Hal ini agaknya menggiring pendapat bahwa wanita itu lemah, apa yang dilakukannya hanya menangis. Pemikiran itu kemudian dapat dikategorikan sebagai penindasan terhadap kaum wanita secara non-verbal.Â
Konsep wanita tidak seharusnya bekerja terlebih di luar rumah sudah tertanam di pikiran wanita pribumi Hindia Belanda.Â
Setelah beranjak dewasa, wanita tidak diperbolehkan untuk memperoleh pendidikan apapun kecuali wanita tersebut merupakan keturunan darah biru atau diberi izin khusus oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.Â
Masa kini, setelah wanita lulus dari perguruan tinggi dan mendapat gelar dari pendidikan tersebut, maupun wanita dan laki-laki saling berlomba untuk memiliki pekerjaan guna keberlangsungan hidup. Sangat disayangkan bahwa hal ini dianggap tabu pada masa Kartini, sampai pada akhirnya Kartini berhasil memperjuangkan hak-hak wanita sebagaimana hak manusia lainnya.Â
Dapat dikatakan bahwa sebelum itu, kedudukan wanita sebagai anggota di lapisan masyarakat akan tetap menjadi inferior meskipun sekalinya wanita tersebut memiliki gelar. Dengan kata lain wanita tidak akan pernah dianggap lebih tinggi derajatnya daripada kaum laki-laki.
Penindasan terhadap kaum wanita tidak kunjung berhenti ketika sudah cukup dewasa untuk menikah. Jarang bahkan hampir tidak dapat ditemukan wanita yang menikah dengan pria pilihannya.Â
Kebanyakan wanita pribumi di Hindia Belanda pada masa itu dinikahkan secara paksa dengan laki-laki yang sudah dipilih kedua orang tuanya.Â
Biasanya keluarga Jawa memilih laki-laki yang memiliki gelar tinggi/berkerabat dekat dengan keluarga wanita/memiliki harta yang tidak terhitung dan masih banyak lagi faktor lainnya. Setelah menikah pun wanita tetap memiliki potensi untuk mengalami penindasan dalam kehidupan rumah tangga.Â
Bagi Kartini, pernikahan poligami merupakan salah satu contohnya. Ajaran Islam ini sangat ditentang Kartini meskipun ia sendiri merupakan seorang muslim.Â
Pemikiran bahwa suami bisa kapan saja membawa perempuan muda lainnya ke rumah dan diajak berkenalan dengan istrinya dianggap Kartini hanya menguntungkan kaum laki-laki. Pasalnya pada saat itu hampir tidak ada laki-laki yang hanya memiliki satu istri. Bahkan di kalangan Susuhunan, laki-laki dapat memiliki lebih dari 26 istri.
Dalam bidang pendidikan, perempuan pribumi Hindia Belanda pada saat itu juga tidak luput dari penindasan yang sudah dianggap lumrah oleh masyarakat.Â