Angin kembali menggerai tubuhnya memenuhi kota setelah satu purnama terlewati. Tak lupa ia juga menyusuri setiap lubang terkecil di sela-sela kota untuk menggiring debu keluar dari persembunyiannya. Orang-orang memilih untuk tetap di rumah saat ia tiba dengan sukarela. Tak ada sambutan hangat, apalagi kecupan mesra sebagai ucapan terima kasih. Aku pikir, ini aneh.
Aku berjalan dengan perlahan, menyusuri anak jalan di antara kerumunan debu yang saling sikut tak ingin menurut pada angin. Beberapa dari mereka juga berusaha menyelinap ke dalam sela-sela lipatan baju berbentuk balon yang membungkusku dengan sempurna.
"Lihatlah, dia perempuan gila yang nekat keluar saat angin datang," ucap salah seorang penghuni rumah yang kulewati. Mereka berdiri di balik dinding bening. Suaranya terdengar menusuk walau hanya dibawa angin.
"Dia hanya perempuan bodoh. Percuma saja kau mengatakannya gila. Dia pasti tidak peduli," balas perempuan di sebelah lelaki barusan.
"Oh, ya? Pantas saja tidak ada yang mau menikah dengannya." Mereka terbahak menertawakan.Â
Tak ingin berlama-lama mendengar kalimat membosankan mereka, aku memutuskan untuk kembali menapaki jalanan yang sudah bersih disapu angin. Toko roti di ujung jalan sana adalah tempatku bekerja. Tidak ada yang istimewa, tetapi aku bersyukur bisa mengais pundi-pundi uang dari tempat itu.
Setibanya di depan toko, aku melihat Tuan Angin tengah membungkus debu ke dalam bola-bola kecil. Ia terlihat gembira sebab senyumnya yang lebar dan terlihat hangat.
"Hai!" sapaku padanya.
"Oh, hai. Kita bertemu lagi." Ia menatapku sekilas lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa debu mencoba berlari dan Tuan Angin memunguti mereka.
"Kau sudah selesai bekerja?" tanyaku.