Pabila suatu ketika kau dibawa mengunjungi rumah orang tua kekasihmu, kira-kira, apa yang menjadi desahanmu lolos di tengah-tengah kegagapanmu? Dan kemudian kau temukan ketidakadilan pada langit di sana.
Bersaksikan langit yang mengoranye pekat kala itu, tercetus ajakan Jangkang, kekasihku yang bekerja buruh di pabrik santan kelapa, ke kampung halamannya setelah sakit bapaknya tak kunjung sembuh. Lelaki suku itu, begitu aku menjulukinya di awal pertemuan kami, menatap lekat ke arahku dengan harapan di matanya. Dia bertanya, bagaimana? Dan lalu aku memikirkan jawaban yang sekiranya tidak menyakitinya, juga kemungkinan-kemungkinan yang bisa aku pilih.
Aku dan Jangkang ialah pasangan yang tidak cocok menurut orang-orang. Hubungan kami sering disandingkan dengan kisah Si Cantik dan Buruk Rupa. Bagiku Jangkang itu sungguh menawan dengan segala apa pun yang dilakukannya untukku. Dan dia juga berkata bahwa namaku sudah memikatnya sejak mula-mula.
Jangkang kembali berujar setelah es pokat kami diletakkan di meja oleh pegawai kafe, "Apa kau takut bertemu Bapak-Mamakku? Aku tak memaksa kalau itu mengganggumu." Jelas terlihat dia kecewa, tetapi ditutupinya dengan senyuman saja.
"Kapan berangkatnya?"
Wajahnya langsung semringah. Matanya bak melahirkan bintang-bintang dalam sekejap. Kemudian dia menjawab, "Dua hari lagi. Kita akan naik bus dan disambung dengan kapal kecil, lalu rakit menuju desa."
"Menarik. Aku jadi tak sabar. Dan sebenarnya aku tidak pernah naik rakit."
"Rumahku di sana tidak begitu istimewa sebenarnya, tapi kuyakin kau akan menyukai alamnya."
Kami pun menikmati sepoi angin yang membawa aroma gerimis di sisa kencan kami yang tak lagi kuhitung jumlahnya. Sesekali dia melirikku dan kemudian tersenyum. Mungkin dia tidak percaya kalau aku akan memenuhi ajakannya. Atau mungkin juga ada sesuatu di wajahku tapi dia enggan mengatakannya. Akan tetapi, aku suka senyuman yang disembunyikannya itu.
***
Seusai menelan paksa nasihat-nasihat dari bibiku, pada akhirnya aku menggendong tas berisi beberapa helai pakaian dan membuat murung wajah Bibi. Jangkang sudah menunggu di teras, dan Bibi tidak mau menyapanya ramah. Padahal awalnya Bibi menyukai Jangkang, tapi sejak sebulan lalu dia menyuruhku memutus hubungan kami yang pada mulanya saja aku tidak yakin bisa sampai sejauh ini. Mungkin cerita orang-orang membuat akalnya berpikir realistis. Dan mungkin ada sesuatu yang mendorongnya demikian. Entah, aku selalu melupakan apa-apa yang Bibi katakan kepadaku.
Perjalanan kami menuju desa tempat tinggal Jangkang cukup membuat bokongku panas. Ini perjalanan jauh pertamaku. Wajar saja tubuhku merasa kelelahan sekali, padahal ini belum ada separuhnya. Beruntungnya Jangkang itu lelaki yang menawan, jadi aku cukup beristirahat dengan menatap wajahnya: rahang tegasnya, bibir, hidung, lalu matanya yang agak sedikit sipit, dan keningnya yang gagah. Ah, kekasihku.
"Jangan dilihat terus, nanti aku salah tingkah," katanya tanpa menoleh dan lagi-lagi menyembunyikan senyumannya. Aduh, kalau begini aku yang jadi salah tingkah dibuatnya. Lantas segera kualihkan pandangan pada pohon sawit yang melambai di sepanjang perjalanan. Tetapi kemudian, Jangkang berbisik pelan di belakang kepalaku, "Tidak usah malu, aku senang kau melakukan itu kepadaku dan bukan pada perjaka lain."
Aku tak kuat menahan senyum. Dia selalu saja pandai berkata-kata. Dan untuk mengurai letupan-letupan di dalam dadaku, bertanya-tanya adalah keahlianku. Dan kalau tak salah ingat, dia juga menyukai itu.
"Emm, apa nama desa tujuan kita?"
Lelaki yang baru saja mengambil botol dari tas yang diletakkannya di dekat kaki itu menyipitkan matanya. Dia membuka tutup botol, lalu diberikannya botol minuman manis yang biasa aku beli di minimarket itu kepadaku. Kenapa dia bisa tahu kalau aku haus?
"Kau pasti lupa lagi."
Aku tidak langsung meminum minuman itu. Tetapi kuperhatikan wajah Jangkang yang terlihat kecewa.
"Maaf. Bukan maksudku begitu." Letupan-letupan di dadaku menjadi aneh. Tidak seperti kembang api yang meluncur dan memecah di langit, kini ia lebih seperti ikan sarden di penggorengan.
"Jangan sedih, aku tidak marah." Dia memberikanku pipet dengan memasukkannya langsung pada botol. Lalu mulai bercerita yang perlahan-lahan mengembalikan ingatanku.
Pada kencan kami yang pertama, Jangkang menceritakan asal muasal namanya yang unik. Dia berkata bahwa bapaknya adalah seorang bomoh yang senantiasa memimpin ritual bedekah bersama seorang batin. Itu adalah ritual pengobatan yang turun-temurun dilakukan orang-orang di sukunya. Suku Akit namanya atau juga disebut Suku Akik.
