Max dan LisaÂ
Entah sudah berapa lama, aku duduk bersandar di bawah pohon Mapple yang mulai kehilangan daunnya. Menghadap sungai dengan arus tak begitu deras, aku menceritakan segala hal pada gadis penjaga toko roti dekat lampu merah arah ke rumah. Ibu selalu berlangganan roti gandum padanya, dan sejak itulah kami menjadi akrab sebagai sahabat.
Namanya Seraphina Rose, gadis yatim piatu yang menggantungkan hidup sebagai penjual roti, dia adalah pendengar yang baik. Bahkan, tak pernah mengeluhkan apa pun, saat aku menceritakan banyak hal. Terutama tentang Lisa, kekasih yang sejak tiga bulan lalu mengubah statusku menjadi mantan. Sudah sering kukatan pada Sera, baik buruknya Lisa, tentu saja dengan harapan saran yang diberikan akan membantu memperbaiki hubungan. Ternyata tidak, justru Lisa semakin menjauh, kemudian memutuskan menyelesaikan segala hal.
Hingga di hari keseratus tiga puluh tujuh, setumpuk cerita tentang Lisa tetap didengar oleh Sera, walaupun aku sendiri mengerti, apa yang akan dikatakan gadis itu, tetap sama seperti yang dulu-dulu.
"Kurasa Lisa bukan gadis yang tepat, kau hanya perlu mengisi kekosongan hatimu dengan yang baru. Belajar melupakan memang susah, tapi saat kau sudah menerima segalanya, pasti akan terasa mudah," ucap Sera, dengan binar mata dan harapan yang sama. Tentu saja agar aku tidak selalu terkungkung pada lembaran lama yang penuh kenangan tentang Lisa.
"Aku sudah mencobanya, tapi gagal. Cerita tentang Lisa sudah mengalir di setiap nadiku. Bahkan pertama kali dia tersenyum padaku pun, aku masih ingat."
Mengembuskan napas berat, Sera menatapku dalam. Sepertinya dia ingin memastikan sesuatu.
"Kalau gagal, coba lagi. Kalau kau belum menyerah untuk melupakan Lisa, kejar dia. Berilah dia sepotong hati yang baru, agar cintamu benar-benar dirasakan gadis itu."
"Sepotong yang baru?" Aku mendengkus kesal, tak paham dengan perkatan gadis yang memiliki hidung mancing dan dagu terbelah.
"Jika potongan hatimu yang lama sudah tidak disukai Lisa, kenapa tidak coba memberi yang baru, dan akan membuat gadis itu kembali menerimamu. Tentu saja dengan mengubah sedikit kebiasaan. Jangan melukis saat sedang bersama Lisa, misalnya."
"Lisa tidak akan semudah itu, menerimaku."
"Belum mencoba sudah putus asa. Terserah kau sajalah!" Seraphina bangkit dari duduknya, dan berlalu meninggalkanku tanpa sepatah kata lagi. Aku memang tidak begitu paham dengan apa yang dimaksud gadis itu. Kata-katanya terlalu rumit untuk ukuran pria cuek sepertiku.
Aku merebahkan diri, lalu menatap daun yang berguguran. Salah satu daunnya jatuh tepat di wajah. Apakah mungkin yang dimaksud Sera, dengan memberikan sepotong hati baru, adalah mengubah hati yang lama dan menyesuaikannya seperti keinginan Lisa?
***
Dua puluh September, pukul sembilan lebih dua puluh tiga pagi. Lisa berdiri di ambang pintu kampus, dengan tatapan lelah.
"Max, aku ingin bicara denganmu. Bisakah kau ikut denganku ke taman?" Dia membuka percakapan dengan ajakan. Tentu saja aku mengikutinya.
"Biasanya kau selalu datang ke kelas, duduk di sebelahku, dan membuka buku catatan seni rupa sebelum berbicara."
Lisa diam, dia mempercepat langkah. Seakan ingin menjawab pertanyaan setelah sampai di taman. Dua menit berjalan, kami sampai di taman belakang kampus, dekat dengan gedung olahraga, yang di dalamnya riuh dengan suara teriakan pendukung tim basket.
"Aku ingin kita selesai," ucap Lisa, setelah duduk di bangku besi bercat hitam.
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Ya, kita selesaikan saja hubungan ini sampai di sini. Bukankah tidak ada kecocokan lagi antara kita? Kau selalu sibuk dengan urusan melukis, sementara aku tak sabar menunggumu."
"Kau tahu, kan, melukis adalah hobiku? Kenapa tidak mencoba sedikit saja mengerti posisiku, Lisa?"
"Selama tiga tahun ini, apa yang kulakukan selain menerima hobimu? Kau saja yang selalu abai denganku."
Angin menghilangkan hangat yang biasa kurasakan saat bersama Lisa. Ada jarak tak biasa yang langsung tercipta. Bisu, Lisa tidak melanjutkan perkataannya. Hanya terdengar napas berat yang dia embuskan. Aku sendiri kehilangan minat untuk bicara, mulut ini terasa kelu untuk sekadar menghiba maaf.
