“Aku lagi pengen makan lele tepung.” kata gadis berjilbab kuning itu sambil tersenyum.
“Ya udah deh.” jawab Hani sambil cemberut.
“Kutunggu di sana ya.”
Hani hanya diam sambil menatap temannya menjauh perlahan. Hanya sepuluh meter jarak warung itu dari tempat Hani berdiri. Setelah menunggu pesanan burgernya sendirian dengan bosan, tak sampai sepuluh menit, pesanannya siap. Meski tak mendapatkan menu idamannya, sebuah beef burger standar pun jadilah.
Pesanan siap, uang kembalian didapat, Hani pun langsung menuju warung pecel lele. Dilihatnya sang teman sedang memilih menu sebelum membubuhkan tanda centang pada menu yang diinginkan. Sayang tak tertera daftar harganya sekalian, Hani berkomentar dalam hati. Alih-alih sekadar menemani, niat awal Hani buyar seketika. Ia tergiur dan ikut memesan. Gadis itu mengubah angka 1 menjadi angka 2 pada kolom pecel lele dan menulis lagi angka 1 di kolom es jeruk.
“Itu burger mau buat kapan jadinya?” tanya si gadis sambil tersenyum.
“Buat sahur. Kalo nggak ya buat sarapan. Kalo masih laper ya buat cemilan tengah malem.” Hani terkekeh. Gadis itu tersenyum lagi. Hani cuek seandainya temannya itu sedang menertawainya meski dalam hati. Gue kan cuma sekali-kali jadi tukang makan, kata Hani dalam hati sekedar mengingatkan dirinya sendiri.
Sambil menunggu pesanan datang, keduanya membisu sejenak, sibuk dengan ponsel pintar masing-masing. Agak lebih lama daripada menunggu pesanan burger, dua piring lele kremes beserta lalap dan sambal pun disajikan. Segelas teh tawar dan es jeruk mengikuti.
“Mbak, Jakarta itu memang bisa bikin orang berubah banyak, ya?” kata Hani sambil memisahkan daun kemangi dari batangnya.
Si gadis mengalihkan pandang sesaat dari piringnya.
“Maksudnya, Han?”