"Mi ayam Burhan. Mi ayamnya huruf kecil semua, Burhannya huruf besar semua."
**
Sebulan setelah kedatanganku ke Mi Ayam Burhan, aku kembali ke warung itu. Seperti biasa, ramai. Hampir semua bangku penuh, apalagi ketika jam makan siang seperti ini. Bahkan ada yang rela makan di pinggir jalan. Berjongkok sambil menyangga semangkuk mi ayam di tangannya dan segelas air putih di sebelahnya. Jika ada truk yang lewat, mereka menutupi mangkuknya dengan telapak tangan, mencegah debu-debu yang beterbangan dibawa truk itu tak ikut masuk ke dalam mangkuk.
Aku memesan semangkuk mi ayam dan segelas es teh. Total pesanan lima ribu rupiah. Mungkin aku tidak akan menemukan mi ayam dengan rasa yang pas di lidah sekaligus mengenyangkan di tempat lain dengan harga yang sama atau lebih murah dibandingkan tempat ini. Jika pun ada, barangkali aku harus mundur hingga belasan tahun ke belakang.
Warung ini sama sekali tidak berubah dibandingkan dengan waktu pertama aku datang, tembok-temboknya masih sama, terbuat dari kayu yang di beberapa titik sudah mulai bolong dan dimakan rayap. Lantainya berupa tanah, belum berplester, apalagi berkeramik. Jika hujan deras, barangkali lantainya akan berubah menjadi kubangan lumpur. Apalagi atap sengnya juga bolong di beberapa titik. Kursi-kursi panjang dan mejanya pun tidak ada yang berubah. Sementara itu, di belakang warung ada kamar mandi dan dua kamar tidur yang hanya ditutup gorden. Barangkali itu merupakan kamar pemilik warung untuk beristirahat. Pun dengan si lelaki yang kutemui pada saat itu, wajahnya tak berubah. Tetap  menggambarkan wajah Indonesia yang penuh dengan kemiskinan, penderitaan, dan kebodohan.
"Ketemu lagi, Pak. Kayaknya bakal jadi langganan di sini nih, haha...."
"Kebetulan pas lewat sini tadi, sekalian mampir makan siang, Pak."
"Yang penting jangan mampir sini kalau malam, Pak, haha...."
"Memangnya buka sampai malam?"
"Nah itu, makanya jangan mampir sini kalau malam, Pak. Soalnya sudah tutup."
**