Mohon tunggu...
hasan.ali.penulis
hasan.ali.penulis Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Buku pertamanya Salahkah Aku Terlahir Introvert? (Guepedia, 2021). Cerpen-cerpennya terbit di Ruang Litera SIP, golagongkreatif.com, serta dicetak secara antologi bersama penulis lain. Cerpennya "Momong Jimbrot" menjadi juara pertama dalam Sayembara Cerpen Pulpen XIX.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mi Ayam Burhan

18 Januari 2025   20:16 Diperbarui: 18 Januari 2025   20:16 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihat Indonesia di wajah lelaki di hadapanku yang bertelanjang dada. Wajah yang menggambarkan kemiskinan, penderitaan, dan kebodohan. Keringatnya mengucur deras. Keringat yang menggambarkan kerja keras tanpa batas dengan hasil yang begitu terbatas. Bahkan, jika ia bekerja 24 jam pun, hingga keringatnya mengucur bagai aliran Sungai Bengawan Solo, itu tetap tidak bisa sebanding dengan penghasilan para wakil rakyat yang duduk nyaman di kursi mereka.

"Langganan di sini?"

"Iya, langganan siang malam, Pak. Eh, maksudnya langganan makan siang di sini. Mi ayamnya enak, murah, bisa ngutang pula."

Memang tak wajar rasanya jika warung mi ayam ini tidak menjadi langganan. letaknya strategis. Persis di depan pabrik kayu lapis tempat si lelaki di hadapanku itu bekerja. Di tepi jalan provinsi dengan hamparan sawah di belakangnya. Dulu, sekitar lima tahun lalu, pabrik kayu lapis itu juga masih berupa hamparan sawah, namun seiring berkembangnya kota, banyak sawah yang beralih fungsi menjadi pemukiman dan pabrik-pabrik. Barangkali lima sampai sepuluh tahun lagi, atau bahkan kurang dari itu, sawah di belakang warung ini juga akan beralih fungsi.

Meski murah, namun aku merasakan ada sesuatu yang ganjil dari warung mi ayam ini. Harga mi ayam di sini hanya empat ribu rupiah. Itu sudah porsi komplit. Potongan ayamnya cukup banyak, ada sawi hijau, sepotong bakso, dan dua ceker ayam. Di meja makan tersedia kecap, saus, dan sambal yang bebas diambil. Termasuk juga air putih yang gratis, bahkan bisa diisi ulang. Jika mau kerupuk, sebungkus kecil cuma lima ratus rupiah.

Dari mana si pemilik warung ini mendapatkan untung? Apalagi jika banyak yang berutang.

"Kamu tahu kenapa dinamakan Mi Ayam Burhan, Pak?" tanya lelaki di hadapanku memecah diam.

"Barangkali anak si pemilik warung namanya Burhan."

"Anaknya cewek, Pak. Namanya Mawar sama Melati. Burhan itu singkatan dari Buruh Harian, Pak. Mi ayam ini jadi langganan buruh harian macam aku ini."

Aku mengangguk saja, menghormati penjelasan dari si buruh pabrik yang tak lama setelah mi ayamnya tandas segera menarik kaki kanannya ke atas meja dan menyalakan rokoknya.

"Eh, password wifinya di sini apa ya?" tanyaku penasaran ketika kulihat ada jaringan wifi di warung ini.

"Mi ayam Burhan. Mi ayamnya huruf kecil semua, Burhannya huruf besar semua."

**

Sebulan setelah kedatanganku ke Mi Ayam Burhan, aku kembali ke warung itu. Seperti biasa, ramai. Hampir semua bangku penuh, apalagi ketika jam makan siang seperti ini. Bahkan ada yang rela makan di pinggir jalan. Berjongkok sambil menyangga semangkuk mi ayam di tangannya dan segelas air putih di sebelahnya. Jika ada truk yang lewat, mereka menutupi mangkuknya dengan telapak tangan, mencegah debu-debu yang beterbangan dibawa truk itu tak ikut masuk ke dalam mangkuk.

Aku memesan semangkuk mi ayam dan segelas es teh. Total pesanan lima ribu rupiah. Mungkin aku tidak akan menemukan mi ayam dengan rasa yang pas di lidah sekaligus mengenyangkan di tempat lain dengan harga yang sama atau lebih murah dibandingkan tempat ini. Jika pun ada, barangkali aku harus mundur hingga belasan tahun ke belakang.

Warung ini sama sekali tidak berubah dibandingkan dengan waktu pertama aku datang, tembok-temboknya masih sama, terbuat dari kayu yang di beberapa titik sudah mulai bolong dan dimakan rayap. Lantainya berupa tanah, belum berplester, apalagi berkeramik. Jika hujan deras, barangkali lantainya akan berubah menjadi kubangan lumpur. Apalagi atap sengnya juga bolong di beberapa titik. Kursi-kursi panjang dan mejanya pun tidak ada yang berubah. Sementara itu, di belakang warung ada kamar mandi dan dua kamar tidur yang hanya ditutup gorden. Barangkali itu merupakan kamar pemilik warung untuk beristirahat. Pun dengan si lelaki yang kutemui pada saat itu, wajahnya tak berubah. Tetap  menggambarkan wajah Indonesia yang penuh dengan kemiskinan, penderitaan, dan kebodohan.

"Ketemu lagi, Pak. Kayaknya bakal jadi langganan di sini nih, haha...."

"Kebetulan pas lewat sini tadi, sekalian mampir makan siang, Pak."

"Yang penting jangan mampir sini kalau malam, Pak, haha...."

"Memangnya buka sampai malam?"

"Nah itu, makanya jangan mampir sini kalau malam, Pak. Soalnya sudah tutup."

**

Aku ingat betul dengan perkataan lelaki itu. Mi Ayam Burhan tak buka di malam hari. Namun, pada suatu malam, ketika hendak pulang dari dinasku di tengah malam, ketika hendak melewati warung itu, ada secercah cahaya dari dalam. Meski pintu warung itu tertutup dari luar, aku dapat mendengar dengan jelas ada suara orang-orang yang sedang bercengkerama di dalamnya. Itu bukan suara satu-dua orang. Ada banyak orang di dalam. Mereka tertawa cekikikan, seolah hidup bebas tanpa terlilit utang.

Semakin dekat, suara itu terdengar semakin jelas. Dan cahaya lampu yang menerobos keluar dari balik celah dinding kayu yang bolong itu tampak semakin terang. Apalagi cahaya di sekitar jalan remang-remang sebab jarak antara satu lampu jalan dengan lampu jalan lainnya cukup jauh.

Meski agak merinding, aku beranikan diri untuk berhenti di depan warung. Kumatikan mesin sepeda motor. Melangkah pelan, lalu kuberanikan diri untuk mengetuk pintu depan warung.

"Passwordnya?" tanya sebuah suara dari balik pintu.

Password apa? Apa mungkin password-nya sama dengan password wifi-nya? "Mi Ayam Burhan."

"Bagaimana penulisannya?"

"Mi ayamnya huruf kecil semua, Burhannya huruf besar semua." (ditulis: mi ayam BURHAN)

"Silakan masuk," ujar suara dari balik pintu yang tak lama kemudian pintu berderit terbuka.

Aku melangkah ragu, dan begitu masuk, pertanyaanku terjawab sudah. Dari mana si pemilik warung ini mendapatkan untung? Jelas bukan dari hasil jualan mi ayamnya, tapi hasil dari bisnis di malam harinya. Laki-laki dan perempuan duduk memenuhi setiap kursi panjang di warung itu. Di atas meja, bukan lagi tersaji mi ayam dengan es teh, melainkan botol-botol minuman yang memabukkan.

"Anda pemilik warung ini, Pak?" tanyaku.

"Benar, mau pesan berapa botol, Pak? Atau mau main sama Mawar? Atau Melati?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

Aku menggeleng. "Bapak belum tahu siapa saya?" Aku tunjukkan sebuah pistol yang masih terselempang di pinggang sebelah kananku. "Mau tempat ini aman atau mau aku hancurkan?"

Seketika bapak si pemilik warung menggigil ketakutan. Tatapan mata para laki-laki dan perempuan di ruangan itu tertuju kepadaku. Tajam, seperti hendak mengoyak tubuhku. "Tolong amankan tempat ini, Pak!" ujar si pemilik warung sambil menyerahkan segepok uang kepadaku.

"Oke, ini uang keamanan bulan ini, jangan sampai telat bayar uang keamanan tiap bulannya atau tempat ini bakal hancur," ucapku mengancam.

"Aku melihat Indonesia di wajahmu Pak, haha...," ujar seorang lelaki dari balik kamar di belakang warung yang mengagetkanku. Si lelaki buruh pabrik kayu lapis.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun