Jika sekolah dikenakan PPN, konsekuensi logisnya adalah terjadi kenaikan biaya uang pangkal dan biaya SPP. Hal ini berarti akan semakin banyak jumlah anak-anak yang putus sekolah, terutama di kalangan masyarakat ekonomi bawah.
Padahal kondisi sektor pendidikan kita sebelum pandemi dan jasa pendidikan tidak dipungut PPN saja sudah cukup memprihatinkan. Beberapa di antaranya akses pendidikan yang tidak merata, mutu pendidikan yang tidak merata dan rendah, kualitas pengajar yang rendah dan kurangnya fasilitas pendidikan.Â
Kualitas pendidikan yang rendah akan berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia. Akibatnya, daya saing Indonesia juga rendah di kancah internasional.
Akses Pendidikan yang Tidak Merata
Dalam UUD 1945 pasal 31 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar. Namun kenyataan yang terjadi, berdasarkan data dari BPS, masih ada 20% anak-anak usia SMP dan 2% anak-anak usia SD yang tidak mengeyam pendidikan.
Hingga kini, pemerintah belum sanggup menyediakan sarana pendidikan ke seluruh Indonesia tanpa campur tangan swasta. Dilansir dari CNN Indonesia, berdasarkan data Kemendikbud, ada 131.879 SD negeri (88,25%) dan 17.556 SD swasta (11,75%). Untuk SMP, ada 23.594 (58,17%) SMP negeri dan 16.965 (41,83%) SMP swasta. Sedangkan untuk SMA, ada 6.883 (49,36%) SMA negeri dan 7.061 (50,64%) SMA swasta.
Data di atas menunjukkan bahwa sekitar 20% dari total sekolah yang ada adalah sekolah swasta. Dengan demikian, swasta ikut membantu pemerintah mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan sekolah. Jika tidak ada pihak swasta, maka banyak generasi muda usia sekolah tidak akan mendapatkan pendidikan.
Kebanyakan sekolah berada di pulau Jawa dan di daerah perkotaan. Sedangkan untuk daerah-saerah terpencil, belum banyak sekolah yang didirikan.Â
Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil harus bersekolah di ibu kota Kecamatan atau Kabupaten. Tentunya ini akan menambah biaya yang dikeluarkan karena peserta didik harus indekost selama menempuh pendidikan.
Berdasarkan Indeks Pendidikan, rata-rata penduduk Indonesia bersekolah selama delapan tahun. Ini berarti rata-rata tingkat pendidikan sampai dengan SMP.Â
Nilai indeks ini jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Singapura ( 11,5 tahun), Malaysia (10,2 tahun), dan Filipina (9,3 tahun). Nilai indeks ini juga di bawah target RPJMN tahun 2019, yakni rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas sebesar 8,8 tahun.