Hampir tujuh menit kami berdua saling membisu, tak ada yang bisa kulakukan selain berbicara dengan diri sendiri. Mencoba berdiskusi, pernyataan maaf apa yang bisa membuat Lisa menelan kembali ucapannya.
Tampak Lisa menggeser duduknya. Gadis yang mengenakan kaos longgar berwarna abu-abu itu, terlihat lebih cantik saat serius seperti ini. Sayang sekali, baru saja dia mengutarakan keinginan untuk menyelesaikan hubungan ini. Padahal, aku memiliki banyak rencana untuk dilakukan berdua. Merawat tunas pohon Mapple, misalnya.
"Kau bisa menerima keputusanku, kan? Sungguh, Max. Aku masih menginginkan hubungan ini berlanjut, tapi kau ..., Ah lupakan saja."
"Lisa, dengarkan pembelaanku dulu. Aku benar-benar menyesal. Jika hobiku merusak hubungan kita, ijinkan aku memperbaikinya, sekali saja."
"Kamu terlalu mementingkan kuas, cat warna, dan kanvas. Sementara sebuah hubungan untuk bisa berjalan secara beriringan, membutuhkan dua orang, Max. Kenapa kamu tidak mengerti juga, kalau ketidakpekaanmu yang menjadi sebab-musabab keputusanku.
Tidak. Aku ingin kita selesai. Kamu bisa melanjutkan hobimu, dan aku akan menemukan hal baru untuk mengobati kekecewaanku."
"Kurasa terlalu egois, kalau hanya karena hobi, lantas membuatmu mengakhiri hubungan ini. Padahal kita bisa membicarakan masalah ini, untuk mencari solusi."
Lisa bangkit dari duduknya, menarik napas dalam, lantas diembuskan. Dia menatapku tajam, "Tidak. Tidak ada yang egois. Kita selesai!" ucap Lisa, sambil berlalu pergi meninggalkanku sendiri.
"Lisa, tunggu!" Aku mengejar Lisa, menggenggam tangan lebutnya.
"Lepaskan!" Gadis itu berontak.
Sial, aku tak kuasa terus mencengkeram tangannya. Sehingga di detik ke dua puluh tiga, Lisa berhasil menarik tangan dan berlari menjauh.
Ada hati yang tiba-tiba kosong setelah keputusan gadis berambut pirang dengan bola mata berwarna abu-abu itu. Aku yakin, ini akan sangat sulit untuk dilupakan.
***
"Max, tolong belikan ibu roti gandum," pinta Ibu, saat aku sedang membuat lukisan seorang gadis yang amat spesial.
"Baik, Bu." Tak banyak penolakan, aku akan melakukan apa saja agar ibuku tak mengeluarkan taringnya. Eh, agar ibuku bahagia maksudnya.
Hanya perlu tiga menit berjalan kaki, untuk sampai di toko roti, tempat Sera bekerja. Namun di tengah perjalanan, sepasang muda-mudi menggangguku. Wajah sang gadis tak asing lagi. Lisa. Ya, Lisa sedang bercengkerama dengan seorang pria berkacamata. Dia tampak bahagia, terlihat dari senyum yang selalu menghiasi bibirnya.
Ingin mendekat atau sekadar menyapa Lisa, tapi kuurungkan saja. Aku tahu, hadirku hanya akan mengganggu. Mungkin saran dari Sera untuk memberikan sepotong hati baru, sudah digantikan pria itu. Ah, ya, mereka terlihat serasi. Kalau begitu, aku turut bahagia.
"Selamat sore, Tuan," sapa Sera, seperti biasanya. Dia menundukkan kepala saat ada pelanggan datang ke toko, tak terkecuali padaku. Hal itu memang diwajibkan untuk seluruh pegawai, supaya menghargai setiap pembeli, "Jangan memasang wajah sedih begitu," ucap gadis itu selanjutnya.
"Aku memang sedang sedih, Sera!" Intonasi suaraku agak meninggi, membuat Sera mendadak menatapku layaknya detektif.
"Lagi-lagi tentang Lisa?"
"Ya, siapa lagi kalau bukan dia."
Sera memicingkan mata, seolah berharap penjelasan lebih. Aku membalas dengan tatapan biasa saja.
"Kau pulang jam berapa hari ini?"
"Dua puluh lima menit lagi."
"Kalau begitu, aku akan menunggumu di luar. Persiapkan dirimu untuk mendengar ceritaku." Tidak ada lagi ucapan setelah itu. Segera bergegas mengambil roti gandum dan membayarnya, aku lantas berjalan keluar dan duduk di kursi depan toko yang sengaja disediakan untuk pelanggan.
