Mohon tunggu...
hasan.ali.penulis
hasan.ali.penulis Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Penulis yang masih terus belajar agar menghasilkan tulisan yang baik dan menarik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Konspirasi Angka 99

2 Desember 2024   19:32 Diperbarui: 2 Desember 2024   22:41 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alarm itu berdering tepat sembilan puluh menit dari pukul 05.00. Aku terbangun, namun hanya mematikan alarm itu dan tidur kembali. Aku ingat betul sudah memasang fitur "ingatkan saya nanti" dengan interval 6 menit dari alarm pertama.

Kriiing... kriiing... kriiing...

Aku segera bangun dan mematikan alarm itu. Anehnya, waktu pada ponselku menunjukkan pukul 06.39. Selisih tiga menit dari yang seharusnya. Ah, itu mungkin sebab aku mengantuk saat memasang alarm, pikirku saat itu.

Aku segera bersiap untuk mandi, sarapan, lalu berangkat ke sekolah dengan diantar oleh bapak menggunakan sepeda motor. Pada tikungan terakhir sebelum sampai ke sekolah, kami harus menghadapi lampu merah terlama di kotaku. 96 detik. Namun, anehnya, setelah waktu 96 detik itu terlewati, masih ada jeda sekitar 3 detik sebelum berubah menjadi lampu hijau. Beruntungnya, aku belum terlambat sampai ke sekolah.

Hari ini adalah jadwal pelajaran kesukaanku, matematika. Sejak SD hingga SMA kelas 2 saat ini, aku tidak pernah tidak mendapatkan nilai 100 pada setiap ujian atau ulangan matematika. Namun, hari ini, aku hanya mendapatkan nilai 99. Dan ini juga sesuatu yang begitu ganjil, sebab soal matematika ada 25. Setiap soal mendapatkan bobot nilai yang sama, yaitu 4 poin. Maka, ketika aku benar 24 soal, seharusnya aku mendapatkan nilai 96, bukan 99.

"Bahkan siswa paling bodoh di sini pun bisa mengerjakan soal itu. Itu soal paling mudah. Kenapa kamu bisa salah, Med?"

Aku terdiam ketika Pak Badrun, sang guru matematika memarahiku sebab tak bisa menjawab satu soal itu, padahal aku mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Sementara teman-temanku yang bahkan hanya benar satu soal itu saja tidak dimarahi.

"90 + 6 = 99. Anak SD juga bisa mengerjakan soal itu dengan mudah, Pak. Mereka semua yang salah, Pak. Masa 90 + 6 = 99."

"Ha...ha...ha..., Ahmed... Ahmed...," semua teman-temanku menertawakanku.

Aku hanya bisa terdiam dalam kebingungan. Aku segera mengambil kalkulator, lalu melakukan perhitungan 90 + 6 untuk menunjukkan kepada teman-teman, dan terutama kepada Pak Badrun bahwa hasil perhitunganku benar. Namun, aku tak jadi menunjukkan hasilnya kepada mereka, sebab ternyata hasil perhitungan 90 + 6 di kalkulator juga 99, bukan 96.

Aku melewati hari di sekolah dengan tiada semangat untuk belajar. Tidak memperhatikan guru yang sedang menyampaikan materi. Tidak maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal di papan tulis, padahal sebelumnya aku adalah anak paling aktif. Dan sesekali melamun sambil terus memikirkan satu soal yang tidak bisa aku kerjakan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun