bukanlah sekadar gundukan tanah dan tempat menimbun orang mati. Dalam khazanah budaya Jawa, terdapat 5 lima sinonim penyebutan, yakni: kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan.

Makam adalah salah satu pusaka dari keraton yang bernilai sakral. Maka dari itu, tak jarang pada zaman dulu, letak makam berdekatan dengan ruang sembahyang.

Pada masa lalu untuk memberi tanda agar makam tidak hilang atau rata dengan tanah, kelompok bangsawan, priyayi, dan wong cilik cukup memberikan tanda batu hitam sederhana atau kijing. Di atasnya dibubuhkan nama jenazah bersangkutan, agar di lokasi itu tidak ditumpuk oleh orang lain maupun lenyap di kemudian hari.

Adanya nisan sebagai pelengkap kuburan di Indonesia sebenarnya hasil pengaruh dari kebudayaan orang Eropa yang datang ke Nusantara. Istilah kata yang dipakai adalah "grafzerk" yang artinya batu kubur/nisan yang dibaringkan (di atas makam). Sebagaimana dapat diketemukan pada Kamus Umum Belanda-Indonesia (2001) karya Wojowasito.

Sementara kata "nisan" sendiri menurut Dirk van Hinloopen Labberton (1934) --seorang ambtenar (PNS/ASN) kolonial yang banyak meneliti tradisi Indonesia-- berasal dari bahasa Arab "nisyan", yang bermakna tonggak di atas makam. 

Dalam penafsiran lebih jauh, kata , "nisan" merupakan turunan kata "nasiya" yang dalam kata kerja berarti "lupa". Kedua, tafsir lema nisan yang bermuasal dari kata "al insan" yang artinya 'manusia'.

Jadi semuanya mengandung makna agar tidak lupa. Bahwa meskipun orang yang sudah meninggal tadi raganya sudah menyatu dengan bumi. Namun secara ingatan, metafisis, tetap ada hubungannya dengan mereka yang masih hidup.  

Makam dengan nisan atau kijing bukan sekadar penanda dari identitas semata. Bukan pula sebagai tanda status sosial. Namun menjadi bentuk pengingat, bahwa yang hidup kelak juga akan menyusul mereka dalam alam keabadian. Menjadi penghormatan kepada yang meninggal, bahwa mereka dulu pernah ada (hidup). Identitas sebagai makhluk ciptaan  yang tak bisa dilenyapkan begitu saja.

Intoleransi, Bahaya terhadap Kebhinekaan

Tindakan Gibran untuk melanjutkan masalah ini ke tingkat lebih lanjut, patutlah diapresiasi. Kita sepakat dengannya. Ada rasa kesal, geram, marah terhadap perilaku anak-anak yang masih dini ini.

Tak pantas rasanya anak-anak yang berada di pendidikan dasar ini pada satu sisi diajari ayat-ayat suci. Namun pada sisi lain begitu kuat bernyali melakukan tindakan yang sama sekali tak terpuji.

"Rumah Belajar" seperti apa yang dimaksudkan hingga terhadap benda mati yang oleh leluhur dan generasi tempo dulu menjadi tempat sakral, bisa jadi tak berharga sama sekali nilainya? Belajar apa? Kebencian terhadap pemeluk keyakinan yang berbeda? Kebencian terhadap simbol budaya warisan kekayaan Nusantara?

Guru macam apa yang bisa begitu dahsyat mampu menerbitkan semangat anak-anak 3-12 tahun berani melakukan perusakan? Ini bukan lagi sekadar penyakit "fobia", ketakutan yang tak beralasan. Ini penyakit yang lebih berbahaya ketimbang si copid.

Tak pantas sebutan "guru, pendidik, pengajar, pengasuh, rumah belajar" disematkan jika pada ujungnya menanamkan kebencian pada mereka yang berbeda. Karakter budi pekerti macam apa yang diharapkan dari bentuk pengajaran seperti ini?

Ingat pepatah lama, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Pendidik yang memberikan pengajaran salah dan sesat, dapat membuat anak didik bisa bertindak jauh lebih berbahaya.

Jangan biarkan pengajaran dan perilaku intoleransi (SARA) terus didiamkan. Saatnya bergerak dan bertindak. Kalau tidak, intoleransi makin "nggegirisi"; makin mengerikan keadaannya.

Langkah pembinaan kepada para pelaku memang jalan terbaik. Usia mereka masih jauh dari batas umur "dewasa" menurut hukum. Pemidanaan murni juga belum dapat diberlakukan menurut hukum positif.

Namun kasus yang menyangkut "intoleransi" wajib dilanjutkan ke ranah hukum. Jangan biarkan virus-virus seperti ini kian merajalela dan merusak kedamaian dan keharmonisan sesama warga-bangsa.

Salam satu cinta untuk Indonesia....

23 Juni 2021

Hendra Setiawan

*) Nggegirisi = menyeramkan

**)  Sumber bacaan: surakarta-suara1,  surakarta-suara2,  surakarta-suara3,  hops ,  cnnindonesia,  detik,  beritasatu,  kumparan,  suara,  solopos,  tagar,  gatra,  tirto,  seniorkampus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun