Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Keresahan atas Wacana Pemungutan PPN untuk Sekolah

13 Juni 2021   09:24 Diperbarui: 15 Juni 2021   09:00 1584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sekolah (Foto: KOMPAS.COM/GARRY LOTULUNG)

Wacana pemerintah untuk melakukan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako dan jasa pendidikan menuai penolakan dari berbagai pihak. Wacana ini tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 

Ini berarti sektor pendidikan formal maupun non-formal mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA/SMK, perguruan tinggi hingga Bimbingan Belajar (Bimbel) yang sebelumnya tidak masuk dalam objek kena pajak, akan menjadi objek kena pajak. Beleid tersebut bahkan ditetapkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.

Hingga saat ini, memang belum ada informasi rinci terkait wacana tarif pajak untuk jasa pendidikan tersebut. Rencananya, rincian tarif pajak akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah jika rancangan UU ini disahkan. 

Staf Khusus Kemenkeu Bidang Komunikasi Strategis menyatakan bahwa pemungutan PPN untuk jasa pendidikan ini didasarkan pada asas keadilan.

PPN akan menargetkan sekolah mahal yang berorientasi profit dengan tarif normal sebesar 12%. Sedangkan untuk sekolah-sekolah negeri dan swasta yang bukan berorientasi profit akan dikenakan tarif sebesar 5%, yang nantinya akan ditanggung oleh pemerintah. 

Pihak sekolah yang dikenai pajak diberi kebebasan untuk menaikkan biaya sekolah dan selanjutnya mengikuti persaingan biaya sekolah yang sehat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri menghimbau agar seluruh pihak sabar dan menahan diri untuk tidak berspekulasi liar. Beliau mengatakan belum tahu kapan wacana ini akan dilaksanakan karena akan didiskusikan terlebih dahulu dengan DPR.

Mengingat kondisi ekonomi yang mengalami perlambatan secara global, sulit untuk memprediksi kapan ekonomi akan pulih. Jadi wacana pemungutan PPN untuk sekolah ini dianggap tidak peka terhadap krisis yang sedang dialami saat ini.

Sangat wajar jika wacana pemungutan PPN untuk jasa pendidikan ini meresahkan masyarakat. Saat ini, sejak pandemi Covid-19, banyak orang tua yang di-PHK sehingga banyak peserta didik yang putus sekolah. 

Per Februari 2021, data BPS menunjukkan total 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19. Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) menyatakan bahwa banyak sekolah swasta yang berbiaya rendah sulit bertahan dan terancam tutup karena pemasukan dana SPP cukup berkurang sehingga mengganggu dana operasional sekolah.

Dilansir dari CNN Indonesia, UNICEF menemukan ada 938 anak yang putus sekolah di tahun 2020 akibat pandemi Covid-19. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, sudah ada 4,34 juta anak yang tidak sekolah. 

Jika sekolah dikenakan PPN, konsekuensi logisnya adalah terjadi kenaikan biaya uang pangkal dan biaya SPP. Hal ini berarti akan semakin banyak jumlah anak-anak yang putus sekolah, terutama di kalangan masyarakat ekonomi bawah.

Padahal kondisi sektor pendidikan kita sebelum pandemi dan jasa pendidikan tidak dipungut PPN saja sudah cukup memprihatinkan. Beberapa di antaranya akses pendidikan yang tidak merata, mutu pendidikan yang tidak merata dan rendah, kualitas pengajar yang rendah dan kurangnya fasilitas pendidikan. 

Kualitas pendidikan yang rendah akan berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia. Akibatnya, daya saing Indonesia juga rendah di kancah internasional.

Akses Pendidikan yang Tidak Merata

Dalam UUD 1945 pasal 31 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar. Namun kenyataan yang terjadi, berdasarkan data dari BPS, masih ada 20% anak-anak usia SMP dan 2% anak-anak usia SD yang tidak mengeyam pendidikan.

Hingga kini, pemerintah belum sanggup menyediakan sarana pendidikan ke seluruh Indonesia tanpa campur tangan swasta. Dilansir dari CNN Indonesia, berdasarkan data Kemendikbud, ada 131.879 SD negeri (88,25%) dan 17.556 SD swasta (11,75%). Untuk SMP, ada 23.594 (58,17%) SMP negeri dan 16.965 (41,83%) SMP swasta. Sedangkan untuk SMA, ada 6.883 (49,36%) SMA negeri dan 7.061 (50,64%) SMA swasta.

Data di atas menunjukkan bahwa sekitar 20% dari total sekolah yang ada adalah sekolah swasta. Dengan demikian, swasta ikut membantu pemerintah mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan sekolah. Jika tidak ada pihak swasta, maka banyak generasi muda usia sekolah tidak akan mendapatkan pendidikan.

Kebanyakan sekolah berada di pulau Jawa dan di daerah perkotaan. Sedangkan untuk daerah-saerah terpencil, belum banyak sekolah yang didirikan. 

Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil harus bersekolah di ibu kota Kecamatan atau Kabupaten. Tentunya ini akan menambah biaya yang dikeluarkan karena peserta didik harus indekost selama menempuh pendidikan.

Berdasarkan Indeks Pendidikan, rata-rata penduduk Indonesia bersekolah selama delapan tahun. Ini berarti rata-rata tingkat pendidikan sampai dengan SMP. 

Nilai indeks ini jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Singapura ( 11,5 tahun), Malaysia (10,2 tahun), dan Filipina (9,3 tahun). Nilai indeks ini juga di bawah target RPJMN tahun 2019, yakni rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas sebesar 8,8 tahun.

Untuk tingkat pendidikan tinggi, Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Bikrokrasi dan Pendidikan mengungkapkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 34,58%. Ini berarti hanya 34,58% dari seluruh lulusan SMA/SMK yang mengikuti pendidikan tinggi.

Angka ini jauh tertinggal dari negara tetangga Singapura yang memiliki APK 78% dan Malaysia yang memiliki APK 32%. Ada 2 kemungkinan penyebab rendahnya lulusan SMA/SMK yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, yakni kendala biaya dan memilih langsung bekerja.

Kualitas Pendidikan Masih Rendah dan Tidak Merata

Tidak saja akses pendidikan yang tidak merata, kualitas pendidkan pun juga tidak merata. Kualitas pendidikan yang baik dijumpai terutama di pulau Jawa. Sedangkan untuk daerah di luar pulau Jawa, hanya beberapa daerah yang memiliki kualitas pendidikan yang baik. Akibat kejenjangan kualitas pendidikan ini, banyak lulusan SMA/SMK meninggalkan daerahnya untuk berkuliah di pulau Jawa.

Kualitas pendidikan antara sekolah negeri dan sekolah swasta juga tidak sama. Secara umum, sekolah-sekolah berkualitas baik kebanyakan merupakan sekolah swasta. Dari data Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), dari 100 SMA terbaik, sekitar 46% di antaranya adalah sekolah swasta.

Di sekolah-sekolah negeri, para guru cenderung tidak memiliki inovasi dalam mengajar dan menggunakan metode pengajaran satu arah. Hampir tidak ada ruang untuk mangasah soft skill bagi peserta didik, seperti kemampuan mengemukakan pendapat, berargumentasi, presentasi, dan lain-lain. 

Hal ini disebabkan karena kualitas guru yang relatif rendah dan jumlah murid yang banyak sehingga membuat guru sulit untuk memberikan perhatian kepada semua murid.

Hasil survei kualitas pendidikan negara-negara di seluruh dunia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), menunjukkan kualitas pendidikan kita jauh di bawah rata-rata. PISA merupakan tolok ukur kualitas pendidikan di suatu negara.

Survei yang dilakukan setiap tiga tahun sekali ini menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat sepuluh terbawah dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2015. 

Pada tahun 2018, Indonesia mendapat peringkat 6 terbawah untuk literasi, peringkat 7 terbawah untuk matematika dan 9 terbawah untuk sains. Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia berada jauh di bawah Singapura dan Malaysia.

Global Talent Competitiness Index (GTCI) yang dirilis oleh INSEAD (Institut Européen d'Administration des Affaires) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-65 untuk tahun 2020. 

GTCI merupakan pemeringkatan daya saing negara berdasarkan kemampuan sumber daya yang dimiliki negara tersebut. Ini berarti daya saing Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Singapura yang menempati peringkat ke-3 dan Malaysia yang menempati peringkat ke-26.

Kualitas Pengajar Rendah

Peran guru merupakan faktor penentu dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas. Dalam Sustainable Developement Goals (SGDs) ke-4 tentang pendidikan berkualitas, guru adalah kunci pencapaian agenda pendidikan pada tahun 2030. 

Oleh karena itu guru harus memiliki kompetensi yang mumpuni, mampu menyampaikan pelajaran dengan baik, serta mengimplementasikan metode belajar yang kreatif dan inovatif.

Berdasarkan data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report di tahun 2016, ada 52% guru yang belum memiliki sertifikasi profesi. Sedangkan 25% guru, belum memenuhi kualifikasi akademik. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) juga menunjukkan rendahnya kualitas guru, yakni nilai rata-rata di bawah 50. Padahal nilai standar adalah 75.

Hasil studi PISA 2018 menunjukkan ada lima hal yang menyebabkan guru dapat menghambat kegiatan belajar mengajar, yaitu: guru tidak memahami kebutuhan siswa, guru sering tidak hadir, guru cenderung menolak perubahan, guru tidak mempersiapkan pembelajaran dengan baik, dan guru tidak fleksibel dalam proses pembelajaran.

Jika kita lihat dari hulu, kualitas perguruan tinggi yang mendidik para mahasiwa calon guru relatif rendah dibandingkan perguruan tinggi lainnya. Passing grade terendah di ITB, UI, ITS, dan UGM bahkan masih lebih tinggi dibandingkan passing grade untuk masuk perguruan tinggi pendidikan guru. Hal yang wajar jika perguruan tinggi pendidikan guru bukanlah perguruan tinggi favorit. Profesi guru masih dianggap sebelah mata dan bukan profesi menjanjikan.

