Mohon tunggu...
Helen Tuhumury
Helen Tuhumury Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

Quiet but an easy going person

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik dan Makanan: Kisah Kompleks di Atas Meja Makan

21 November 2023   20:37 Diperbarui: 22 November 2023   08:00 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) bersama bakal calon presiden makan siang bersama saat melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (30/10/2023). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt.(Hafidz Mubarak A)

Di tengah memanasnya perhelatan politik di negeri ini, sempat kita dengar dan nonton di berita bahwa Presiden Joko Widodo mengundang makan siang ketiga calon Presiden Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin 30 Oktober 2023. 

Menurut berita tersebut menu yang disajikan yaitu nasi putih, soto lamongan, ayam kodok, sapi lada hitam, dan bebek panggang. Selain itu tampak juga cumi goreng, udang goreng telur asin, kaylan cah sapi, hingga sajian minum es laksamana. 

Presiden Jokowi mengungkapkan alasan dirinya melakukan makan siang bersama tiga calon presiden (Capres) di Istana, Beliau ingin memberikan pesan untuk menjaga pemilu 2024 ini supaya berjalan dengan damai. 

Sementara itu di bagian dunia lain dimana sementara terjadi konflik antara Hamas di Palestina dengan Israel, dimana Israel menghentikan suplai bahan makanan, termasuk suplai listrik, dan bahan bakar. Kedua peristiwa ini melibatkan makanan dan politik. Makanan dan politik, dua unsur yang tampaknya berbeda, namun saling terkait sepanjang sejarah manusia. 

Seiring perubahan politik, revolusi, dan globalisasi, makanan menjadi medium tidak hanya untuk memuaskan kebutuhan fisiologis, tetapi juga sebagai cerminan dan instrumen dari kekuatan politik yang ada. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi sejarah panjang hubungan antara politik dan makanan, yang memaparkan lapisan-lapisan kompleks dinamika manusia di sepanjang garis waktu. 

Pertama, ketika makanan menjadi kekuasaan. Dalam artikel oleh Mintz et al (2002), The Anthropology of Food and Eating, Sejarah politik dan makanan dimulai dengan pengendalian sumber daya pangan sebagai bentuk kekuasaan. Kekuasaan untuk mengendalikan dan mendistribusikan makanan memberikan kontrol atas kelangsungan hidup suatu masyarakat. 

Dalam berbagai peradaban kuno, raja-raja dan penguasa menciptakan kebijakan pangan sebagai alat untuk memastikan loyalitas dan mengamankan dukungan politik. 

Dalam konteks zaman kuno, makanan bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisiologis, tetapi juga menjadi simbol kekuasaan dan kontrol sosial. Penguasaan dan distribusi makanan memiliki dampak langsung pada stabilitas masyarakat dan legitimasi penguasa. Penguasaan atas suber daya pangan menjadi kunci dalam menjaga kekuasaan pada masa kuno. 

Penguasa atau pemerintahan yang dapat mengendalikan produksi dan distribusi makanan memiliki kendali penuh atas produksi dan distribusi makanan memiliki kemampuan untuk memanipulasi dan memelihara dukungan rakyat. 

Di Mesir kuno, Firaun atau raja memiliki kendali penuh atas produksi dan distribusi gandum, yang merupakan makanan pokok. Sistem penyimpanan dan distribusi makanan menjadi instrumen utama untuk memelihara kekuasaan politik. 

www.worldhistory.org
www.worldhistory.org

Penguasa sering menggunakan distribusi makanan sebagai bentuk patronase untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan rakyat. Pemberian makanan kepada rakyat dalam bentuk festival atau pesta makanan dapat memperkuat legitimasi pemerintah. 

Pada zaman Romawi, kaisar sering mengadakan acara sirkus atau festival besar yang disertai dengan distribusi makanan gratis sebagai cara untuk mendapatkan dukungan dan mengamankan loyalitas warga kota.

Makanan sering diintegrasikan juga ke dalam praktik agama dan ritual, dan penguasa memiliki kendali atas kebijakan pangan yang terkait. Pemanggilan berkat dari dewa atau pelaksanaan kurban makanan dapat menjadi cara untuk menegaskan otoritas penguasa. 

Di Yunani kuno, ritual korban dan pemujaan terhadap Dewi Demeter(Dewi Pertanian dan Kesuburan), menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Keterkaitan dengan kebijakan pertanian dan distribusi makanan menguatkan kekuasaan penguasa. Penguasa yang dianggap memiliki hubungan baik dengan dewi ini diyakini akan membawa keberuntungan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Penaklukan suatu wilayah seringkali diikuti dengan kontrol penuh terhadap daerah produksi makanan. Penguasa dapat mengamankan pasokan makanan dengan menaklukan daerah pertanian atau mengendalikan jalur perdagangan. 

Kekaisaran Persia kuno dikenal karena kebijakan toleransi terhadap budaya, tetapi mereka juga mengendalikan daerah-daerah pertanian strategis untuk memastikan pasokan makanan yang stabil dan kekuasaan ekonomi.

