Seusai menelan paksa nasihat-nasihat dari bibiku, pada akhirnya aku menggendong tas berisi beberapa helai pakaian dan membuat murung wajah Bibi. Jangkang sudah menunggu di teras, dan Bibi tidak mau menyapanya ramah. Padahal awalnya Bibi menyukai Jangkang, tapi sejak sebulan lalu dia menyuruhku memutus hubungan kami yang pada mulanya saja aku tidak yakin bisa sampai sejauh ini. Mungkin cerita orang-orang membuat akalnya berpikir realistis. Dan mungkin ada sesuatu yang mendorongnya demikian. Entah, aku selalu melupakan apa-apa yang Bibi katakan kepadaku.
Perjalanan kami menuju desa tempat tinggal Jangkang cukup membuat bokongku panas. Ini perjalanan jauh pertamaku. Wajar saja tubuhku merasa kelelahan sekali, padahal ini belum ada separuhnya. Beruntungnya Jangkang itu lelaki yang menawan, jadi aku cukup beristirahat dengan menatap wajahnya: rahang tegasnya, bibir, hidung, lalu matanya yang agak sedikit sipit, dan keningnya yang gagah. Ah, kekasihku.
"Jangan dilihat terus, nanti aku salah tingkah," katanya tanpa menoleh dan lagi-lagi menyembunyikan senyumannya. Aduh, kalau begini aku yang jadi salah tingkah dibuatnya. Lantas segera kualihkan pandangan pada pohon sawit yang melambai di sepanjang perjalanan. Tetapi kemudian, Jangkang berbisik pelan di belakang kepalaku, "Tidak usah malu, aku senang kau melakukan itu kepadaku dan bukan pada perjaka lain."
Aku tak kuat menahan senyum. Dia selalu saja pandai berkata-kata. Dan untuk mengurai letupan-letupan di dalam dadaku, bertanya-tanya adalah keahlianku. Dan kalau tak salah ingat, dia juga menyukai itu.
"Emm, apa nama desa tujuan kita?"
Lelaki yang baru saja mengambil botol dari tas yang diletakkannya di dekat kaki itu menyipitkan matanya. Dia membuka tutup botol, lalu diberikannya botol minuman manis yang biasa aku beli di minimarket itu kepadaku. Kenapa dia bisa tahu kalau aku haus?
"Kau pasti lupa lagi."
Aku tidak langsung meminum minuman itu. Tetapi kuperhatikan wajah Jangkang yang terlihat kecewa.
"Maaf. Bukan maksudku begitu." Letupan-letupan di dadaku menjadi aneh. Tidak seperti kembang api yang meluncur dan memecah di langit, kini ia lebih seperti ikan sarden di penggorengan.
"Jangan sedih, aku tidak marah." Dia memberikanku pipet dengan memasukkannya langsung pada botol. Lalu mulai bercerita yang perlahan-lahan mengembalikan ingatanku.
Pada kencan kami yang pertama, Jangkang menceritakan asal muasal namanya yang unik. Dia berkata bahwa bapaknya adalah seorang bomoh yang senantiasa memimpin ritual bedekah bersama seorang batin. Itu adalah ritual pengobatan yang turun-temurun dilakukan orang-orang di sukunya. Suku Akit namanya atau juga disebut Suku Akik.