Dugaan sementara, aksi perusakan ini berkaitan dengan praktik intoleransi (SARA). Saat ini sudah masuk dalam ranah kepolisian sebagai tindak lanjut.
Sekolah informal itu diminta walikota untuk ditutup karena tidak memiliki ijin (sebagai TPA). Kepada pelaku dan guru (pengasuh) akan diminta pertanggungjawaban sesuai hukum, meskipun di sisi lain ada kesepakatan untuk memperbaiki perusakan itu oleh pelaku.
Aspek Pemidanaan
Tindakan cepat dari Gibran, sang walikota yang baru dilantik pada 26 Februari 2021 ini dinilai sebagai langkah yang 'jempolan'. Tanpa banyak kata, kasus yang bisa mencoreng nama Surakarta, kota kelahirannya pada 1 Oktober 1987 lalu itu bisa segera diselesaikan.
Dalam kacamata hukum, tindakan perusakan ini dapat dijerat Pasal 406 (1) KUHP dan atau 179 KUHP. Adapun ancaman hukuman masing-masing 2 tahun 8 bulan (pasal 406), serta 1 tahun 4 bulan (pasal 179).
Demikian kutipan lengkapnya.
Pasal 406 (1) KUHP
"Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusak, membuat hingga tidak dapat di pakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,- (empat ribu lima ratus rupiah)".
Pasal 179 KUHP
"Barangsiapa dengan sengaja merusakkan kuburan atau dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan atau merusakkan sesuatu tanda peringatan yang didirikan di atas tempat pekuburan, dihukum penjara selama - lamanya satu tahun empat bulan."
Makam, Lebih dari Sekadar Benda Mati