Penguasa juga memiliki kekuatan untuk mengubah kebijakan pangan seperti pajak makanan atau pemaksaan pembatasan makanan tertentu. Hal ini dapat digunakan untuk mengontrol masyarakat atau menghukum mereka yang tidak patuh. 

Di Tiongkok kuno, terkadang pemerintah mempraktikkan sistem pajak makanan dimana penduduk harus membayar sebagain dari hasil panennya kepada penguasa sebagai pajak.

Kedua, politik menyebabkan perubahan pola makan seperti jang diulas dalam buku Standage (2009) "An Edible History of Humanity". Ketika peradaban berkembang, perubahan politik juga merubah pola makan masyarakat. Eksplorasi dan kolonisasi membawa makanan baru dari benua ke benua, menciptakan pertukaran budaya dan melahirkan masakan yang kita kenal saat ini. Misalnya, ketika kentang dari Amerika Selatan dibawa ke Eropa, itu tidak hanya membentuk sistem diet, tetapi juga memberikan kontribusi pada pertumbuhan populasi dan kekuatan politik. 

Perubahan dalam pola makan sebagai hasil dari pengaruh politik dapat terjadi karena kebijakan pangan, perubahan struktural ekonomi, peristiwa sejarah, dan intervensi pemerintah.

Kebijakan perdagangan dan distribusi pangan dapat mepengaruhi akses masyarakat terhadap jenis makanan tertentu. Keputusan politik, seperti pembatasan perdagangan atau pemotongan subsidi, dapat menyebabkan perubahan dalam ketersediaan dan harga makanan. Misalnya pada situasi krisis ekonomi atau politik, pemerintah mungkin menghadapi kesulitan memastikan pasokan makanan yang cukup untuk seluruh populasi. Ini dapat menyebabkan peningkatan harga dan penurunan ketersediaan makanan, mempengaruhi pola makan masyarakat.

Pajak makanan atau insentif fiskal dapat mempengaruhi pola makan masyarakat. Pemerintah dapat menggunakan pajak atau insentif untuk mengarahkan konsumsi makanan tertentu, seringkali dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Misalnya beberapa negara menerapkan pajak pada minuman manis atau makanan tinggi gula sebagai upaya untuk mengurangi konsumsi gula dan mengatasi masalah kesehatan seperti obesitas dan diabetes.

Keputusan politik seperti perdagangan internasional dan globalisasi dapat membawa masakan dan pola makan baru ke dalam suatu negara. Ini dapat mengubah pola makan lokal dan mempengaruhi preferensi kuliner. Globalisasi telah membawa masakan cepat saji dan gaya hidup cepat ke berbagai belahan dunia. Ini dapat menyebabkan pergeseran dari pola makan tradisional ke makanan yang lebih cepat saji dan praktis.

Kebijakan pendidikan makanan dan kampanye pencegahan penyakit dapat memengaruhi pemahaman masyarakat terhadap pola makan sehat. Pemerintah dapat mendukung atau melarang iklan makanan tertentu, serta mengintegrasikan pendidikan makanan ke dalam kurikulum sekolah. Beberapa pemerintah mengimplementasikan program pendidikan gizi di sekolah untuk meningkatkan pemahaman anak-anak tentang pentingnya pola makan sehat dan dampak makanan pada kesehatan.

Ketiga, makanan sebagai senjata dalam konflik politik. Penggunaan makanan sebagai senjata dalam konflik politik dapat mencakup taktik-taktik yang dirancang untuk memanipulasi pasokan makanan sebagai alat untuk mempengaruhi atau memaksa kebijakan, mendapatkan keuntungan strategis, atau mengeksploitasi kerentanan musuh. Meskipun hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, sayangnya, penggunaan makanan sebagai senjata telah terjadi dalam sejarah konflik.

Salah satu bentuk penggunaan makanan sebagai senjata adalah dengan sengaja membatasi akses populasi terhadap pasokan makanan, yang dapat menyebabkan kelaparan dan kesengsaraan, seperti yang terjajdi di konflik Israel-Palestina saat ini. Ini bisa dilakukan melalui blokade ekonomi atau kontrol wilayah yang menghambat distribusi makanan. Contoh lain Jerman Nazi memutuskan untuk membekukan pasokan makanan ke wilayah-wilayah yang diduduki di Belanda sebagai cara untuk memaksa pemberontakan dan menekan penduduk.

Dalam beberapa konflik, pihak-pihak yang terlibat dapat menghambat atau melarang bantuan kemanusiaan, termasuk bantuan pangan, sebagai bagian dari strategi politik atau militer mereka. Banyak wilayah di Suriah telah mengalami kesulitan mengakses bantuan kemanusiaan, termasuk bantuan pangan, karena konflik dan pembatasan yang diberlakukan oleh pihak yang terlibat.

