"Lepaskan!" Gadis itu berontak.
Sial, aku tak kuasa terus mencengkeram tangannya. Sehingga di detik ke dua puluh tiga, Lisa berhasil menarik tangan dan berlari menjauh.
Ada hati yang tiba-tiba kosong setelah keputusan gadis berambut pirang dengan bola mata berwarna abu-abu itu. Aku yakin, ini akan sangat sulit untuk dilupakan.
***
"Max, tolong belikan ibu roti gandum," pinta Ibu, saat aku sedang membuat lukisan seorang gadis yang amat spesial.
"Baik, Bu." Tak banyak penolakan, aku akan melakukan apa saja agar ibuku tak mengeluarkan taringnya. Eh, agar ibuku bahagia maksudnya.
Hanya perlu tiga menit berjalan kaki, untuk sampai di toko roti, tempat Sera bekerja. Namun di tengah perjalanan, sepasang muda-mudi menggangguku. Wajah sang gadis tak asing lagi. Lisa. Ya, Lisa sedang bercengkerama dengan seorang pria berkacamata. Dia tampak bahagia, terlihat dari senyum yang selalu menghiasi bibirnya.
Ingin mendekat atau sekadar menyapa Lisa, tapi kuurungkan saja. Aku tahu, hadirku hanya akan mengganggu. Mungkin saran dari Sera untuk memberikan sepotong hati baru, sudah digantikan pria itu. Ah, ya, mereka terlihat serasi. Kalau begitu, aku turut bahagia.
"Selamat sore, Tuan," sapa Sera, seperti biasanya. Dia menundukkan kepala saat ada pelanggan datang ke toko, tak terkecuali padaku. Hal itu memang diwajibkan untuk seluruh pegawai, supaya menghargai setiap pembeli, "Jangan memasang wajah sedih begitu," ucap gadis itu selanjutnya.
"Aku memang sedang sedih, Sera!" Intonasi suaraku agak meninggi, membuat Sera mendadak menatapku layaknya detektif.
"Lagi-lagi tentang Lisa?"
"Ya, siapa lagi kalau bukan dia."