Mohon tunggu...
Rena Siva
Rena Siva Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

https://www.wattpad.com/user/Rena_Siva Instagram : rena_siva08 Salam kenal. Terima kasih sudah mampir ke blog saya. Hanya satu pesan jangan menyalin karya saya tanpa izin ya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Ingin Kau Kembali

19 Januari 2018   18:55 Diperbarui: 19 Januari 2018   18:55 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
IlustrasI: perioksida.files.wordpress.com

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Puisi Eyang Sapardi satu ini membuatku candu untuk terus membaca dan memaknainya. Sebuah untaian kata sederhana, tapi tersirat banyak makna. Sebuah ungkapan kasih yang tak sampai, mungkin sejauh ini baru itu yang bisa aku tangkap. Sudah cukup lama aku melamun untuk menemukan jawaban lebih dalam tentang makna puisi ini, tapi tak kunjung aku temukan. Tulisan ini tak sengaja aku baca dari sebuah novel berjudul Ibuk karya Iwan Setyawan.

Ku usap lembut setiap cetakan tulisannya ini. Tak ada halaman yang terlihat. Mungkin, puisi ini sengaja dilampirkan sebagai selingan syahdu untuk para penikmat karya sastra. Tak sabar untukku membuka setiap lembar kertas di buku ini, agar aku tahu makna apa yang tersirat dalam buku ini.

"KEN!"

"KEN!"

"KEN!"

"Lo dimana?"

Haisttt... Teriakan menyebalkan itu, selalu saja merusak imajinasiku. Kesal rasanya saat aku ingin menikmati novel selalu saja dia datang mengangguku. Dengan terpaksa kututup novel yang baru beberapa lembar kubuka itu. Menghampirinya, sebelum dia semakin gila berteriak, dan menganggu murid-murid yang lain.

"Woii... Gue panggil malah diem aja. Respon dong!" Protesnya sewot di ujung pintu kelas.

 "Maaf, aku juga baru mau menghampirimu," balasku malas.

"Hobi lo tu harus dirubah, jangan mengurung diri di kelas meluluk. Udah satu bulan jadi murid baru, cuma gue yang mau jadi sohib lo. Berbaur kek!" Ejeknya.

Aku memalingkan muka malas meladeninya. Memang yang dikatakannya benar. Hobiku adalah mengurung diri dalam sepi, karena hal ini sangat menyenangkan, bisa membuatku berimajinasi dengan luas. Hingga aku bisa menulis cerita yang menarik untuk di-posting di blog pribadiku.

Aku baru saja pindah sekolah, tepatnya sudah sebulan aku tinggal di kota Betawi ini. Semua karena ayahku pindah dinas dengan membawa serta aku, ibuku dan adikku untuk hidup di kota ini. Sebenarnya tak ada yang istimewa saat aku pindah SMA di sini. Tapi, entah untuk tujuan apa? Tuhan mempertemukanku dengan sosok Adam. Teman sebangkuku yang suka ngomel dan super berisik ini.

Sekilas, tak ada yang aneh dengannya. Dia anak yang cukup populardan gampang bergaul dengan siapa saja, tapi entah mengapa? Dia tak mau jauh-jauh denganku. Dari awal aku masuk sekolah ini, dia sudah seperti reporter berita, bertanya ini itu padaku hingga aku enggan menjawabnya. Bahkan, dengan percaya diri dia berkata, 'mulai hari ini karena kita sudah sebangku. Lo udah resmi jadi sohib gue."

Sohib?Dalam hati aku tertawa terpingkal-pingkal. Adam! Adam! Ada-ada saja, baru bertemu pertama bertatap muka langsung saja mengkliam diriku sebagai sahabatnya. Rasanya lucu saja waktu itu. Dan anehnya, sampai sekarang dia yang selalu menghampiriku saat aku masih di dalam kelas dan mengajakku berbaur dengan teman-temannya dengan alasan agar aku mudah dikenal orang banyak. Perlahan aku mengikuti apa keinginannya hingga aku mulai memiliki teman diluar teman sekelasku sendiri.

"Ke base camp OSIS yuk. Kak Riana nyari lo tadi," ajaknya.

Dia merangkul bahuku dan menarik tubuhku untuk mengikuti langkah kakinya.

"Ken, mending lo gabung jadi pengurus OSIS? Mbak Riana dan yang lain butuh bantuan ngelola mading sekolah," ucapnya, saat kami berjalan di koridor sekolah.

Aku mengendikan bahu tak acuh, "maaf, aku gak berminta. Aku ingin fokus sekolah saja."

"Tapi, zaman sekarang memperluas jaringan dan mengembangkan bakat itu penting. Itu salah satu pesan Papaku," ucapnya ngotot.

Selalu saja berusaha membujukku untuk banyak bergaul dan ikut organisasi. Padahal kedua hal itu sama sekali tak mengundang minatku. Yaa, walaupun aku tahu niat Adam baik agar karya tulisanku banyak dikenal orang. Toh, buatku menulis hanya sekedar hobi selingan bukan untuk hal-hal lain.

"Sayang banget, murid berbakat kayak lo cuma jadi orang yang tahunya sekolah dan rumah. Udah gak zaman jadi laki-laki pingitan," lanjutnya membuatku jengah.

Aku heran dengan anak satu ini, baru SMA saja pikirannya sudah seperti orang dewasa. Ngeledek aku laki-laki pingitan lagi. Entah apa yang terjadi padanya? Mungkin karena ayah dan ibunya orang yang berpendidikan. Sehingga dia memiliki pemikiran yang berbeda dengan anak SMA pada umumnya.

Yang aku tahu, dia berasal dari keluarga berada bahkan saat berangkat dan pulang sekolah selalu saja dijemput dengan mobil mewah. Setiap hari dia jajan di kantin. Aku sering diajak olehnya, dan sering aku tolak karena aku rajin bawa bekal dari rumah.

Menang ada banyak perbedaan diantara kami. Aku selalu diantar ayah dengan sepeda motor saat berangkat sekolah kemudian pulang naik angkot. Ibuku juga hanya lulusan SMA, yang taunya mengurus keperluan rumah tangga beda dengan Ibunya yang wanita karir. Tapi anehnya dia selalu bilang, 'lo beruntung ya, gue jadi iri'. Entah apa maksudnya aku tak paham. Bukannya dia memiliki keluarga yang lengkap sepertiku.

"Ken, nanti malam lo nginep di rumah gue?" mintanya sedikit memaksa sebelum kami masuk ke base camp OSIS untuk bertemu dengan Mbak Riana membahas tulisan yang akan dipajang di mading bulan ini.

###

Kukeliling rumah Adam dari ruang tamu hingga perpustakan pribadi milik ayahnya. Kedua bola mataku menatap takjub dengan desain rumah ini, sangat mewah dan rapi. Beda dengan rumahku yang sempit dan berantakan. Semua karena ada Risa, adikku yang masih kecil. Dia suka mengacak-acak rumahku. Mungkin karena Adam anak tunggal hingga tak ada adik yang akan rusuh di rumahnya.

"Ken, ini minum lo," Adam melembar botol kaleng soda ke arahku, dengan gesit tanganku langsung menangkapnya.

Kali ini bukan Adam yang banyak bicara tapi diriku yang mendominasi percakapan. Setelah kami ngobrol cukup lama ternyata ayahnya memang suka membaca begitu juga dengannya. Pantas saja bukunya sangat banyak dan tak banyak aku temu di perpustakaan sekolah.

"Buku-buku milik ayahmu bagus-bagus. Aku boleh pinjam salah satu?" ucapku melirik buku-buku yang berjajar rapi di rak.

"Lo ambil aja, lagipula Papa gak bakalan protes," ucapnya enteng. "Lo bawa masakan ibumu, kan? Yang gue minta kemaren. Sayur lodeh."

Aku hampir lupa memberikan sayur itu padanya, karena terlalu terpesona dengan rumah Adam yang sangat luas dan mewah ini.

"Dam, mana ayah dan ibumu?" tanyaku penasaran karena dari tadi sore hingga malam ini tak terlihat sosok kedua orang tuanya. Hanya Bibi Yem, pembantunya saja yang dari tadi terlihat sibuk membereskan rumah.

Adam berhenti melahap makanannya. Terdiam. Ada sorot mata sendu yang kutangkap darinya. Apa aku salah menanyakan hal ini? Tak biasanya dia sedih seperti ini. Di sekolah, dia selalu ceria seolah tak pernah memiliki masalah, nafsu makannya juga bagus, soal nilai di kelas bahkan melebihiku.

"Seminggu yang lalu Papa dan Mama resmi bercerai. Mereka meminta gue milih, tinggal dengan salah satu diantara mereka? Mama kerja di Surabaya sedangkan Papa menetap di Jakarta. Gue sudah nyaman tinggal di kota ini, tapi rindu Mama. Menurut lo, lebih baik gue pilih tinggal dengan siapa ya?"

Adam menatapku menunggu pendapatku. Sementara, diriku yang ditatapnya malah bingung mau berkata apa?

"Aaah! Gue tahu. Lebih baik tinggal di rumah lo yang ramai itu. Gimana? setuju enggak!"

"Hah? Gak salah!"

"Gak lah! Lebih baik punya keluarga untuh daripada kesepian kayak gini."

"Aku enggak mau! Ada kamu makin sempit nanti rumahku," protesku.

Dia tertawa terbahak-bahak kemudian melahap lagi sayur lodeh buatan ibuku dengan rakus.

"Ken, besok kita cari kue bareng buat hadiah ulang tahun Mama. Dia akan datang ke Jakarta besok. Sekalian juga gue belikan kue untuk Ibu dan Adikmu," ajaknya.

"Gak usah repot-repot, buat apa? Lagian aku tidak pernah membelikan hadiah untuk keluargaku sendiri."

"Eiiittt, dasar pelit. Kadang mereka seneng dikasih hadiah oleh kita sebagai keluarganya. Ya... Walaupun, cuma hal-hal kecil."

