Alarm itu berdering tepat sembilan puluh menit dari pukul 05.00. Aku terbangun, namun hanya mematikan alarm itu dan tidur kembali. Aku ingat betul sudah memasang fitur "ingatkan saya nanti" dengan interval 6 menit dari alarm pertama.
Kriiing... kriiing... kriiing...
Aku segera bangun dan mematikan alarm itu. Anehnya, waktu pada ponselku menunjukkan pukul 06.39. Selisih tiga menit dari yang seharusnya. Ah, itu mungkin sebab aku mengantuk saat memasang alarm, pikirku saat itu.
Aku segera bersiap untuk mandi, sarapan, lalu berangkat ke sekolah dengan diantar oleh bapak menggunakan sepeda motor. Pada tikungan terakhir sebelum sampai ke sekolah, kami harus menghadapi lampu merah terlama di kotaku. 96 detik. Namun, anehnya, setelah waktu 96 detik itu terlewati, masih ada jeda sekitar 3 detik sebelum berubah menjadi lampu hijau. Beruntungnya, aku belum terlambat sampai ke sekolah.
Hari ini adalah jadwal pelajaran kesukaanku, matematika. Sejak SD hingga SMA kelas 2 saat ini, aku tidak pernah tidak mendapatkan nilai 100 pada setiap ujian atau ulangan matematika. Namun, hari ini, aku hanya mendapatkan nilai 99. Dan ini juga sesuatu yang begitu ganjil, sebab soal matematika ada 25. Setiap soal mendapatkan bobot nilai yang sama, yaitu 4 poin. Maka, ketika aku benar 24 soal, seharusnya aku mendapatkan nilai 96, bukan 99.
"Bahkan siswa paling bodoh di sini pun bisa mengerjakan soal itu. Itu soal paling mudah. Kenapa kamu bisa salah, Med?"
Aku terdiam ketika Pak Badrun, sang guru matematika memarahiku sebab tak bisa menjawab satu soal itu, padahal aku mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Sementara teman-temanku yang bahkan hanya benar satu soal itu saja tidak dimarahi.
"90 + 6 = 99. Anak SD juga bisa mengerjakan soal itu dengan mudah, Pak. Mereka semua yang salah, Pak. Masa 90 + 6 = 99."
"Ha...ha...ha..., Ahmed... Ahmed...," semua teman-temanku menertawakanku.
Aku hanya bisa terdiam dalam kebingungan. Aku segera mengambil kalkulator, lalu melakukan perhitungan 90 + 6 untuk menunjukkan kepada teman-teman, dan terutama kepada Pak Badrun bahwa hasil perhitunganku benar. Namun, aku tak jadi menunjukkan hasilnya kepada mereka, sebab ternyata hasil perhitungan 90 + 6 di kalkulator juga 99, bukan 96.
Aku melewati hari di sekolah dengan tiada semangat untuk belajar. Tidak memperhatikan guru yang sedang menyampaikan materi. Tidak maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal di papan tulis, padahal sebelumnya aku adalah anak paling aktif. Dan sesekali melamun sambil terus memikirkan satu soal yang tidak bisa aku kerjakan itu.
Begitu bel pulang berbunyi, aku segera keluar kelas. Berjalan dari sekolah menuju jalur yang dilalui angkot, sekitar lima menit jalan kaki. Biasanya, setiap lima belas hingga tiga puluh menit, angkot yang kutunggu muncul, namun sudah satu jam berlalu, angkot yang kutunggu tak kunjung muncul. Jika pun ada, itu angkot yang bukan menuju ke arah rumahku.
"Belum pulang juga, Dek?" tanya seorang tukang parkir yang barangkali heran denganku sebab tak kunjung pulang, dan tetap duduk di emper toko.
"Lagi nunggu angkot, Pak."
"Lah, dari tadi angkot sudah banyak yang lewat. Kok belum naik juga?"
"Angkot nomor 96 belum datang, Pak."
"Oalah, kamu anak baru ya? Sekarang sudah tidak ada lagi angkot nomor 96. Sudah digantikan dengan angkot nomor 99."
"Hah?"
Aku terdiam. Bagaimana mungkin angkot nomor 96 tiba-tiba diganti menjadi angkot nomor 99? Lagi pula tidak ada pemberitaan sama sekali. Atau mungkin aku yang tidak tahu dengan berita terbaru?
