Bapak Jangkang seorang yang berpendirian. Oleh karenanya, sewaktu Jangkang lahir ke dunia dari rahim mamaknya, dia diberi nama Jangkang oleh bapaknya. Ia adalah nama dari desa kelahiran Jangkang. Sengaja dipilih agar putra bungsunya, satu-satunya di antara empat kakak perempuannya, tak melupakan asal usulnya.
Lalu Jangkang juga pernah bercerita kalau di usia yang kedelapan, dia, Bapak, Mamak, dan dua kakaknya pindah ke Pulau Rupat namanya. Di salah satu desanya, Desa Titi Akar, mereka tinggal bersama beberapa kepala keluarga bersuku Akit atau Akik. Sama saja. Ada pun dua kakak tertuanya, mereka sudah kawin muda dengan pemuda keturunan tionghoa di Desa Jangkang.
Kini Jangkang sudah sampai ceritanya pada Pulau Rupat itu. Salah satu pulau yang menawarkan pemandangan senja memikat dan tepian pantai yang bersih. Orang-orang kota jarang datang ke sana karena memakan waktu yang membuat pegal-pegal. Dan aku setuju untuk itu. Baru saja kami tiba di pelabuhan, tulang punggungku sudah minta dicium oleh kasur. Tapi senyum Jangkang lagi-lagi berhasil mengurai lelahku.
"Sekarang kita naik kapal kecil."
"Masih lama?"
"Tidak."
"Baiklah."
Jangkang meletakkan bantal melengkung pada leherku. Entah dari mana dia mendapatkannya. Tetapi kemudian dia merosotkan tubuhnya hingga bahunya sejajar dengan kepalaku. "Tidurlah sebentar," katanya.
Aku heran, kenapa Bibi tiba-tiba tidak menyukainya? Apa benar karena orang-orang menyebut kami Si Cantik dan Buruk Rupa?
Entah berapa lama perjalanan kapal kecil yang kami tumpangi melaju dan aku hanya terlelap di bahu kekasihku. Dia menepuk-nepuk pelan tanganku dan kemudian memanggil lembut namaku entah berapa kali, yang pasti, ketika aku tersadar dan masih menutup mata, suaranya masih memanggil namaku, "Juwita, bangunlah. Juwita, kita harus naik rakit."
Ah, kekasihku itu.