Bapak Jangkang seorang yang berpendirian. Oleh karenanya, sewaktu Jangkang lahir ke dunia dari rahim mamaknya, dia diberi nama Jangkang oleh bapaknya. Ia adalah nama dari desa kelahiran Jangkang. Sengaja dipilih agar putra bungsunya, satu-satunya di antara empat kakak perempuannya, tak melupakan asal usulnya.
Lalu Jangkang juga pernah bercerita kalau di usia yang kedelapan, dia, Bapak, Mamak, dan dua kakaknya pindah ke Pulau Rupat namanya. Di salah satu desanya, Desa Titi Akar, mereka tinggal bersama beberapa kepala keluarga bersuku Akit atau Akik. Sama saja. Ada pun dua kakak tertuanya, mereka sudah kawin muda dengan pemuda keturunan tionghoa di Desa Jangkang.
Kini Jangkang sudah sampai ceritanya pada Pulau Rupat itu. Salah satu pulau yang menawarkan pemandangan senja memikat dan tepian pantai yang bersih. Orang-orang kota jarang datang ke sana karena memakan waktu yang membuat pegal-pegal. Dan aku setuju untuk itu. Baru saja kami tiba di pelabuhan, tulang punggungku sudah minta dicium oleh kasur. Tapi senyum Jangkang lagi-lagi berhasil mengurai lelahku.
"Sekarang kita naik kapal kecil."
"Masih lama?"
"Tidak."
"Baiklah."
Jangkang meletakkan bantal melengkung pada leherku. Entah dari mana dia mendapatkannya. Tetapi kemudian dia merosotkan tubuhnya hingga bahunya sejajar dengan kepalaku. "Tidurlah sebentar," katanya.
Aku heran, kenapa Bibi tiba-tiba tidak menyukainya? Apa benar karena orang-orang menyebut kami Si Cantik dan Buruk Rupa?
Entah berapa lama perjalanan kapal kecil yang kami tumpangi melaju dan aku hanya terlelap di bahu kekasihku. Dia menepuk-nepuk pelan tanganku dan kemudian memanggil lembut namaku entah berapa kali, yang pasti, ketika aku tersadar dan masih menutup mata, suaranya masih memanggil namaku, "Juwita, bangunlah. Juwita, kita harus naik rakit."
Ah, kekasihku itu.
Senyum Jangkang adalah hal pertama yang aku lihat dengan latar tepian laut dan pohon-pohon kelapa di belakangnya. Dia kembali berkata bahwa kami harus segera menaiki rakit sebelum petang menyudahi tugasnya dan digantikan oleh malam.
Dan lalu, untuk pertama kalinya, aku menaiki rakit. Ini tidak seperti rakit yang ada di dalam bayanganku; yang terbuat dari susunan melebar bambu-bambu. Bagiku, ini seperti perahu dengan atap pada sebagiannya seperti perteduhan. Lelaki di atas, yang kata Jangkang adalah rakit, menyeru agar kami segera naik. Kemudian rakit, aku ikut menamainya begitu, bergerak dengan bantuan mesin motor di bagian belakang.
Tak pernah aku sangka, cakrawala di kampung halaman kekasihku memiliki warna oranye seindah ini. Aku benar-benar kagum. Ternyata, di daerah terluar Provinsi Riau, ada pulau dengan pemandangan secantik ini.
"Kau suka?"
Aku menoleh pada Jangkang. "Hem."
Jangkang lalu tersenyum. "Inilah tempat tinggalku, tempat tinggal orang tuaku. Tempat orang-orang Suku Akit yang semulanya adalah suku pertama di pulau ini."
"Jangkang, bolehkah aku bertanya?"
Jangkang mengangguk. Tak lupa senyumnya yang menawan ikut diperlihatkannya.
"Kenapa namanya Suku Akit?"
"Aku belum cerita, ya?" Jangkang tergelak. Gemericik air yang juga menyiprati kami menambah kesan perjalananku. "Akit, itu diambil dari kata rakit. Ya, dulu suku kami mendiami rakit-rakit dan membangun rumah papan di atasnya. Sebab mencari ikan adalah pekerjaan tetua kami kala itu. Dulu, mana ada mesin motor seperti itu," dagunya menunjukkan pemilik suara paling dominan pada rakit kami, "jadi tidak bisa pulang-pergi dalam satu hari. Dan anak-anak serta istri kepala keluarga akan tinggal di sana bersama-sama."
Aku terdiam entah berapa menit. Menghirup aroma laut dan senja bersamaan sambil menutup mata. Setelah agak puas, barulah aku melayangkan pandang pada kekasihku itu lagi.
"Tapi sepertinya itu asyik juga. Anak-anak dan ibu-bapaknya akan selalu bersama-sama."
"Tenanglah, Juwita. Aku akan terus bersamamu kapan pun itu. Meski Bapak memintaku untuk menetap di sini guna meneruskan tradisi, meski bibimu menolakku untuk menjagamu, dan meski aku harus mengusir para penambang pasir laut itu agar tangkapan ikanku bisa memberi kehidupan yang layak untukmu, aku akan terus bersamamu."
"Dan meski separuh pipiku dirusak air keras oleh bapakku sendiri?"(*)
Ujungbatu, 20 Agustus 2022 (direvisi pada 18 Desember 2022)
Hassanah, seorang perempuan biasa yang punya mimpi-mimpi biasa dan berharap dapat mewujudkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H