Pribumi laki-laki jika berasal dari kalangan masyarakat lapisan bawah tidak diizinkan pemerintah kolonial untuk menggunakan Bahasa Belanda, lebih-lebihnya jika pribumi itu merupakan seorang perempuan. Kartini mendapatkan hak istimewa mengingat ia merupakan seorang putri kerajaan Jawa.Â
Kartini cakap dan mampu menggunakan Bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dibuktikan melalui arsip surat Kartini dengan teman-teman Eropanya yang menggunakan Bahasa Belanda.
Ketika menginjak umur 12 tahun, Kartini mulai dipingit hingga umur 19 tahun. Hal ini dilakukan oleh keluarga Kartini mengikuti ajaran adat istiadat Jawa pada saat itu.
Pingit menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti berkurung di dalam rumah, berdiam diri di kamar  Selama dalam masa pingitan, Kartini seorang diri melawan rasa bosan dan resahnya akan budaya Jawa yang sedang ia lakukan.Â
Gundah gulana yang Kartini rasakan menjadi bahan bakarnya untuk terus berkirim surat dengan sahabat penanya yang berasal dari Belanda.Â
Sejuta keresahan Kartini tentang kehidupan pendidikan dan pilihan hidup wanita Jawa di Hindia Belanda ia curahkan ke dalam tulisannya yang kemudian dikirim ke kawan-kawannya di Belanda.Â
Sesaat setelah Kartini wafat, J.H. Abendanon, salah satu kawannya yang kerap bertukar surat dengannya mengumpulkan semua tulisan Kartini yang kemudian dikumpulkan dan dipublikasikan. Kumpulan arsip yang kemudian disebut buku ini pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Armijn Pane dengan cetakan pertama pada tahun 1938.
Keresahan Kartini terhadap Adat Istiadat yang Mengikat Wanita
Keluhan Kartini bermunculan jauh sebelum ia memasuki masa pingit. Berawal dari terbatasnya gerak wanita dalam segala aspek kehidupan.Â
Sedari kecil wanita Jawa di Hindia Belanda sudah ditularkan doktrin bahwa tujuan hidup wanita hanya sebatas untuk dijodohkan dan dinikahkan.Â
Dikutip dari surat yang ditulis oleh Kartini untuk Nyonya Zeehandelar pada 23 Agustus 1900 (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), "Dan semasa kanak-kanak, laki-laki itu sudah diajar merendahkan derajat anak perempuan. Bukankah acap kali kudengar seorang ibu berkata kepada anak laki-lakinya, bila dia jatuh, lalu menangis, "Cis, anak laki-laki menangis tiada malu, seperti anak perempuan!"". Apa yang Kartini ungkapkan di tulisannya memang sesuai dengan keadaan yang masih berlanjut sampai saat ini.Â