Semasa aku kecil, ada suatu penuturan nasihat dari ayah yang hingga kini tetap ku pegang teguh dan selalu terpatri di dalam sanubariku. Nasihat yang terdengar begitu sederhana, akan tetapi kedalaman maknanya bahkan melebihi palung terdalam di dunia sekalipun. Waktu itu, sembari menikmati udara pagi yang melegakan paru-paru, beliau menyampaikannya dengan lisan yang terdengar begitu hangat. "Sebelum engkau menilai sesuatu, dengarkanlah terlebih dahulu. Begitupula sebelum engkau mendengarkan, cobalah untuk melihat terlebih dahulu. Tuhan mengkaruniakan kepada manusia sepasang netra untuk menyaksikan, sepasang telinga untuk mendengarkan, dan sepasang tangan untuk memberikan penilaian. Oleh karenanya, akan selalu ada dua sudut pandang dari sebuah kisah."
"Remember there are always two sides to every story. Understanding is a threeedged sword. Your side, their side, and the truth in the middle. Get all the facts before you jump to conclusion." -J.Michael
Dengan demikian, kuucapkan selamat datang!Â
Mari mengawali kisah ini dengan pemikiran yang terbuka!
"Laut China Selatan merupakan sepertiga dari jalur lalu lintas maritim global. Tiap tahunnya, terjadi transaksi perdagangan senilai sekitar 5$ triliun. Enam negara mengklaim sebagai pemiliknya. Satu wilayah perairan. Dan, kalian tahu, bahwa itu baru sedikit masalah di permukaannya saja?"
***
Jikalau kita mencoba untuk mengingat ke belakang, persisnya konflik ini bermula ketika Tiongkok melakukan klaim sepihak terhadap zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan Landasan Kontinen Indonesia di wilayah Perairan Natuna Kepulauan bagian Utara. Mereka mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayah tradisional memancing  (fishing ground), atau mereka menyebutnya sebagai Nine Dash Line (NDL). Tidak perlu bingung untuk memahami konsep awal ini, karena kami akan membawa pembaca sekalian untuk mengenal lebih jauh tentang konsep NDL yang dimiliki oleh Tiongkok dan konsep ZEE yang dimiliki oleh Indonesia.Â
Menilik Konsep NDL melalui Perspektif Tiongkok
Tiongkok memiliki suatu konsep yang disebut dengan Nine-Dash Line (NDL), yang mana merupakan suatu garus demarkasi (garis imajiner untuk mmisahkan suatu wilayah) yang mereka gunakan untuk mengklaim atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan. Nah, ternyata garis NDL yang dimiliki oleh Tiongkok mengalami tumpang tindih dengan beberapa kawasan yang secara hukum juga diklaim oleh negara-negara lain seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan tentu saja negara kita, Indonesia.
Lalu, bagaimanakah latar belakang dari NDL ini sendiri? Rupanya, sejarah keberadaan NDL Tongkok dimulai dengan adanya klaim historis atas Laut China Selatan berdasarkan catatan sejarah yang mereka miliki pada masa Dinasti Qing (1644-1912 Masehi). Berdasarkan catatan sejarah tersebut, terdapat bukti-bukti berupa peta-peta kuno dan catatan perjalanan maritim yang menunjukkan bahwasanya terdapat adanya aktivitas Tiongkok di wilayah perairan tersebut. Namun demikian, klaim tersebut dinilai hanya sebatas histori tradisional belaka ketimbang klaim kedaulatan resmi yang diakui menurut standar hukum internasional modern, terkhususnya apabila kita hendak berkiblat pada konvensi internasional UNCLOS.
Sekitar pada tahun 1947, pemerintah Republik Tiongkok yang berkuasa kala itu mengeluarkan sebuah peta yang menunjukkan adanya Eleven Dash Line yang mencakup hampir seluruh wilayah dari Laut China Selatan. Garis ini ditarik tanpa adanya dasar hukum internasional yang jelas, melainkan hanya didasarkan pada klaim sejarah/historika belaka. Selanjutnya pada tahun 1949, atau lebih tepatnya setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berdiri, konsepsi Eleven Dash Line ini mengalami perubahan menjadi Nine Dash Line pada tahun 1952 dengan menghilangkan dua garis di teluk tonkin setelah mereka melakukan negosiasi dengan pihak negara Vietnam. Nine Dash Line berikutnya pertama kali diterbitkan di dalam peta resmi milik RRT pada tahun 1953.