"Iya..."
Dini menggeleng-gelengkan kepala pantas saja bila semua pertanyaannya dijawab iya oleh Kokora. Laki-laki yang tidak pernah memiliki identitas yang pasti dimulut Dini. Aku menghampiri lemari es.Â
Dini mendahuluiku dengan wajah lesu. Aku sudah menduga bahwa persediaan makanan yang dibagikan oleh pak RT tidak menunggu sebulan. Kokora sepupuku yang memiliki gangguan pendengaran menjadi urusan baru bagiku.Â
"Din, boleh ke rumah pak RT?"
"Silahkan, kalau mau!"
"Maksudku, kamu yang ke sana..."
"Ya, gak mau."
Aku tidak menyangka perempuan yang sudah berusia 18 tahun ini selalu membantahku. Terlebih hak sulung di rumah seperti tiada berarti tanpa orang tua yang meyakinkan bahwa aku lebih tua darinya. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah teman-teman sekolahku yang dulu.Â
Sebenarnya niatku untuk menjemput segelas kopi dan sepiring gorengan yang disajikan untuk tamu. Di musim kemarau yang panjang penghasilanku merosot. Aku tidak seharusnya memutuskan untuk undur diri dari pekerjaan.Â
Namun, kulit ditubuhku tidak tahan dengan hawa panas. Aku mengendarai sepeda dengan perasaan bersalah meninggalkan Dini kelaparan di rumah dengan Kokora.Â
"Azsal"