Jarak pagi dan petang terhimpit siang yang membebaskan terik menyentuh segala lini. Terik yang membakar semangat, mendayung sepeda ke toko. Terik mendorong gerobak es krim untuk dijajakan. Terik memanggang tubuh yang lelah mencari tempat kerja di ibukota.Â
Sertifikat pelatihan dan seminar hanyalah lampiran yang menambah bobot berkas di dalam amplop coklat yang besar. Kelapa muda yang berjejer di pinggir jalan hanya mampu kuteguk dalam angan. Sisa uang hanya cukup naik angkutan umum. Pejuang amatiran yang mencari harga arti sebuah perjuangan. Ia ingin bebas memeluk dan melepas peluk pada kenyataan yang menghimpit nadi-nadinya.
***
Nadira setahun sudah magang di perusahaan ternama, menjadi pembicara di berbagai kegiatan, dan lulusan dengan predikat cumlaude. Sepanjang kuliah dipercaya menjadi asisten dosen, hidup sederhana, ramah, dan cerdas. Sesungguhnya itu hanyalah bagian dari impiannya. Yang tercapai adalah lulus dengan predikat cumlaude dan ikut berbagai organisasi yang hampir kandas kedekatannya di masa pandemi. Ia sangat menjujung tinggi kerja keras dan spiritualitas.Â
Namanya sedari kecil berubah sesuai dengan kalangan yang memanggil. Saat hujan turun, Ibunya memanggil "Jati, Jati, angkat jemuran". Saat ayahnya pulang, "Ati, Ati tolong ambilkan handuk". Di bangku sekolah dasar guru-guru dan teman-temannya selalu menyebutnya "Kuala". Saat SMP dan SMA panggilannya Ala. Di bangku kuliah sebagian orang menyebutnya "Ira" bagi yang dekat dengannya selalu memanggil "Adira". Begitulah namanya berubah setiap jenjang kehidupannya.
***
Ibu yang bekerja keras siang dan malam, pagi hari mendekatkan diri dalam kumpulan tetangga yang mencari kutu. Katanya, anak-anak Kampung Selima ketularan kutu dari anak kampung sebelah. Pengobatan kutu biasanya tidak ampuh, sehingga di pagi hari anak-anak akan dicarikan kutu oleh ibunya. Ibu Surti mengaku sudah tiga bulan mengganti sampo tetap saja kutu menjadi penghuni rambut anaknya.Â
Ibu Fatimah yang dua minggu kemarin memotong rambut anaknya, hingga anaknya teriak di jalanan saking malunya. Namun, kutu tetap berkembang biak. Ibu punya aku, tetapi setahun yang lalu sudah botak, alhasil kutu hilang ledekan membengkak. Kata teman-teman aku terkena penyakit kanker atau sejenisnya.
"Jati, pendaftaran itu sudah tutup ya?"
"Pendaftaran apa Bu?"
"Itu loh jadi calon mantu"
"Hah! Calon mantu siapa?" sambarku kaget.
"Ibu bilang apa? Salon Mbak Tun kan?"
"Astaga Bu"
"Heh, kamu salah dengar ya?"
"Ibu yang ngawur"
"Oh, ya sudah. Kamu coba daftar dulu gih"
"Jati mau kuliah, titik."
"Yowes, terserah deh. Maksud ibu ngisi waktu kosong dulu aja"
***Â
Di sebuah wawancara kerja, Nadira ditawarkan jadi asisten kontrak. Ia menolak tawaran pertama karena merasa tidak sesuai dengan bayaran kerja kerasnya saat kuliah dulu. Â Namun, satu-satunya perusahaan yang menrima lamarannya saat itu sia-sia juga.Â
Ia bersikeras mampu memperoleh kedudukan yang layak. Di angkutan umum seseorang yang samar-samar dikenalinya memulai untuk menyapa, "Kuala?". Ia sontak kaget, setelah berkenalan ternyata itu adalah teman SD-nya dulu. Jaya bekerja di sebuah perusahaan pengiriman barang selama 3 tahun. Setelah bercerita, Nadira merasa prihatin karena Jaya putus sekolah karena biaya. Nadira pun bertekad untuk bekerja lebih keras mendapat pekerjaan yang layak baginya.
***
"Adira, coba dululah di perusahaan yang kecil ini. Memang gajinya sedikit, tetapi seiring waktu berjalan kamu juga bisa mencari pekerjaan di tempat yang lain."
"Bukan begitu, aku butuh kerja paruh waktu yang bisa dikerjain di rumah Ran. Aku masih mau lanjut kuliah"
"Terserah kamu deh, aku hanya bisa kasih usul"
Umran menutup telpon karena kesal. Nadira merenung di bawah bintang-bintang di langit, ia merindukan masa kanak-kanak yang hanya memikirkan dibelikan es krim dan bermain sepanjang hari. Ia mudah tersinggung setelah usia dua puluhan. Perasaan bersalah membuntutinya setiap menerima uang bulanan dari orang tuanya, ia pun sungkan berbagi cerita kepada kakaknya yang sudah bekerja.Â
Ia tidak pernah meminta tolong kepada teman di kampus untuk kebutuhannya, apa lagi mengemis pantang baginya. Kondisi pikiran yang kalut membawa ia sesekali pada bayangan bunuh diri. Ia ingin mengakhiri semua putus asa dan ragu yang menyertainya. Namun, ia selalu diingatkan oleh kakak rohaninya untuk berserah pada Tuhan. Cobaan yang dialaminya pasti tidak melebihi kekuatannya. Kata-kata yang inspiratif terus mengingatkannya untuk bertahan.
***
Aku Nadira, telah lulus setahun yang lalu dengan predikat cum laude. Pekerjaanku membaca dan menonton sepanjang hari. Cita-citaku menjadi penulis lepas dan penyiar radio. Namun, aku ingin melanjutkan kuliah tidak secara celaka lagi. Kalian tau kan gelar sarjana pertamaku itu karena aku butuh gelarnya saja. Ternyata jaminan kerja bukanlah gelar yang tersemat di depan marga.Â
Aku ingin mencari uang sendiri, mengurusi kebutuhanku dan melanjut ke jurusan yang aku inginkan dari kecil. Kamu tahu apa? sosial politik, komunikasi, dan hukum. Buku-buku yang kubaca novel berlatar belakang sejarah. Hah, aku sudah terlalu banyak berbagi info tentangku. Ini hanyalah mimpi, bagaimana mungkin dapat terjadi? Uang kemanakah, bisa mampir sebentar entar aku ganti deh dua kali lipat. Apa? tiga kali lipat juga bisa yang penting dapat kerja dulu buat nyambung hidup.
***
"Ati, ayah sudah kirim kamu uang ya. Jangan boros pakai secukupnya. Kondisi ekonomi lagi kandas" sambungan telepon terputus. Ati memang tidak ingin lama berbicara. Ia merasa dikasihani untuk kesekian kalinya. Nadira menghitung biaya sewa rumah, kebutuhan dapur, dan fasilitas yang digunakannya.Â
Ini membuat ia memiliki ide mengirimkan tulisannya tentang bidang yang disenanginya sosial politik, komunikasi, dan hukum. Tulisan populer yang dirangkai sebagus mungkin tidak mendapat balasan dari tim produksi. Akhirnya, ia memagari jiwa dan ras ingin tahunya dengan menekuni hobi menonton. Ia menghabiskan sepanjang hari menonton, membaca dan bergilir hingga satu titik yang membuat ia berubah.
***
"Ira, mau jadi penyiar radio?"
"Di mana?"
"Ini deket kok. Kamu bisa kirim CV biar aku yang usulin"
"Ok, thanks ya, bye"
Titik memuakkan di dalam hidupnya pun terus berjalan, tetapi responsnya sudah berbeda. Menjadi penyiar radio membuat Nadira bisa melanjutkan S2nya sembari bekerja paruh waktu. Ia juga mengudarakan segala uneg-unegnya dengan membaca tulisannya yang beberapa kali di tolak oleh penerbit. Ia membebaskan resahnya.Â
***
"Jati, kapan bisa jenguk ayah di sini?"
"'Aduh Bu, Jati jadwalnya lagi padat banget"
"Cuti sehari aja"
"Jati, kirimkan duit deh buat pengobatan"
"..."
"Bu, Ibu, Halo..."
Jati merasa bingung harus memilih. Kedua-duanya adalah penting baginya. Ia memikirkan risiko besar yang akan ditanggunnya. Namun, ia tidak terjerat pada pilihan yang menyenangkan semata. Rasanya memilih keluarga adalah pilihan yang berat, menggantungkan semua perkara sulit di leher dan bersiap menceburkan diri kepada penyesalan yang panjang.Â
***
Aku Nadira Jati Kuala bebas memilih. Aku memilih balik ke kampung menemui ayah dan ibu, memilih menemani masa tuanya. Apakah aku sudah punya cukup banyak duit untuk mencapai mimpi-mimpiku? Tidak, ya tidak. Namun, aku punya kebebasan untuk memilih lagi mau melanjut atau berhenti di sini. Awalnya, bagiku nasib itu sistemik. Berputar dalam kastil dan hanya bagi orang yang beruntung.Â
Namun, bebas adalah pilihan untuk menghancurkan sistemnya atau tetap bertahan di dalamnya. Sebebas inginku memeluk masa yang akan datang, sebebas bermimpi, sebebas itu aku menyadari bahwa pilihan adalah jawaban untuk semuanya. Aku Nadira, dipanggil Jati oleh ibu. Aku yang memilih kelak akan disebut apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H