Ditambahkan oleh M. Arifin, nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori pemaknaan, dari perspektif normatif dan perspektif operatif. Nilai dalam aspek normatif, yaitu pertimbangan baik dan buruk, benar dan salah, haq dan bathil, diridhoi dan laknat Allah. Dari segi operatif, nilai ini mengandung 5 kategori: prinsip-prinsip standarisasi perilaku manusia, yaitu wajib atau fardhu, sunnah atau mustahab, mubah atau jaiz, makruh dan haram.Â
Menurut Abu Ahmadi dan Noor Salimi, nilai adalah seperangkat keyakinan atau perasaan yang diyakini sebagai identitas yang memberikan gaya luar biasa pada pola pikir, perasaan, keterikatan, dan perilaku.Â
Disadari atau tidak, pelaksanaan otonomi daerah (saat ini) berimplikasi positif bagi partisipasi masyarakat. Jika dulu peran masyarakat hampir tidak ada, maka ruang publik yang kini begitu luas harus dimanfaatkan secara maksimal oleh setiap komponen masyarakat dalam mendukung terselenggaranya pemerintahan yang sehat dan bersih. Pendidikan publik antikorupsi dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat agar memiliki pengetahuan dan kemampuan, baik secara teoritis maupun praktis, dalam menghadapi dan menindaklanjuti dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik.Â
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan antikorupsi diyakini akurat; dalam hal ini adalah tentang unsur pendidikan anti korupsi untuk mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku yang dapat membentuk manusia seutuhnya. Banyak sekali nilai-nilai antikorupsi dalam Islam, baik dalam Al-Qur'an, Hadits maupun pendapat para ahli, sebagai berikut:Â
1. Larangan suap dan hadiah bagi pejabat.Â
2. Larangan fase > d dan ghulu > l.Â
3. Perlunya sikap jujur dan amanah bagi pemimpin atau pejabat publik.Â
4. Perlunya menegakkan keadilan dan meritokrasi.Â
5. Larangan memakan harta yang haram dan tidak rakus terhadap dunia.Â
6. Saran dan kontrol yang transparan atas kebijakan.Â
7. Instruksi kelayakan gaji.Â