Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Angka Jadi Suara": Rekam Jejak Perjuangan Buruh Perempuan Melawan Kekerasan Seksual

28 Mei 2024   22:06 Diperbarui: 28 Mei 2024   22:43 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film"Angka Jadi Suara": Rekam Jejak Perjuangan Buruh Perempuan Melawan Kekerasan Seksual

Beberapa hari lalu saya kembali menonton film dokumenter yang berjudul Angka Jadi Suara, yang diproduksi oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada tahun 2017 yang disutradara oleh Dian Septi Trisnanti.

Berdasarkan sinopsisnya, film dokumenter ini tentang pelecehan seksual di pabrik – pabrik, di Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Jakarta Utara, menghadirkan cerita sekelompok perempuan yang tergabung dalam Komite Buruh Perempuan KBN dalam mengatasi pelecehan seksual di tempat kerja.

Sebetulnya, saya sudah nonton film ini, dan juga terlibat pada acara nonton bareng pada senin, 22 Mei 2017 silam, di Kafe Lico, Jln. Bima, Kec. Banguntapan, Kab. Bantul, DIY. 

Waktu itu saya adalah mahasiswa S2 di salah satu Kampus di Yogyakarta, sebagai salah satu saksi dari acara pemutaran film tentang perjuangan buruh perempuan melawan kekerasan seksual di pabrik garmen dan tekstil. Mereka berjuang membongkar tabir kekerasan seksual yang sering kali tersembunyi dalam bayang-bayang seksisme patriarki.

Dan tulisan ini semacam sebuah narasi memori kecil atas peristiwa yang terjadi waktu itu, atau dalam bahasa ilmiahnya sebagai rekon pribadi, yang berarti "cerita ulang yang memuat kejadian dan penulis terlibat langsung dalam peristiwa/kejadian tersebut"(Taufiqur Rahman, 2018).

Sebagai sebuah rekon pribadi atas kisah dan tapak-tapak perjuangan buruh perempuan dalam melawan kekerasan seksual yang sering dianggap sebagai hidden violence, dilanggengkan oleh sistem dan struktur patriarki yang ada di masyarakat, menurut hemat saya, film dokumenter ini membuka kembali mata publik tentang realitas kejahatan seksual yang dialami oleh perempuan di tempat kerja yang terus terjadi hingga saat ini.

Kita mulai dari modus, bentuk-bentuk pelecehan seksual dan pelakunya. Sebagaimana diceritakan oleh seorang tokoh dalam film tersebut bahwa, salah satu modus pelaku melakukan pelecehan adalah dengan berpura-pura memperbaiki mesin di dekatnya dan kemudian mencoleknya.

Ia memberi kesaksian, bahwa ia kaget dan tidak nyaman saat mendengar komentar tidak senonoh atau candaan dan penggunaan kata-kata tidak senonoh dan merendahkan saat berbicara dengan rekan kerja perempuan dan berbau seksual dari mekanik.

Tatapan yang menjurus seksual dari mekanik saat bekerja. Beberapa pelaku juga menggunakan gerakan atau isyarat yang tidak senonoh terhadap karyawan perempuan.

Bahkan, mekanik sering mencolek pantat, paha, atau bagian tubuh lain dari karyawan perempuan saat mereka sedang bekerja. Bos memeluk karyawan perempuan dari belakang sambil meremas payudara mereka. Seorang pelaku memasukkan tangan ke dalam celana korban, bahkan di depan orang banyak.

"Ada seorang mekanik yang sering kali dipanggil jika pekerja wanita yang cantik membutuhkan bantuan. Hal ini menyebabkan banyak pekerja wanita mengalami pelecehan secara fisik, seperti dicolek, disentuh, bahkan dipeluk dan dicium tanpa persetujuan".

Pelecehan ini terjadi di area produksi, dan sering kali tidak ada tindakan yang dilakukan oleh manajemen pabrik. Korban merasa tidak berdaya dan takut untuk melapor karena pelaku sering kali adalah atasan mereka sendiri atau orang yang memiliki kekuasaan di pabrik.

Beberapa korban bahkan merasa tidak tahu harus melaporkan pelecehan ini kepada siapa karena pelaku memiliki kekuasaan yang tinggi. Ada pula yang takut melapor karena khawatir akan dampak negatif terhadap pekerjaan mereka, termasuk kemungkinan dipecat atau dikucilkan. Mereka kadang menghadapi tekanan untuk tetap produktif meskipun berada dalam situasi yang tidak nyaman dan melecehkan.

Meskipun film ini diproduksi di tahun 2017 silam, namum kisah dan ceritanya tentang realitas pelecehan seksual yang dialami oleh pekerja perempuan di tempat kerja, membuka mata publik tentang tindakan kejahan kemanusiaan yang terus terjadi hingga saat ini dan cenderung meningkat.

Sebut saja data  Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, pada tahun 2019 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat 693% dari 2008 yang hanya 54.425 kasus (databoks.katadata.co.id, 09 Maret 2020).

Disebutkan juga bahwa, sepanjang tahun 2020/2021 terdapat 389 kasus kekerasan seksual di tempat kerja dengan korban sebanyak 411 korban. Pada tahun 2022, jumlah kasus kekerasan seksual di tempat kerja meningkat menjadi 324 kasus dengan 384 korban, dan hingga Mei 2023 terdapat 123 kasus dan 135 korban (antaranews.com, 11 Juni 2023).