Merusak infrastruktur pertanian atau sengaja merusak tanaman dan ternak dapat menjadi taktik untuk menciptakan kelaparan dan menekan musuh. Selama konflik di Sudan Selatan, terjadi pembakaran lahan pertanian, penggusuran peternakan, dan penghancuran infrastruktur pertanian, yang mengakibatkan kelaparan dan krisis pangan. 

Pihak yang terlibat dalam konflik dapat memanipulasi distribusi makanan untuk menguntungkan atau merugikan kelompok tertentu, memperkuat posisi politik mereka. Selama konflik di Balkan pada tahun 1990-an, terjadi manipulasi distribusi bantuan makanan di beberapa wilayah sebagai bentuk kontrol dan pemaksaan kebijakan politik.

Pihak militer atau kelompok bersenjata dapat mencuri atau mengalihkan bahan makanan yang seharusnya untuk penduduk sipil, menciptakan kelangkaan dan kelaparan. Pada beberapa titik selama konflik di Kongo, pasukan bersenjata telah mencuri bahan makanan dan sumber daya pertanian untuk kepentingan mereka sendiri, menyebabkan krisis pangan.

Terakhir, pesta makan atau perjamuan makan seringkali dapat menjadi sarana dimana kekuasaan politik tercermin dan dijelaskan. Pesta makan tidak hanya tentang konsumsi makanan, tetapi juga melibatkan dinamika kekuasaan, hierarki, dan simbolisme sosial. Pesta makan atau perjamuan seringkali dapat menjadi sarana di mana kekuasaan politik tercermin dan dijelaskan. Pesta makan tidak hanya tentang konsumsi makanan, tetapi juga melibatkan dinamika kekuasaan, hierarki, dan simbolisme sosial.

Pesta makan dapat digunakan sebagai simbol untuk merepresentasikan dan memperkuat kekuasaan politik. Pemilihan jenis makanan, tempat pesta, dan cara penyajian semuanya dapat mencerminkan hierarki dan status sosial. 

Pemimpin negara sering menyelenggarakan makan malam kenegaraan sebagai wujud kekuasaan dan prestise. Menu mewah, perabotan mewah, dan undangan khusus semuanya menyiratkan tingkat kekuasaan dan pentingnya acara tersebut. Pesta makan dapat digunakan untuk memperkuat solidaritas dan loyalitas di antara kelompok politik tertentu. 

Mengundang sekutu atau pendukung dapat menjadi cara untuk membangun dan memelihara hubungan politik. Partai politik dapat menyelenggarakan pesta makan sebagai cara untuk merayakan kemenangan, membangun semangat solidaritas di antara anggota partai, dan memperkuat hubungan dalam lingkaran politik.

Pesta makan seringkali menjadi tempat di mana pertukaran informasi dan negosiasi politik terjadi. Informalitas acara ini dapat menciptakan lingkungan yang lebih terbuka untuk diskusi. Pemimpin dari berbagai sektor atau negara dapat menyelenggarakan makan siang bersama sebagai platform untuk berbicara secara informal, bertukar ide, atau bahkan melakukan negosiasi.

Pemimpin politik dapat menggunakan pesta makan sebagai kesempatan untuk memperkuat citra publik mereka. Makanan yang disajikan, cara berinteraksi dengan tamu, dan suasana keseluruhan dapat memengaruhi persepsi publik. Pemimpin negara seringkali menyelenggarakan kunjungan resmi yang diakhiri dengan makan malam kenegaraan, yang tidak hanya mencerminkan keramahan, tetapi juga menciptakan citra kepemimpinan yang kuat.

Makanan di pesta sering digunakan untuk menegaskan identitas kultural atau nasional, yang dapat menjadi strategi politik untuk memperkuat rasa kebangsaan. Pemerintah dapat menyelenggarakan festival makanan tradisional sebagai bagian dari upaya untuk merayakan dan mempromosikan identitas kultural nasional.

Jenis makanan yang disajikan, kualitasnya, dan cara pelayanan dapat menjadi cara untuk menunjukkan kekuatan ekonomi dan status sosial. Dalam dunia bisnis dan politik, makan malam bisnis sering diadakan sebagai cara untuk membangun hubungan atau menjalin kemitraan. Pemilihan restoran mewah dan menu eksklusif dapat mencerminkan kekuatan ekonomi dan status.

Pesta makan tidak hanya merupakan kegiatan sosial atau kuliner, tetapi juga sebuah panggung di mana dinamika kekuasaan politik dapat terungkap. Simbolisme, representasi, dan interaksi di sekitar meja makan dapat mencerminkan, memperkuat, atau bahkan mengubah kekuasaan politik dalam konteks yang lebih luas.  

Apakah ini yang terjadi dalam acara makan siang bersama presiden Jokowi dengan tiga Capres? 

Semoga apa yang dikatakan dalam berita diawal tulisan ini bahwa Presiden  ingin memberikan pesan untuk menjaga pemilu 2024 ini supaya berjalan dengan damai dapat tercapai. Time will tell. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun