"Apa kamu lupa, heh? Tidak ada skor 9 -- 6. Setelah 9 -- 5, maka 9 -- 9. Makanya, harusnya tim kamu mencetak gol dulu 10 -- 5. Baru kalau tim kami mencetak gol jadi 10 -- 6."
Aku kembali terdiam. Aku pulang dengan membawa kebingungan di kepala. Di perjalanan pulang, aku menemukan sebuah baliho dengan konten yang aneh. Itu bukan baliho calon legislatif atau eksekutif. Bukan pula baliho iklan. Baliho itu bertuliskan "Kembalikan angka 96. Angka 96 diubah menjadi angka 99 adalah sebuah konspirasi global."
Aku berdiri sejenak menatap tulisan itu. Apa maksudnya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Tak lama kemudian, sebuah mobil polisi bergerak cepat ke arahku. Mobil itu berhenti persis di sebelahku. Lalu, dari dalam mobil itu, turun dua orang berseragam polisi dan bersenjata lengkap.
"Angkat tanganmu!" bentak kedua polisi itu sembari mengacungkan senjatanya ke arahku. Sontak, aku pun mengangkat tangan meski tak tahu apa salahku.
Dua polisi itu bergerak mendekatiku dan memborgolku. Aku meronta-ronta dan meminta tolong. Namun, apa daya. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
"Apa salahku? Aku hanya membawa sepeda, bukan sepeda motor. Aku tak melanggar lalu lintas. Dan mengapa aku ditangkap seperti seorang teroris?"
"Dasar bocah tak tahu diri. Kamu tahu, heh? Memasang baliho dengan tulisan semacam itu adalah pelanggaran berat. Kamu bisa dijatuhi hukuman seumur hidup, bahkan bisa jadi hukuman mati."
Aku terdiam dengan tubuh menggeligis setelah mendengar kata-kata itu. Meski aku tak bersalah sebab bukan aku yang memasang baliho itu, namun aku tetap terkaget sebab hukuman yang didapat akibat memasang baliho dengan tulisan semacam itu lebih berat dibandingkan dengan hukuman seorang koruptor.
"Bukan aku yang memasang, Pak."
"Diam kamu!" ujar salah seroang polisi sambil mementung kepalaku dengan senjata yang ia pegang. Dan pentungan itu sudah cukup untuk membuatku pingsan seketika.