Tiga puluh menit berlalu, Sera keluar toko mengenakan kaos hitam dengan celana jins. Penampilannya sangat sederhana, membuatku menaruh sedikit kekaguman. Sedikit saja, sebab yang lain sudah barang tentu untuk Lisa.
"Mau cerita apa?" tanya Sera, membuka percakapan.
"Saat perjalanan kemari, aku melihat Lisa sedang berbicara dengan seorang pria. Dia terlihat bahagia. Apa dia benar-benar sudah menemukan penggantiku?"
"Bisa jadi. Tidak ada masalah berarti, saat seorang gadis populer seperti Lisa, meninggalkan laki-laki sepertimu. Pasti di luar sana, ada banyak pria yang sedang antre mendapatkan kesempatan untuk bisa menjalin hubungan dengan dia."
"Jadi?"
"Ya, seperti ucapanku. Mungkin dia memang sudah bertemu dengan lelaki baru, yang bisa membuatnya nyaman."
"Dari mana kamu bisa berasumsi seperti itu?"
"Aku menilainya secara objektif dari sudut pandang sesama wanita."
Ah, sial! Konsentrasiku benar-benar pecah mendengar perkataan Sera. Gadis itu bukannya mendinginkan bara yang tengah menggelora, malah menyiram minyak. Sama sekali tidak pengertian.
"Kenapa diam? Maaf kalau aku terlalu blak-blakan dengan kasus Lisa. Namun, siapa tahu kalau pria itu hanya sahabatnya. Di dunia ini, semua hal bisa saja terjadi. Jadi, perkataanku barusan jangan diambil hati, ya."
***
Tiga hari setelah melihat Lisa dan berbicara dengan Sera, aku merasa susah tidur. Malam terasa semakin panjang, apalagi kenangan tentang Lisa seperti lembaran kolase foto yang dibuat video dan diputar secara berulang.
Di malam keempat, pukul tujuh tiga puluh, aku memutuskan menelepon Lisa. Memastikan apakah pria sore itu adalah kekasihnya. Sayang seribu sayang, sepertinya nomorku diblokir. Seperti rencana sebelumnya, jika nomor tidak bisa dihubungi, aku akan pergi ke rumahnya dan bertanya secara langsung.
Tiga puluh menit mengendarai mobil, aku sampai di depan rumah bergaya minimalis milik Lisa. Tampak di garasinya, terparkir mobil berwarna merah yang tak pernah kulihat selama aku berkunjung di rumah ini.
Usai pintu kuketuk, seorang gadis dengan pakaian tidur tampak berdiri di ambang pintu. Dia terlihat terkejut dengan kedatanganku. Sementara di sofa, keluarganya sedang asik bercengkerama. Salah seorang di sana, adalah pria berkacamata yang kulihat sore itu.
Aku tidak mau menaruh curiga dulu, sebelum Lisa menjelaskan segalanya. Ini memang sudah di luar urusanku, tapi karena masih ada cinta untuk Lisa, aku berhak mendapatkan jawaban.
"Aku mau bicara." Kutarik saja tangan Lisa, lalu mengajaknya ke halaman rumah.
"Siapa pria di sebelah ayahmu? Sejak berkunjung kemari, aku belum pernah melihatnya."
"Maksudmu Samuel?"
"Aku tidak tahu namanya. Tapi aku pernah melihatnya bersamamu empat hari yang lalu."
"Oh, dia sepupuku." Lisa berujar dengan biasa. Seperti sedang tidak menyembunyikan sesuatu, "Lagipula, apa urusanmu menanyakan dia?"
"Ummm, maksudku, kemarin kamu tampak akrab sekali dengan dia. Jadi, kukira dia kekasihmu yang baru."
"Tidak semua wanita, bisa dengan mudah menerima pria lain, setelah ia berpisah dengan kekasihnya."
Aku hanya bisa terduduk malu, saat mengetahui bahwa pria itu adalah sepupu Lisa. Namun sebagai pria, aku memang tidak pandai menyembunyikan rasa cemburu.
"Maaf, aku sudah berlebihan. Tapi Lisa, bisakah kau memberiku satu kesempatan lagi untuk berbenah diri? Aku berjanji akan memberikanmu sepotong hati baru, yang tidak melulu berkutat dengan kuas dan pewarna."
"Kamu masih berhak cemburu. Pada siapapun. Tapi maaf, aku benar-benar ingin menyelesaikan hubungan ini dan tidak berminat dengan janjimu."
Lisa berlalu pergi, meninggalkanku yang masih mencerna setiap ucapannya. Gadis itu memang keras kepala, sama sepertiku. Seharusnya aku bisa mengubah perilaku, sebelum dia menolak potongan hatiku yang baru.
Hari di mana kamu benar-benar melepasku telah tiba. Dan perlu kamu tahu, aku akan setia menitipkan rindu pada daun-daun yang gugur. Bahwa sampai kapanpun, rasa ini akan tetap sama sampai tunas baru muncul dan mengisi ruang kosong dalam hati.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H