"Bolehkah aku memesan sepotong roti bertabur kepingan rindu di sini?" Tiba-tiba ada suara yang memotong kalimatku setelah suara gemerincing terdengar di pintu masuk.
"Duksanana, sepertinya kau harus bekerja." Tuan Angin tersenyum dan menandaskan teh hangatnya.
Aku membalas senyumnya dan menjawab pertanyaan pelanggan yang merupakan seorang lelaki, "Tentu. Bisakah kau menunggu sebentar?"
"Baiklah."
Lelaki berkacamata bulat itu duduk  di meja satu kursi dekat pojok ruangan.
"Hai, Tuan Angin. Lama tidak berjumpa denganmu," sapa lelaki tadi pada Tuan Angin.
"Oh, hai. Kau ... si kacamata dari kota luar, bukan?"
"Ya, kau masih mengingatku?"
"Tentu. Kau orang pertama yang membuatku merasa senang atas pekerjaanku."
"Bukankah itu hal biasa?"
Tuan Angin terkekeh. Semilir sejuk menusuk tulang tiba-tiba memenuhi ruangan ini. Sari-sari pati kesedihan di dalam toples, di atas rak bahan baku roti, secara bersamaan saling berkejaran. Mereka membentuk gumpalan seakan bersatu untuk keluar dari perangkap. Tidak lama kemudian, toples kaca itu pecah berserakan, mengeluarkan isinya yang seketika menyatu dengan semilir sejuk.