Lelah kurasakan, setelah seharian menyelesaikan pekerjaan di kantor. Kupandangi jam kecil berbentuk amor yang ada di depan komputerku, sudah menunjukkan pukul 20.00, kupikir saatnya aku pulang. Kasihan Addriella, adikku, menunggu. Setelah orang tua kami meninggal, hanyalah aku yang ia punya, akulah yang merawatnya, dan tentu aku ingin melihatnya sukses seperti aku saat ini, memimpin sebuah perusahaan besar.
Di usianya yang terbilang remaja, masih duduk di tingkat akhir sekolah seni, tentu ia merasa kesepian sendiri di rumah tanpa kehadiranku, walau TV yang cukup lebar sudah dipasang di kamar tidurnya, makanan dan minuman juga ada banyak, kalaupun ia mau membaca, beragam novel banyak di lemari buku di ruang baca. Namun, bukan alasan bagiku untuk sering pulang larut, kecuali hari tertentu yang membuat aku harus lembur seperti hari ini.
"Belum pulang, Pak Ben!" sapa seseorang. Kulihat Kerwyn berdiri di depan pintu ruang kerjaku. Ia adalah stafku di bagian marketing. "Oh, Kerwyn, iya saya lagi asyik mempelajari proyek sehingga lupa bahwa di luar sana sudah gelap, kamu sendiri belum pulang?" Tanyaku balik. "Ini mau pamit pulang, Pak", sahutnya. "Baik, silakan, hati-hati di jalan!"
Kuambil ponselku untuk menelepon Addriella, tapi kulihat banyak notifikasi di beranda Facebook. Biasalah, orang-orang saling membicarakan dan saling berbagi informasi tentang wabah virus yang sejak dua minggu lalu melanda Savonlinna. Informasi yang kudapat, jumlah yang terkonfirmasi bertambah banyak. Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas, tak jadi menelepon Addriella.
Bergegas aku menuju parkiran di mana Audy merah milikku kuparkir. Rencananya aku mau singgah sebentar ke rumah Valma, kekasihku, sebelum pulang. Di perjalanan kulihat banyak orang tergeletak, sementara yang lainnya tidak berani mendekati, bahkan lari, teriak histeris meninggalkan.
Sungguh mengerikan, "Tuhan! Selamatkanlah kami dan kota ini dari virus mematikan" pintaku dalam doa. Rencana ke rumah Valma kubatalkan, takut dan gelisah menyelimuti perasaanku. Semua warga juga pasti ngeri jika virus ganas ini menjangkiti. Kulajukan jalan roda mobilku, sesegera mungkin aku ingin sampai ke rumah, paling tidak aku akan merasa aman dengan tidak terlalu berdekatan dengan orang-orang di luaran, hanya dengan Addriella.
oOo
Kurebahkan tubuh lelahku di sofa, kunyalakan televisi, reporter Ykkonen sedang melaporkan keadaan Helsinki yang juga mengalami pandemi virus, namun tidak separah di Savonlinna. Tidak lama setelah itu, Manajer Kota Savonlinna, Joma Anttiri, melakukan live conpress menyampaikan pemberlakuan pembatasan sosial. Aku tidak tahu, apakah ini keputusan baik atau buruk buat Savonlinna.
Kebijakan sudah diambil manajer kota, kukabarkan ke Kerwyn agar menginfokan kepada karyawan lain bahwa perusahaan tutup untuk sementara, kecuali pegawai inti, tetap bekerja di kantor bergantian. Apalagi ada proyek besar di depan mata. Besar harapanku agar proyek ini berjalan lancar.
Kutemui Addriella di kamarnya di lantai dua, kubuka pintu di sebelah kanan tangga, dengan senyum manisnya, Addriella menyambutku, tangannya memegang sebuah novel terbaru dari Carita Nystrom. "Kita harus membatalkan rencana kita nonton opera besok dengan Kak Valma", kataku mengawali, kutahu Addriella pasti sangat kecewa, karena ia sangat suka dengan acara tahunan yang diselenggarakan di Olavinlinna Fortress itu, "kenapa Kak?" Tanyanya lirih. "Pak Jorma Anttiri barusan mengumumkan bahwa Savonlinna memberlakukan pembatasan sosial" jawabku dengan suara takkalah lirih, "karena virus", lanjutku.
"Pembatasan sosial, artinya mulai besok kita di rumah saja hingga 20 hari, semua sekolah juga ditutup sementara. Sekolah membebaskan kamu mengerjakan apapun dari pelajaran seni, tetapi harus dilaporkan setiap hari" kataku pada Addriella. "Aku pun akan lebih sering di rumah, paling sesekali dan sebentar mampir ke kantor untuk kontrol langsung" lanjutku. Addriella pun merebahkan tubuhnya, dipejamkannya matanya, sambil memendam rasa kecewa.
oOo