Makam alias kuburan, bukanlah sekadar gundukan tanah dan tempat menimbun orang mati. Dalam khazanah budaya Jawa, terdapat 5 lima sinonim penyebutan, yakni: kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan.
Makam adalah salah satu pusaka dari keraton yang bernilai sakral. Maka dari itu, tak jarang pada zaman dulu, letak makam berdekatan dengan ruang sembahyang.
Pada masa lalu untuk memberi tanda agar makam tidak hilang atau rata dengan tanah, kelompok bangsawan, priyayi, dan wong cilik cukup memberikan tanda batu hitam sederhana atau kijing. Di atasnya dibubuhkan nama jenazah bersangkutan, agar di lokasi itu tidak ditumpuk oleh orang lain maupun lenyap di kemudian hari.
Adanya nisan sebagai pelengkap kuburan di Indonesia sebenarnya hasil pengaruh dari kebudayaan orang Eropa yang datang ke Nusantara. Istilah kata yang dipakai adalah "grafzerk" yang artinya batu kubur/nisan yang dibaringkan (di atas makam). Sebagaimana dapat diketemukan pada Kamus Umum Belanda-Indonesia (2001) karya Wojowasito.
Sementara kata "nisan" sendiri menurut Dirk van Hinloopen Labberton (1934) --seorang ambtenar (PNS/ASN) kolonial yang banyak meneliti tradisi Indonesia-- berasal dari bahasa Arab "nisyan", yang bermakna tonggak di atas makam.Â
Dalam penafsiran lebih jauh, kata , "nisan" merupakan turunan kata "nasiya" yang dalam kata kerja berarti "lupa". Kedua, tafsir lema nisan yang bermuasal dari kata "al insan" yang artinya 'manusia'.
Jadi semuanya mengandung makna agar tidak lupa. Bahwa meskipun orang yang sudah meninggal tadi raganya sudah menyatu dengan bumi. Namun secara ingatan, metafisis, tetap ada hubungannya dengan mereka yang masih hidup. Â
Makam dengan nisan atau kijing bukan sekadar penanda dari identitas semata. Bukan pula sebagai tanda status sosial. Namun menjadi bentuk pengingat, bahwa yang hidup kelak juga akan menyusul mereka dalam alam keabadian. Menjadi penghormatan kepada yang meninggal, bahwa mereka dulu pernah ada (hidup). Identitas sebagai makhluk ciptaan  yang tak bisa dilenyapkan begitu saja.
Intoleransi, Bahaya terhadap Kebhinekaan
Tindakan Gibran untuk melanjutkan masalah ini ke tingkat lebih lanjut, patutlah diapresiasi. Kita sepakat dengannya. Ada rasa kesal, geram, marah terhadap perilaku anak-anak yang masih dini ini.
Tak pantas rasanya anak-anak yang berada di pendidikan dasar ini pada satu sisi diajari ayat-ayat suci. Namun pada sisi lain begitu kuat bernyali melakukan tindakan yang sama sekali tak terpuji.