Sungguh miris menyaksikan data kasus kekerasan seksual terhadap buruh perempuan di Indonesia di atas, dan menunjukkan bahwa kekerasan seksual di tempat kerja adalah fenomena yang terus berlanjut, dan entah sampai kapan kejahatan ini bisa berakhir.

Selain menceritakan kisah dan kesaksian pekerja perempuan korban kekerasan seksual, film yang berdurasi sekitar 20 menit 23 detik ini, juga menceritakan upaya-upaya advokasi yang dilakukan oleh aktivis perempuan.

Sejumlah aktivis FBLP mulai mulai mengorganisir perjuangan melawan kekerasan seksual di pabrik, dengan bermula dari pengaduan anggota yang menjadi korban pelecehan. 

Lalu melakukan aksi pemasangan rambu-rambu area bebas pelecehan seksual di seluruh kawasan industri. Pendirian pos pengaduan atau pembelaan perempuan yang difasilitasi oleh KBN bekerja sama dengan kepolisian dan serikat pekerja, dan sosialisasi tentang penghapusan kekerasan seksual.

Dijelaskan dalam film bahwa, FBLP melaporkan masih banyak pekerja yang tidak memiliki informasi tentang hak-hak mereka atau tidak tergabung dalam serikat pekerja, sehingga sulit untuk melaporkan atau melawan pelecehan yang mereka alami. FBLP berusaha memberikan suara kepada korban pelecehan seksual yang sering kali bungkam karena tekanan sosial dan stigma.

Catatan Refleksi

Cerita dalam film ini mengungkap berbagai bentuk pelecehan seksual yang dialami oleh karyawan perempuan di tempat kerja, khususnya di lingkungan pabrik. Pelecehan ini terjadi dalam bentuk verbal, fisik, visual, dan non-verbal, yang dilakukan oleh mekanik, atasan, dan personalia.

Kendati demikan, kisah cerita dalam film ini hanya segunduk fenomena gunung es, sebab kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja dan di mana saja. Kekerasan seksual bisa terjadi di sekolah, di kampus, di jalan, di dalam bus, di bioskop, di kantin, di warung makan, bahkan terjadi tempat yang kita anggap paling aman sekalipun yakni di rumah. Dan pelakunya bisa siapa saja, teman, guru, dosen, bos, ojol, sopir, bahkan orang yang paling dekat sekalipun yakni keluarga family.

Biasanya pelecehan seksual sering kali menjadi fenomena tersembunyi karena korban merasa tabu untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Fenomena ini diperkuat oleh struktur patriarki dan seksisme yang mendominasi masyarakat, membuat banyak kasus kekerasan seksual tidak pernah terungkap dan pelaku tidak dihukum. Hal ini mempertegas bahwa kekerasan seksual adalah masalah yang meresap dalam berbagai lapisan masyarakat dan memerlukan perhatian serius.

Seperti yang dilakukan oleh sekelompok perempuan yang tergabung dalam Komite Buruh Perempuan KBN dalam mengatasi pelecehan seksual di tempat kerja, yang dikisahkan dalam film ini. Mereka mengenali masalah dengan dekat di tempat kerja, di KBN. 

Mereka memasuki ruang ruang diskusi di pemukiman buruh dan di pabrik. Dari ruang-ruang diskusi ini, data pelecehan seksual di tempat kerja bisa digali, advokasi, kampanye dan gerakan sosial bisa dikonsolidasi.

Dengan menonton kembali film ini, saya kira adalah langkah penting dalam perjalanan panjang menuju keadilan. Ia membuka wacana, memicu diskusi kritis, dan mendorong tindakan nyata untuk melawan kekerasan seksual di berbagai sektor kehidupan.

“Angka Jadi Suara” bukan hanya sebuah film dokumenter; ia adalah alat perjuangan, sebuah panggilan untuk bertindak melawan kekerasan seksual yang telah terlalu lama dibiarkan tersembunyi. 

Dokumenter ini mengajarkan bahwa setiap angka dalam statistik kekerasan seksual mewakili suara, kisah hidup, dan perjuangan seorang manusia. Melalui kesadaran dan tindakan bersama, kita dapat berharap untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan aman bagi semua, terutama bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Pada menit ke 15:45, seorang sosok perempuan mantan buruh KBN, yang memberi kesaksian dan menuntun alur keseluruhan cerita di dalam film ini mengakhiri cerintanya tangisan, dan sebuah puisi dikumandangkan dengan lantang:

Tangan-tangan kotor itu membuat kita menggigil,
Saat kerja berhenti,
Saat mesin kerja mati,

Mata-mata kotor itu menjadikan kita terhina,
Ketika tubuh bergerak apa adanya,

Mulut-mulut kotor itu menjatuhkan harga diri,
Dan dari setiap kata penghakiman,
Buruk,
Baik,

Korban pelecehan bukanlah angka,
untuk terus dihitung, dijumlah,
untuk didata dan dianalisa,
Sebab angka telah jadi suara,
Korban siap jadi pejuang,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun