"Maaf, apa kau menyukainya?"
Tuan Angin tampak berpikir. Kini, sepasang matanya beralih kepadaku dan menatap tepat di kedua bola mataku.
"Entahlah. Terkadang aku merindukan dirinya di sela-sela aku merindukanmu."
Aku tak berkedip. Ucapannya barusan menambah sengatan listrik yang membangunkan sepasang kupu-kupu dalam perutku. Mereka mulai berterbangan di dalam sana. Dan kami terdiam untuk beberapa saat.
"Hei, mengapa kau mengucapkan kata maaf? Padahal orang-orang di sekitarmu tak pernah mengucapkan itu walau sudah melukai hatimu, bukan?" tanyanya kemudian diakhiri kekehan.
Aku hanya tersenyum getir menanggapi pertanyaannya barusan.
"Kau tak punya teman?" tanya Tuan Angin, lagi.
Seketika aku menunduk. Mataku terasa menghangat, lalu beberapa detik kemudian aku menggeleng pelan.
"Ah, kita senasib." Kudengar Tuan Angin mengembuskan napas panjang. "Maukah kau menjadi temanku? Atau teman hidupku untuk selamanya. Aku bosan dengan kesendirian."
Aku terkesiap akan pertanyaan dari Tuan Angin. Apakah ia benar-benar sadar akan apa yang barusan diucapkannya?
"Aku ... aku ..."