Mohon tunggu...
Hayfa Fawid
Hayfa Fawid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Halo!

Perkenalkan nama saya Hayfa Fawid Putri. Saat ini saya sedang menempuh studi sarjana strata satu di program studi Sastra Belanda, FIB, Universitas Indonesia. Salam kenal!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cikal Bakal Emansipasi Wanita Hindia Belanda dalam Arsip Surat R.A. Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang

19 Desember 2021   21:13 Diperbarui: 19 Desember 2021   21:23 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada zaman pendudukan Belanda, wanita pribumi dilarang mempelajari atau bahkan menguasai bahasa asing. 

Bahasa Belanda pun tidak diperuntukan apabila wanita tersebut berasal dari strata bawah masyarakat. Lain hal, Kartini memiliki privilese untuk belajar dan menggunakan Bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Lebih-lebihnya Kartini menggunakan bahasa yang kala itu dianggap bahasa kaum terdidik sebagai bahasa pengantarnya ketika surat menyurat dengan kawan-kawannya di Belanda. 

Sifat Kartini yang tidak egois dan peduli terhadap kondisi sekitarnya membuat Kartini geram dengan peraturan ini. Seperti yang ditulisnya dalam surat untuk Nyonya Zeehandelaar pada 9 Januari 1901 (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), "Kecerdasan perempuan penduduk Bumiputra tidak akan maju dengan pesatnya bila perempuan tidak dilibatkan dalam proses kemajuan itu! Perempuan dapat menjadi pembawa peradaban!". Kartini berpendapat bahwa kaum perempuan juga merupakan bagian dari anggota lapisan masyarakat yang tentunya tidak bisa ditinggalkan dan diacuhkan begitu saja.

Seberkas pemikiran Kartini memang bersumber dari isi kepala dan hatinya sendiri, namun tidak dapat dipungkiri bahwa selama bertukar surat dengan kawan-kawan Belandanya, pemikiran yang melawan adat istiadat yang sekian lama telah merugikan kemajuan kaum wanita dimantapkan oleh ide-ide kawan bersurat Kartini. 

Perspektif Kartini perihal kehidupan wanita terbuka jauh lebih luas sebagai efek dari bertukar surat dengan wanita-wanita Eropa. Kartini yakin kehidupan wanita pribumi di Hindia Belanda bisa setara dengan standar kehidupan wanita di Eropa.

Pengaruh Pemikiran Eropa terhadap Emansipasi Wanita di Hindia Belanda
Kartini merupakan seorang anak dari Bupati Jepara,  Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kala itu suara seorang pemerintah dan keluarganya memiliki pengaruh yang begitu besar. 

Meski Kartini kala itu sedang dipingit, ia turut serta menggunakan hak istimewanya itu untuk bertukar pikiran dengan kawan-kawannya di Belanda. Tidak dapat dipungkiri bahwa sahabat pena Kartini dari Eropa memiliki peran besar dalam masuknya pemikiran emansipasi wanita ke Hindia Belanda.

Pada saat itu orang kulit putih lah yang dianggap paling bermartabat, paling suci, paling pintar, dan sebagainya. Hal ini menjadikan Kartini memandang hormat pemikiran-pemikiran Eropa yang ia terima. Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Armijn Pane, "Aku tahu, bahwa di Eropa pun keadaan kesusilaan (adab) laki-laki amat buruk juga." 

Dengan tertulisnya kalimat ini, dianggap Kartini mengetahui dan paham perihal ketidaksetaraan kedudukan wanita dan laki-laki dalam lapisan masyarakat. Beruntung Kartini memiliki teman-teman bersurat yang pemikirannya sangat terbuka. Akibatnya, Kartini mendapatkan informasi yang mendukung argumennya bahwa kaum perempuan pribumi Hindia Belanda  berhak menjalankan kehidupan yang lebih baik dari apa yang sedang ia jalani saat itu.

Keresahan Kartini tertulis dalam suratnya kepada Nyonya van Kol pada Agustus 1901 (tanggal tidak tertera, kemungkinan usang terhapus waktu.), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Armijn Pane, "Aduhai, ingin, sangatlah inginnya hatiku mendapat kesempatan memimpin hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan otak muda, mendidik perempuan untuk kehidupan di masa yang akan datang, perempuan yang dapat menaburkannya dan menyebarkannya lagi. Alangkah besar bahagianya bagi masyarakat Hindia, bila perempuan itu dididik baik-baik. 

Dan untuk keperluan itu sendiri, berharaplah kami dengan amat sangatnya supaya disediakan pengajaran dan pendidikan." Tertulis jelas bahwa dalam surat ini, Kartini membandingkan kehidupan wanita pribumi di Hindia Belanda dan perempuan di Eropa. Kehidupan wanita pribumi Hindia Belanda pada masa itu sangatlah jauh dengan standar kehidupan wanita di masa kini. Kini, siapapun bisa membentuk watak anak serta mendidik perempuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun