Tidak Ada Demokrasi Tanpa Kesetaraan Gender
Perayaan Hari Ibu di Indonesia setiap tanggal 22 Desember sering disalahartikan sebagai bentuk penghormatan semata terhadap peran perempuan dalam keluarga, serupa dengan Mother's Day di berbagai negara.Â
Padahal, Hari Ibu di Indonesia memiliki makna historis yang jauh lebih dalam, yakni sebagai momen refleksi terhadap pergerakan perempuan yang dimulai sejak Kongres Perempuan Pertama pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.Â
Hampir seabad yang lalu, perempuan Indonesia telah membahas isu-isu kesetaraan dan tantangan sosial yang melekat pada perempuan sebagai istri dan ibu. Namun, pemahaman yang salah kaprah terkait kesetaraan gender sering kali mengaburkan perjuangan substansial yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya. Â
Kesetaraan gender bukanlah persoalan fisik atau keistimewaan semata, seperti menuntut perlakuan bak ratu atau kemampuan fisik setara laki-laki. Kesetaraan gender berbicara tentang persamaan hak, akses, dan kesempatan di segala aspek kehidupan.Â
Sayangnya, hingga kini, perempuan kerap dipandang sebagai objek. Tubuh mereka diatur, dinilai berdasarkan standar kecantikan tertentu, dan diidentifikasi melalui relasi dengan laki-laki di sekitarnya. Perempuan sering kali kehilangan identitasnya sebagai subjek yang memiliki hak penuh atas tubuh, pikiran, dan aspirasinya sendiri. Â
Fenomena ini membawa dampak yang mengkhawatirkan, salah satunya adalah meningkatnya kasus femisida---pembunuhan terhadap perempuan karena gender mereka.Â
Femisida mencerminkan bentuk ekstrem dari objektifikasi perempuan, di mana eksistensi perempuan direduksi hanya sebagai objek seksual atau pengurus rumah tangga. Fakta ini menunjukkan bahwa pergerakan kesetaraan gender masih relevan untuk diperjuangkan. Â
Perlu diakui bahwa, demokrasi yang sejati tidak dapat terwujud tanpa adanya perjuangan kesetaraan gender. Perjuangan perempuan tidak hanya bertujuan untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh kelompok marjinal.Â
Demokrasi yang hanya berlandaskan pada keputusan mayoritas berisiko mengabaikan hak-hak kelompok minoritas, termasuk perempuan, disabilitas, minoritas seksual, dan kelompok agama yang terpinggirkan.Â
Dalam sistem yang patriarkis, hukum dan kebijakan sering kali berdampak lebih berat pada kelompok yang dianggap "tidak normal" atau "berbeda" dari mayoritas. Â
Dalam konteks ini, kesetaraan gender menjadi landasan untuk mengoreksi bias struktural yang ada dalam demokrasi. Ketidaksetaraan gender tidak hanya merugikan perempuan tetapi juga menghalangi terwujudnya masyarakat yang inklusif.
Dengan demikian, pergerakan perempuan tidak hanya menjadi perjuangan untuk perempuan, tetapi juga untuk demokrasi yang adil dan merata bagi semua pihak. Â
Tantangan dan Upaya Memajukan Pergerakan Kesetaraan Gender Â
Tantangan pergerakan kesetaraan gender di Indonesia tidak hanya berasal dari sistem patriarki, tetapi juga dari karakter politik Indonesia saat ini.Â
Politik yang cenderung pragmatis dan populis sering kali memanipulasi isu kesetaraan gender untuk keuntungan elektoral semata.Â
Sebagai contoh, affirmative action, atau tindakan afirmatif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, sering kali hanya menjadi simbol tanpa substansi yang mendukung hak-hak perempuan secara nyata. Â
Untuk memajukan perjuangan kesetaraan gender, ada empat hal penting yang perlu diperhatikan. Â
1. Implementasi Affirmative Action yang Substantif
Dalam politik formal, affirmative action harus diterapkan dengan serius dan tidak hanya sebagai alat untuk meraih suara.Â
Keterwakilan perempuan dalam politik harus didukung dengan upaya nyata untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan bukan sekadar memenuhi kuota. Â
 2. Keterwakilan Perempuan dalam Ruang Publik Â
Di ruang publik, penting untuk menghadirkan perempuan baik secara substantif maupun simbolik. Kehadiran perempuan di ruang-ruang strategis dapat membantu memecahkan stigma bahwa perempuan hanya cocok di ruang domestik.Â
Simbol keterwakilan perempuan juga berfungsi untuk membongkar objektifikasi perempuan yang telah mengakar dalam budaya patriarkis. Â
3. Narasi Anti-Objektifikasi dalam Wacana Publik Â
Melawan narasi-narasi yang merendahkan perempuan adalah langkah penting dalam perjuangan kesetaraan gender.Â
Kampanye anti kekerasan seksual dan isu-isu perempuan lainnya harus terus digaungkan untuk mengedukasi masyarakat dan mengubah pandangan patriarkis yang merugikan. Â
4. Jaringan Solidaritas di Semua Tingkatan Â
Perempuan perlu membangun jaringan solidaritas di berbagai level, baik lokal, nasional, maupun internasional.Â
Jaringan ini dapat menjadi wadah untuk berbagi pengalaman, strategi, dan dukungan dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Â
Penutup: Kesetaraan Gender sebagai Pilar Demokrasi
Perjuangan kesetaraan gender tidak hanya berbicara tentang hak perempuan, tetapi juga menyentuh esensi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang inklusif adalah demokrasi yang memperhatikan kebutuhan dan hak semua kelompok, termasuk perempuan dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.Â
Dalam konteks Indonesia, memperingati Hari Ibu sebagai hari pergerakan perempuan adalah langkah penting untuk mengingatkan masyarakat tentang perjuangan panjang yang telah dilakukan perempuan dalam mencapai kesetaraan. Â
Pada akhirnya, kesetaraan gender bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju masyarakat yang lebih adil dan demokratis. Dengan mengakui pentingnya peran perempuan dalam demokrasi, kita dapat membangun sistem politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada demokrasi sejati tanpa kesetaraan gender. (Selamat Hari Ibu 22 Desember 2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H