Aku ingat betul dengan perkataan lelaki itu. Mi Ayam Burhan tak buka di malam hari. Namun, pada suatu malam, ketika hendak pulang dari dinasku di tengah malam, ketika hendak melewati warung itu, ada secercah cahaya dari dalam. Meski pintu warung itu tertutup dari luar, aku dapat mendengar dengan jelas ada suara orang-orang yang sedang bercengkerama di dalamnya. Itu bukan suara satu-dua orang. Ada banyak orang di dalam. Mereka tertawa cekikikan, seolah hidup bebas tanpa terlilit utang.
Semakin dekat, suara itu terdengar semakin jelas. Dan cahaya lampu yang menerobos keluar dari balik celah dinding kayu yang bolong itu tampak semakin terang. Apalagi cahaya di sekitar jalan remang-remang sebab jarak antara satu lampu jalan dengan lampu jalan lainnya cukup jauh.
Meski agak merinding, aku beranikan diri untuk berhenti di depan warung. Kumatikan mesin sepeda motor. Melangkah pelan, lalu kuberanikan diri untuk mengetuk pintu depan warung.
"Passwordnya?" tanya sebuah suara dari balik pintu.
Password apa? Apa mungkin password-nya sama dengan password wifi-nya? "Mi Ayam Burhan."
"Bagaimana penulisannya?"
"Mi ayamnya huruf kecil semua, Burhannya huruf besar semua." (ditulis: mi ayam BURHAN)
"Silakan masuk," ujar suara dari balik pintu yang tak lama kemudian pintu berderit terbuka.
Aku melangkah ragu, dan begitu masuk, pertanyaanku terjawab sudah. Dari mana si pemilik warung ini mendapatkan untung? Jelas bukan dari hasil jualan mi ayamnya, tapi hasil dari bisnis di malam harinya. Laki-laki dan perempuan duduk memenuhi setiap kursi panjang di warung itu. Di atas meja, bukan lagi tersaji mi ayam dengan es teh, melainkan botol-botol minuman yang memabukkan.
"Anda pemilik warung ini, Pak?" tanyaku.
"Benar, mau pesan berapa botol, Pak? Atau mau main sama Mawar? Atau Melati?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.