Dan ketika ada angkot nomor 99 yang lewat, aku segera menyetop angkot itu dan segera naik. Dalam hati, aku merasa was-was, takut salah tujuan. Namun, apa yang diucapkan tukang parkir itu ternyata benar. Aku sampai ke rumah dengan selamat.
Setelah makan, salat, dan tidur siang, sore harinya, aku bermain futsal dengan teman-temanku. Semua berjalan normal hingga pada menit terakhir pertandingan. Ketika timku sudah unggul 9-5, tim lawan bisa mencetak gol, dan skor menjadi 9 - 9.
"Heh, 9 -- 6!" ujarku.
"Apa kamu lupa, heh? Tidak ada skor 9 -- 6. Setelah 9 -- 5, maka 9 -- 9. Makanya, harusnya tim kamu mencetak gol dulu 10 -- 5. Baru kalau tim kami mencetak gol jadi 10 -- 6."
Aku kembali terdiam. Aku pulang dengan membawa kebingungan di kepala. Di perjalanan pulang, aku menemukan sebuah baliho dengan konten yang aneh. Itu bukan baliho calon legislatif atau eksekutif. Bukan pula baliho iklan. Baliho itu bertuliskan "Kembalikan angka 96. Angka 96 diubah menjadi angka 99 adalah sebuah konspirasi global."
Aku berdiri sejenak menatap tulisan itu. Apa maksudnya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Tak lama kemudian, sebuah mobil polisi bergerak cepat ke arahku. Mobil itu berhenti persis di sebelahku. Lalu, dari dalam mobil itu, turun dua orang berseragam polisi dan bersenjata lengkap.
"Angkat tanganmu!" bentak kedua polisi itu sembari mengacungkan senjatanya ke arahku. Sontak, aku pun mengangkat tangan meski tak tahu apa salahku.
Dua polisi itu bergerak mendekatiku dan memborgolku. Aku meronta-ronta dan meminta tolong. Namun, apa daya. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
"Apa salahku? Aku hanya membawa sepeda, bukan sepeda motor. Aku tak melanggar lalu lintas. Dan mengapa aku ditangkap seperti seorang teroris?"
"Dasar bocah tak tahu diri. Kamu tahu, heh? Memasang baliho dengan tulisan semacam itu adalah pelanggaran berat. Kamu bisa dijatuhi hukuman seumur hidup, bahkan bisa jadi hukuman mati."
Aku terdiam dengan tubuh menggeligis setelah mendengar kata-kata itu. Meski aku tak bersalah sebab bukan aku yang memasang baliho itu, namun aku tetap terkaget sebab hukuman yang didapat akibat memasang baliho dengan tulisan semacam itu lebih berat dibandingkan dengan hukuman seorang koruptor.
"Bukan aku yang memasang, Pak."
"Diam kamu!" ujar salah seroang polisi sambil mementung kepalaku dengan senjata yang ia pegang. Dan pentungan itu sudah cukup untuk membuatku pingsan seketika.
**
"Heh, bangun, Med!"
Aku bangun dan baru tersadar jika aku hanya bermimpi. Sedari tadi rupanya aku tertidur di depan teve. Dan aku sungguh menyesal sebab pertandingan sepak bola yang kutunggu-tunggu sudah masuk di babak tambahan waktu babak kedua.
"Kenapa Papa nggak bangunin aku?"
"Ealah, kamu sudah dibangunin dari tadi tapi nggak bangun. Sudah tak apa, yang penting Indonesia menang."
Sedih, kecewa, namun aku merasakan kegembiraan sebab Indonesia unggul 2 -- 1 dari Bahrain. Jantungku berdegap begitu cepat sebab tambahan waktu yang seharusnya 6 menit tetapi terus berlanjut. Wasit belum juga meniup peluitnya.
"Heh, tiup peluitnya, Sit! Sudah lebih dari 6 menit."
Wasit tak mendengar ocehan bapakku, dan tidak mungkin juga mendengarnya.
Pada menit 98 mendekati 99, Bahrain mendapatkan sepak pojok setelah salah satu defender Indonesia menghalau bola melewati garis gawang Indonesia. Bola ditendang oleh pemain Bahrain, disundul oleh rekannya dan mengarah menuju satu pemain Bahrain lainnya di depan gawang Indonesia. Tanpa pengawalan, pemain itu berhasil mencocor bola ke gawang Indonesia.
Priit... priit... priit....
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H