Sederhana tapi cukup memberi makna yang dalam. Menyentuh sisi relung hati. Bila pada hewan saja ia begitu memuliakannya, lantas bagaimana dengan manusia? Tentu saja lebih dari itu.
Sikapnya mencerminkan kelembutan hati, pribadi yang penyayang, suka menolong, dan masih banyak hal lainnya tentang kebaikan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Membaca kisah Abu Hurairah, seketika teringat pada kisah seorang sahabat. Kala itu ia hendak makan, dengan lauk berupa sepotong ikan asin. Ingat! Bukan seekor. Baru saja dibakar dan diletakan di atas sepiring jagung. Ia tidak sadar bahwa bau ikan asin yang dibakarnya tercium oleh kucing oyen.
Juga tidak sadar bahwa kucing oyen juga berada disitu. Ia hendak mencuci tangan di kamar mandi. Yang menyedihkan adalah ketika keluar dari kamar mandi, ia mendapati daging-daging kecil ikan asin yang disisahkan kucing oyen.
Seketika mata menyala, amarah memuncak. Melihat kucing oyen yang sedang membersihkan mulutnya, langsung melayangkan tendangan maut. Beruntungnya kucing oyen berhasil kabur. Bila tidak, mungkin nyawanya sudah berakhir saat itu juga.
Mendengar kisah itu, aku bahkan bingung. Ingin tertawa tapi air mata lebih dulu menetes. Bagi orang kaya mungkin dengan mudah mengikhlaskan sepotong ikan asin itu, tapi bagi orang yang hidup serba kekurangan itu sangat berat sebab hanya itulah lauk terakhir yang akan menemani untuk menghabiskan sepiring jagung.
Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menyikapi kisah itu. Menurut kamu bagaimana? Ia kamu yang membaca tulisan ini. Berikan jawabanmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H