"Belum mencoba sudah putus asa. Terserah kau sajalah!" Seraphina bangkit dari duduknya, dan berlalu meninggalkanku tanpa sepatah kata lagi. Aku memang tidak begitu paham dengan apa yang dimaksud gadis itu. Kata-katanya terlalu rumit untuk ukuran pria cuek sepertiku.
Aku merebahkan diri, lalu menatap daun yang berguguran. Salah satu daunnya jatuh tepat di wajah. Apakah mungkin yang dimaksud Sera, dengan memberikan sepotong hati baru, adalah mengubah hati yang lama dan menyesuaikannya seperti keinginan Lisa?
***
Dua puluh September, pukul sembilan lebih dua puluh tiga pagi. Lisa berdiri di ambang pintu kampus, dengan tatapan lelah.
"Max, aku ingin bicara denganmu. Bisakah kau ikut denganku ke taman?" Dia membuka percakapan dengan ajakan. Tentu saja aku mengikutinya.
"Biasanya kau selalu datang ke kelas, duduk di sebelahku, dan membuka buku catatan seni rupa sebelum berbicara."
Lisa diam, dia mempercepat langkah. Seakan ingin menjawab pertanyaan setelah sampai di taman. Dua menit berjalan, kami sampai di taman belakang kampus, dekat dengan gedung olahraga, yang di dalamnya riuh dengan suara teriakan pendukung tim basket.
"Aku ingin kita selesai," ucap Lisa, setelah duduk di bangku besi bercat hitam.
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Ya, kita selesaikan saja hubungan ini sampai di sini. Bukankah tidak ada kecocokan lagi antara kita? Kau selalu sibuk dengan urusan melukis, sementara aku tak sabar menunggumu."
"Kau tahu, kan, melukis adalah hobiku? Kenapa tidak mencoba sedikit saja mengerti posisiku, Lisa?"