Kurangnya Fasilitas

Fasilitas yang mendukung kegiatan belajar dan mengajar seperti perpusatakaan dan laboratorium, masih belum lengkap dan memadai. Banyak gedung-gedung sekolah yang kondisinya memprihatinkan dan hampir roboh.

Patutkah Memungut PPN untuk Sekolah? 

Alasan pemungutan PPN untuk sekolah dengan dalil asas keadilan sungguh sulit diterima. Berdasarkan UUD 1945 pasal 31, menyediakan pendidikan bagi warga negara Indonesia adalah kewajiban pemerintah, bukan masyarakat.

Sektor jasa pendidikan bukanlah objek komersial, melainkan bersifat pelayanan seperti halnya organisasi nirlaba. Jika kita lihat komposisi sekolah swasta yang mencapai sekitar 20% (tidak termasuk PAUD dan perguruan tinggi), swasta turut berperan aktif membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. 

Perlu disadari bahwa tidak semua sekolah swasta untuk kalangan yang mampu. Ada juga sekolah swasta yang siswanya dari kelompok tidak mampu yang tidak bisa masuk sekolah negeri.  

Untuk kalangan menengah ke atas, kebanyakan memilih menyekolahkan anak di sekolah swasta karena sekolah negeri rata-rata kualitasnya kurang baik. Sementara persaingan di pasar global semakin hari semakin ketat. Mau tidak mau, orang tua merogoh kantong yang dalam untuk membiayai sekolah anak-anak agar anak-anaknya dapat bersaing dan memiliki masa depan yang lebih baik.

Biaya sekolah untuk pendidikan dasar dapat mencapai 5%-10% dari pendapatan per bulan pun rela dilakoni. Semuanya demi masa depan anak. Jadi bukan berarti orang tua kelebihan uang dan biaya sekolah swasta tidak berat bagi orang tua. 

Jika pemerintah sanggup menyediakan sekolah negeri yang berkualitas di seluruh pelosok tanah air, tentunya sekolah swasta bukanlah opsi pertama bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Komersialisasi pendidikan dapat dihindari.

Kalau memang pemerintah ingin menghindari komersialisasi pendidikan, pemerintah harus memastikan dapat mendirikan sekolah-sekolah yang berkualitas bagus di seluruh Indonesia. 

Jika belum mampu dan masih membutuhkan partisipasi pihak swasta, pemungutan pajak bukanlah solusinya. Mungkin pemerintah dapat melakukan verifikasi dan pengawasan atas biaya yang dikenakan oleh sekolah swasta. Jika biaya sekolah tersebut dianggap tidak masuk akal, pemerintah dapat memberikan peringatan kepada sekolah yang bersangkutan.

Jika pemerintah bertujuan untuk mendapatkan penerimaan negara dari pajak, sebaiknya pemerintah mencari alternatif lain.  Pemerintah dapat memungut pajak dari barang-barang yang termasuk tersier.

Masa depan bangsa sangat bergantung pada kualitas pendidikan. Sebaiknya pemerintah fokus untuk meningkatkan jumlah sekolah di seluruh pelosok negeri dan meningkatkan kualitas pendidikan. 

Mungkin kita bisa belajar dari Malaysia dan Singapura bagaimana menyusun  dan mengimplementasikan blue print pendidikan nasional. Tanpa rencana dan implementasi yang berkesinambungan, Indonesia akan kesulitan membangun sistem pendidikan yang baik.

Alokasi anggaran pendidikan yang besar sekitar 20% (lebih dari 500 trilitun untuk tahun 2020) harus dievaluasi apakah sudah tepat sasaran. Jangan sampai program-program yang ada hanya bagus di atas kertas, tapi tidak menjawab substansi permasalahan. 

Kenyataannya, walau selama periode kepemimpinan Presiden Jokowi alokasi anggaran sudah diperbesar, kualitas pendidikan Indonesia masih kalah dari Vietnam.

Fasilitas untuk menunjang kegiatan belajar mengajar seperti laboratorium bahasa dan komputer serta perpustakaan perlu ditingkatkan, terutama di daerah-daerah terpencil. Kemampuan bahasa Inggris dan teknologi informasi sangat diperlukan di zaman yang memasuki era Society 5.0 ini. 

Pemerataan pembangunan infrastruktur juga perlu dipercepat agar tidak ada lagi kejadian siswa-siswi sekolah berjibaku menyeberangi sungai menuju sekolah.

Kesejahteraan guru juga perlu ditingkatkan agar profesi guru tidak dianggap sebelah mata. Untuk meningkatkan kualitas SDM guru, selain sertifikasi, pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kompetensi perlu diadakan secara berkala. 

Seleksi mahasiswa baru di perguruan tinggi pendidikan guru juga perlu dievaluasi. Agak susah mengharapkan guru berkualitas jika standar seleksi awal saja jauh di bawah perguruan tinggi lain. Tentunya orang-orang akan tertarik memilih profesi guru jika pemerintah dapat menjamin kesejahteraan guru.

Dengan memfokuskan usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, diharapkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lain sehingga kita tidak menjadi babu di negeri sendiri.

Referensi: [1], [2], [3], [4], [5], [6], [7]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun