Mohon tunggu...
Hayfa Fawid
Hayfa Fawid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Halo!

Perkenalkan nama saya Hayfa Fawid Putri. Saat ini saya sedang menempuh studi sarjana strata satu di program studi Sastra Belanda, FIB, Universitas Indonesia. Salam kenal!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cikal Bakal Emansipasi Wanita Hindia Belanda dalam Arsip Surat R.A. Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang

19 Desember 2021   21:13 Diperbarui: 19 Desember 2021   21:23 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dapat dikatakan bahwa wanita Jawa pada zaman Kartini sangat terikat dengan adat istiadat yang berlaku saat itu. Waktu itu perempuan sangat dilarang untung mendapatkan hak pendidikan dan juga tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan di luar tempat tinggalnya, khususnya bekerja. 

Untuk memiliki jabatan di dalam masyarakat sangatlah tidak mungkin bagi wanita pada masa itu. Yang kaum wanita ketahui saat itu ialah kewajiban wanita untuk terus menuruti keinginan laki-laki dan dilarang untuk memiliki keinginan sendiri. 

Praktik pernikahan paksa wanita dengan pria yang sudah dipilihkan orang tuanya juga sangat sering terjadi. Sehingga timbul miskonsepsi di tengah-tengah kaum wanita bahwa tujuan dan cita-cita wanita hanya sebatas untuk dinikahkan.

Mengingat Kartini merupakan seorang darah biru yang menyebabkannya hingga kini dikenal sebagai The Princess of Java hampir di seluruh dunia, Kartini memiliki privilese tersendiri. 

Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang pada masanya menjabat sebagai Bupati Demak, beberapa saat sebelum meninggal ia berpesan, "Anak-anakku, jika tidak mendapat pelajaran, engkau tiada akan mendapat kesenangan.". 

Dapat diperkirakan bahwa ucapan sang kakek ini yang memicu semangat Kartini untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan lebih maju dari kebanyakan wanita sebangsanya pada saat itu. 

Sifat semangat Kartini ini juga rupanya merupakan peninggalan dari nenek Kartini. Nenek R.A. Kartini merupakan seorang yang acuh akan celaan orang terhadap dirinya. 

Hal ini menjadi warisan Tjondronegoro dan istri ke semua turunannya. Tidak sedikit saudara dan sepupu Kartini yang merupakan lulusan HBS (Hoogere Burgerschool) yang pada saat itu merupakan sekolah tertinggi di Hindia Belanda. 

Dikutip dari suratnya kepada Nyonya Abendanon pada 29 November 1901, Kartini menyampaikan bahwa dirinya dan saudara laki-laki maupun perempuannya merupakan hasil didikan bapaknya yang akhirnya menjadi orang yang teredukasi.

Dalam aspek pendidikan, ruang gerak wanita Jawa sangat dibatasi. Hal-hal yang menjadi pembatas juga saling berkaitan satu dengan yang lainnya. 

Misalnya, pada tahun 1908 diciptakan Balai Pustaka oleh pemerintah kolonial yang menjadi kontrol Bumiputra untuk mengakses bacaan. Hal ini pun menyebabkan semakin sulit akses untuk mempelajari bahasa asing yang dalam konteks ini adalah Bahasa Belanda. 

Pribumi laki-laki jika berasal dari kalangan masyarakat lapisan bawah tidak diizinkan pemerintah kolonial untuk menggunakan Bahasa Belanda, lebih-lebihnya jika pribumi itu merupakan seorang perempuan. Kartini mendapatkan hak istimewa mengingat ia merupakan seorang putri kerajaan Jawa. 

Kartini cakap dan mampu menggunakan Bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dibuktikan melalui arsip surat Kartini dengan teman-teman Eropanya yang menggunakan Bahasa Belanda.

Ketika menginjak umur 12 tahun, Kartini mulai dipingit hingga umur 19 tahun. Hal ini dilakukan oleh keluarga Kartini mengikuti ajaran adat istiadat Jawa pada saat itu.

Pingit menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti berkurung di dalam rumah, berdiam diri di kamar  Selama dalam masa pingitan, Kartini seorang diri melawan rasa bosan dan resahnya akan budaya Jawa yang sedang ia lakukan. 

Gundah gulana yang Kartini rasakan menjadi bahan bakarnya untuk terus berkirim surat dengan sahabat penanya yang berasal dari Belanda. 

Sejuta keresahan Kartini tentang kehidupan pendidikan dan pilihan hidup wanita Jawa di Hindia Belanda ia curahkan ke dalam tulisannya yang kemudian dikirim ke kawan-kawannya di Belanda. 

Sesaat setelah Kartini wafat, J.H. Abendanon, salah satu kawannya yang kerap bertukar surat dengannya mengumpulkan semua tulisan Kartini yang kemudian dikumpulkan dan dipublikasikan. Kumpulan arsip yang kemudian disebut buku ini pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Armijn Pane dengan cetakan pertama pada tahun 1938.

Keresahan Kartini terhadap Adat Istiadat yang Mengikat Wanita

Keluhan Kartini bermunculan jauh sebelum ia memasuki masa pingit. Berawal dari terbatasnya gerak wanita dalam segala aspek kehidupan. 

Sedari kecil wanita Jawa di Hindia Belanda sudah ditularkan doktrin bahwa tujuan hidup wanita hanya sebatas untuk dijodohkan dan dinikahkan. 

Dikutip dari surat yang ditulis oleh Kartini untuk Nyonya Zeehandelar pada 23 Agustus 1900 (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), "Dan semasa kanak-kanak, laki-laki itu sudah diajar merendahkan derajat anak perempuan. Bukankah acap kali kudengar seorang ibu berkata kepada anak laki-lakinya, bila dia jatuh, lalu menangis, "Cis, anak laki-laki menangis tiada malu, seperti anak perempuan!"". Apa yang Kartini ungkapkan di tulisannya memang sesuai dengan keadaan yang masih berlanjut sampai saat ini. 

Hal ini agaknya menggiring pendapat bahwa wanita itu lemah, apa yang dilakukannya hanya menangis. Pemikiran itu kemudian dapat dikategorikan sebagai penindasan terhadap kaum wanita secara non-verbal. 

Konsep wanita tidak seharusnya bekerja terlebih di luar rumah sudah tertanam di pikiran wanita pribumi Hindia Belanda. 

Setelah beranjak dewasa, wanita tidak diperbolehkan untuk memperoleh pendidikan apapun kecuali wanita tersebut merupakan keturunan darah biru atau diberi izin khusus oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. 

Masa kini, setelah wanita lulus dari perguruan tinggi dan mendapat gelar dari pendidikan tersebut, maupun wanita dan laki-laki saling berlomba untuk memiliki pekerjaan guna keberlangsungan hidup. Sangat disayangkan bahwa hal ini dianggap tabu pada masa Kartini, sampai pada akhirnya Kartini berhasil memperjuangkan hak-hak wanita sebagaimana hak manusia lainnya. 

Dapat dikatakan bahwa sebelum itu, kedudukan wanita sebagai anggota di lapisan masyarakat akan tetap menjadi inferior meskipun sekalinya wanita tersebut memiliki gelar. Dengan kata lain wanita tidak akan pernah dianggap lebih tinggi derajatnya daripada kaum laki-laki.

Penindasan terhadap kaum wanita tidak kunjung berhenti ketika sudah cukup dewasa untuk menikah. Jarang bahkan hampir tidak dapat ditemukan wanita yang menikah dengan pria pilihannya. 

Kebanyakan wanita pribumi di Hindia Belanda pada masa itu dinikahkan secara paksa dengan laki-laki yang sudah dipilih kedua orang tuanya. 

Biasanya keluarga Jawa memilih laki-laki yang memiliki gelar tinggi/berkerabat dekat dengan keluarga wanita/memiliki harta yang tidak terhitung dan masih banyak lagi faktor lainnya. Setelah menikah pun wanita tetap memiliki potensi untuk mengalami penindasan dalam kehidupan rumah tangga. 

Bagi Kartini, pernikahan poligami merupakan salah satu contohnya. Ajaran Islam ini sangat ditentang Kartini meskipun ia sendiri merupakan seorang muslim. 

Pemikiran bahwa suami bisa kapan saja membawa perempuan muda lainnya ke rumah dan diajak berkenalan dengan istrinya dianggap Kartini hanya menguntungkan kaum laki-laki. Pasalnya pada saat itu hampir tidak ada laki-laki yang hanya memiliki satu istri. Bahkan di kalangan Susuhunan, laki-laki dapat memiliki lebih dari 26 istri.

Dalam bidang pendidikan, perempuan pribumi Hindia Belanda pada saat itu juga tidak luput dari penindasan yang sudah dianggap lumrah oleh masyarakat. 

Pada zaman pendudukan Belanda, wanita pribumi dilarang mempelajari atau bahkan menguasai bahasa asing. 

Bahasa Belanda pun tidak diperuntukan apabila wanita tersebut berasal dari strata bawah masyarakat. Lain hal, Kartini memiliki privilese untuk belajar dan menggunakan Bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Lebih-lebihnya Kartini menggunakan bahasa yang kala itu dianggap bahasa kaum terdidik sebagai bahasa pengantarnya ketika surat menyurat dengan kawan-kawannya di Belanda. 

Sifat Kartini yang tidak egois dan peduli terhadap kondisi sekitarnya membuat Kartini geram dengan peraturan ini. Seperti yang ditulisnya dalam surat untuk Nyonya Zeehandelaar pada 9 Januari 1901 (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), "Kecerdasan perempuan penduduk Bumiputra tidak akan maju dengan pesatnya bila perempuan tidak dilibatkan dalam proses kemajuan itu! Perempuan dapat menjadi pembawa peradaban!". Kartini berpendapat bahwa kaum perempuan juga merupakan bagian dari anggota lapisan masyarakat yang tentunya tidak bisa ditinggalkan dan diacuhkan begitu saja.

Seberkas pemikiran Kartini memang bersumber dari isi kepala dan hatinya sendiri, namun tidak dapat dipungkiri bahwa selama bertukar surat dengan kawan-kawan Belandanya, pemikiran yang melawan adat istiadat yang sekian lama telah merugikan kemajuan kaum wanita dimantapkan oleh ide-ide kawan bersurat Kartini. 

Perspektif Kartini perihal kehidupan wanita terbuka jauh lebih luas sebagai efek dari bertukar surat dengan wanita-wanita Eropa. Kartini yakin kehidupan wanita pribumi di Hindia Belanda bisa setara dengan standar kehidupan wanita di Eropa.

Pengaruh Pemikiran Eropa terhadap Emansipasi Wanita di Hindia Belanda
Kartini merupakan seorang anak dari Bupati Jepara,  Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kala itu suara seorang pemerintah dan keluarganya memiliki pengaruh yang begitu besar. 

Meski Kartini kala itu sedang dipingit, ia turut serta menggunakan hak istimewanya itu untuk bertukar pikiran dengan kawan-kawannya di Belanda. Tidak dapat dipungkiri bahwa sahabat pena Kartini dari Eropa memiliki peran besar dalam masuknya pemikiran emansipasi wanita ke Hindia Belanda.

Pada saat itu orang kulit putih lah yang dianggap paling bermartabat, paling suci, paling pintar, dan sebagainya. Hal ini menjadikan Kartini memandang hormat pemikiran-pemikiran Eropa yang ia terima. Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Armijn Pane, "Aku tahu, bahwa di Eropa pun keadaan kesusilaan (adab) laki-laki amat buruk juga." 

Dengan tertulisnya kalimat ini, dianggap Kartini mengetahui dan paham perihal ketidaksetaraan kedudukan wanita dan laki-laki dalam lapisan masyarakat. Beruntung Kartini memiliki teman-teman bersurat yang pemikirannya sangat terbuka. Akibatnya, Kartini mendapatkan informasi yang mendukung argumennya bahwa kaum perempuan pribumi Hindia Belanda  berhak menjalankan kehidupan yang lebih baik dari apa yang sedang ia jalani saat itu.

Keresahan Kartini tertulis dalam suratnya kepada Nyonya van Kol pada Agustus 1901 (tanggal tidak tertera, kemungkinan usang terhapus waktu.), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Armijn Pane, "Aduhai, ingin, sangatlah inginnya hatiku mendapat kesempatan memimpin hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan otak muda, mendidik perempuan untuk kehidupan di masa yang akan datang, perempuan yang dapat menaburkannya dan menyebarkannya lagi. Alangkah besar bahagianya bagi masyarakat Hindia, bila perempuan itu dididik baik-baik. 

Dan untuk keperluan itu sendiri, berharaplah kami dengan amat sangatnya supaya disediakan pengajaran dan pendidikan." Tertulis jelas bahwa dalam surat ini, Kartini membandingkan kehidupan wanita pribumi di Hindia Belanda dan perempuan di Eropa. Kehidupan wanita pribumi Hindia Belanda pada masa itu sangatlah jauh dengan standar kehidupan wanita di masa kini. Kini, siapapun bisa membentuk watak anak serta mendidik perempuan. 

Di masa ini juga maupun wanita atau pria sudah terjamin perihal pendidikannya, bahkan sudah dijamin oleh negara. Namun sayangnya pada masa Kartini, semua hal itu hanyalah sebatas mimpi dan cita-cita. Dengan diperolehnya informasi dari kawan-kawan Eropanya, Kartini berhasil menciptakan gagasan emansipasi wanita Hindia Belanda dalam aspek pendidikan dan kehidupan berumah tangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun