1. Penegakan Kedaulatan di Perairan Yurisdiksi Indonesia
Kebijakan tegas untuk menenggelamkan kapal-kapal nelayan asing yang secara ilegal ditemukan beroperasi di perairan Indonesia telah diterapkan semasa pemerintahan Presiden Jokowi. Kapal-kapal asing terebut sering kali ditenggelamkan dengan ledakan spektakuler yang disorot di hadapan para awak media, bahkan terkadang bertepatan dengan hari libur nasional. Kebijakan ini secara jelas mengesampingkan kelanjutan dari kebijakan pendekatan terselubung terhadap insiden yang melibatkan China di dekat laut Natuna. Pemerintahan Jokowi jelas memilih untuk menanggapi insiden ini secara terbuka.
Susi Pudjiastuti yang menjawabat sebagai Menteri Perikanan pada masanya sempat mengadakan konferensi pers paska terjadinya konfrontasi tersebut. Konfrontasi yang terjadi pada Maret 2016 misalnya, mengumumkan rencana protes keras melalui nota diplomatik kepada China dan memanggil utusan Beijing yang ada di Jakarta. Masih pada tahun yang sama, Susi mengadakan acara Perayaan Hari Kemerdekaan di pulau-pulau sekitar wilayah Natuna.
Tindakan secara simbolis juga ditunjukkan oleh Presiden Jokowi. Setelah terjadinya insiden ketiga pada tahun 2016, Jokowi segera menggelar rapat kabinet terbatas di dekat Natuna di atas sebuah kapal yang telah menangkap kapal penangkan ikan ilegal milik China. Kegiatan tersebut mengakibatkan beberapa gambar yang beredar menunjukkan Jokowi sedang berada di dekat senjata kapal perang. Hal tersebut dilakukan guna menepati salah satu janji yang ia sebutkan dalam debat capres yang menunjukkan perlawanannya terhadap negara-negara tetangga yang berani secara semena-mena mengganggu kedaulatan wilayah Indonesia. Tindakan represif ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya untuk menegakkan hak berdaulat di perairan yurisdiksi Indonesia. Selain itu, langkah-langkah tersebut juga dilakukan sebagai upaya untuk menegakkan hak-hak kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Indonesia tentu saja berpegang kepada aturan yang telah dijelaskan dalam pasal 73 UNCLOS 1982 mengenai upaya pelaksanaan hak berdaulatnya dalam melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah ZEE. Berdasarkan hal tersebut, dengan tetap memperhatikan aturan dan ketentuan dalam konvensi ini, negara tentunya dapat melakukan tindakan langsung seperti melakukan pemeriksaan serta penaganan terhadap kapal luar yang terbukti melakukan pelanggaran. Tidak hanya itu, Indonesia pun diperbolehkan untuk melakukan penuntutan untuk menegakkan hukum negaranya.
Sikap yang ditunjukkan pemerintah dinilai sangat berani untuk menegakkan kedaulatan di wilayah perbatasan negara. Komitmen Presiden Joko Widodo dalam mengamankan sejengkal wilayahnya dari klaim sepihak negara tetangga telah berhasil ia wujudkan. Tindakan berani dan bersikap tegas ini tentunya dilakukan oleh pemerintah bukan tanpa alasan. Pemerintah tentunya sadar apabila tindakan yang dilakukannya tidak didasari oleh dasar hukum yang jelas, maka dapat berpotensi untuk menimbulkan efek yang berkepanjangan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berani tampil dalam menyikapi polemik di wilayah perairan Indonesia sebagai bentuk pengamalan dari konvensi PBB tentang hukum laut yang tercantum dalam UNCLOS 1982.
2. Diplomasi Aktif
China dan Indonesia sempat menjalin hubungan diplomatik pada 13 April 1950 sebelum akhirnya pada 30 Oktober 1967 dibekukan untuk sementara. Hal tersebut terjadi lantaran adanya 'Peristiwa 30 November 1965'. Ketegangan di antara hubungan bilateral kedua negara ini akhirnya mulai mereda pada tahun 1980-an. Qian Qichen yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Tiongkok memutuskan untuk bertemu dengan Presiden Suharto dan Menteri Sekretaris Negara--Mordiono pada tahun 1989 untuk mendiskusikan dimulainya kembali hubungan diplomatik antara kedua negara. Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan pembicaraan mengenai isu-isu teknis berkenaan dengan normalisasi hubungan bilateral serta secara sepakat menandatangani notulen pada bulan Desember 1989. Akhirnya, hubungan diplomatik antara Indonesia dan RRT kembali pulih pada Agustus 1990. Akan tetapi, nyatanya kedua belah pihak membutuhkan waktu guna menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa hubungan yang baru akan terus dibayang-bayangi oleh sejarah lampau yang tidak menyenangkan.
Upaya Indonesia dalam memperkuat wilayah perairan dan kedaulatannya sebagai suatu negara kepulauan ditandai dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut memperjuangkan hukum laut guna memperkuat kedaulatan negara Indonesia. Djuanda Kartawidjaja yang pada masa itu menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia mencetuskan deklarasi tersebut guna menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia meliputi laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia sehingga membentuk satu kesatuan wilayah Indonesia.
Deklarasi ini sekaligus memberikan penekanan bahwa demi keutuhan wilayah dan dalam rangka melindungi kekayaan Indonesia, seluruh pulau dan laut di antaranya harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Deklarasi ini juga turut menyatakan bahwa penentuan batas selebar 12 mil diukur dari garis garis yang menghubungkan pulau-pulau terluar negara Indonesia. Kampanye diplomasi Indonesia dalam rangka mendapatkan pengakuan internasional sebagai negara kepulauan telah berlansgung selama lebih dari 25 tahun sejak Deklarasi Djuanda dicetuskan hingga pada akhirnya konsep tersebut berhasil diabadikan dalam konvensi UNCLOS 1982.