Dan sekarang saat jarum jam berhenti tepat tengah malam dengan mengeluarkan dentangnya, bulan purnama pun akhirnya memuncak diiringi seruan para serigala liar, kepak sayap dan suara kelelawar serta hewan pengerat menjadi pengiring yang sempurna untuk malam ini.Â
Heloise terbangun dengan kesadaran diambang batas, ia memegangi kerongkongannya yang terasa tandus seperti ratusan tahun tidak diairi, ia bangun dari ranjangnya menuju cermin.Â
Dirinya sangat terkejut dengan penampakan yang ada didepannya dengan wajah pucat, kulit seputih porselin, rambut hitam legam menjuntai hampir kelantai, mata merah darah, taring yang menyempil diantara deretan gigi saat ia tersenyum atau membuka bibirnya. Heloise ketakutan melihat dirinya sekarang hingga berlari keluar rumah.Â
Saat itu sekejap seluruh inderanya menjadi sangat tajam dan peka. Ia menghirup udara dengan rakus namun tidak di dapatinya sesuatu yang mengisi atau menggerakan paru-parunya, akan tetapi ada aroma yang kini membuat kerongkongannya terasa menghimpit dan menuntut untuk segera diari. Aroma itulah yang menuntunnya sampai di halaman kerajaan.
Aroma yang sangat kuno. Manis seperti halnya madu, candu seperti halnya dosa. Setetes saja takkan bisa memuaskan dahaga yang seluas samudera.Â
Kau akan merelakan apapun bahkan sampai membunuh untuk itu. Sesuatu yang mengalir seperti halnya sungai bermuara ke samudera. Memberi kehidupan bagi yang mati, memberi kematian bagi yang hidup..
Dengan bantuan Sang Putera Mahkota yang telah lama menantikan hal ini, terpenuhi sudah dendam Sang Keabadian.
.TAMAT.
Karya Orisinil: Â Anastasya Cornelia Shinta Septiananda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H