Aku tersentuh dengan kata-katanya. Jadi, seperti ini kehidupan Adam yang sebenarnya. Menutupi segala masalahnya, berusaha ceria seolah tak terjadi apa-apa. Ternyata, di rumahnya yang mewah ini. Aku semakin tak merasakan tanda-tanda kehidupan. Terlalu sepi dan sunyi.

Ibu, Ayah, Risa. Aku rindu. Batinku menatap Adam yang sibuk dengan sayur lodeh buatan ibuku dalam diam.

###

 "Gimana? Udah ada yang sregbelum, kuenya," lirik Adam ikut menundukkan kepala menatap kue-kue yang berjajar rapi di balik etalase.

Aku tersipu malu, mengaruk-ngaruk kepalaku yang tidak gantal. Ku dekatkan bibirku ke telinganya, berbisik pelan, "belum! Uangku gak cukup buat beli ini."

Dia tertawa, orang-orang melihat ke arah kami berdua. Aku melengos. 

Sialan nih bocah, ngajak beli kue di toko super mahal seperti ini. Mana aku sanggup.

"Udah samakan saja, seperti punya gue, rasa coklat. Pasti keluarga lo suka. Mbak, bungkus dua lagi."

Lagi-lagi semua yang aku dapatkan gratis. Tidur gratis, makan gratis, transport gratis hingga kue ini. Hanya bermodalkan sayur loder buatan ibuku, dia sudah seroyal ini. Aku kok malah merinding sendiri. Si Adam benar-benar anak laki-laki atau bukan ya? Gara-gara kesepian dia selalu minta aku menemaninya. Dia gak kepincut ke aku kan? Aku langsung mengelengkan kepala.

Gara-gara perlakuannya yang perhatian ini, aku lupa. Kalo Adam itu naksir diam-diam Kak Riana. Itulah mengapa aku diminta membantu menulis dan mendesain mading sekolah agar dia mudah mendekatinya. Ah sudahlah! Aku tak perlu rumit dalam memikirkan perlakuannya ini. Yang terpenting persahabatanku dengan Adam semakin erat. Perlahan aku mulai menyukainya walaupun dia menyebalkan. Seperti ini kan rasanya memiliki sahabat seperti Adam.

###

Aku dan Adam berjalan keluar toko kue,menunggu angkot. Adam yang memutuskan untuk menggunakan kendaraan umum ini. Katanya, dia ingin merasakan suasana yang berbeda. Begitulah sosok Adam yang membuatku semakin kagum, kaya tapi tak sombong.  

Dipinggir jalan, ada toko buku yang menarik perhatianku. Tanpa pamit ke Adam, aku melangkah pelan menuju toko itu. Kulihat jalan sepi. Tak apalah jika aku mampir.

"KEN!"

"KEN!"

"KEN, MINGGIR!"

Adam terus saja memanggilku. Ahhh... Berisik sekali sesuaranya itu. Kuabaikan penggilannya. Terus berjalan ke arah toko buku itu. Tiba-tiba Adam menarik jaketku dan mendorong tubuhku, hingga aku tersungkur ke pinggir trotoar jalan. Bergegas aku bangkit dan tak sengaja kedua bola mataku menangkap kejadian naas itu.

Tubuh Adam tertabrak mobil yang lewat dan terpental di tengah jalan. Darah segar keluar dari kepalanya. Dengan lemas, dia berusaha mengangkat tubuhnya tapi tak mampu dilakukannya. Dia menatap lurus kearahku, seperti ingin mengungkapkan sesuatu. Dengan cepat aku berlari menghampirinya dan memeluk tubuhnya. Hatiku hancur melihat keadaannya. Air mataku terus saja mengalir. Menyesali sikapku yang tadi mengabaikannya.

Dia menatapku sambil tersenyum, dengan terbatuk. Dia terus saja bicara. Tapi, aku tak bisa mengangkap apa yang dia katakan. Hingga sebuah kalimat terakhirnya itu muncul darinya.

"Ken... Tol--ng lo baa---wakan kue d--an su---rat ini uuut---k Maa-ma. Ma---af, gue gak b---isa mee---nemu--nyaa."

###

Di samping tanah basah yang baru saja digali, aku menatap kayu nisan bertuliskan, Adam Suherman. Sosok sahabat yang tak ada di dunia ini lagi. Kejadian terakhir bersamanya berputar di otakku. Rasa bersalah terus saja menghantuiku. Mungkin aku hanyalah sosok sahabat yang cengeng mengharapkan dia hadir di hidupku saat ini, padahal aku dulu selalu mengabaikannya.

Tak ada lagi teriakan nyaring memanggil namaku.

Tak ada lagi sahabat yang akan merebut bekalku.

Tak ada lagi ejekan dan rangkulan hangat yang aku dapatkan darinya.

Semua tinggal kenangan.

Aku berjalan menghampiri ibunya yang masih terisak, belum bisa mengikhlaskan putra tunggalnya pergi kepangkuan Tuhan. Dengan lemah kuserahkan kue tak berbentuk dan surat kusut itu kepadanya. Menyerahkan amanah terakhir Adam untuk Ibunya. Aku sempat membuka surat itu. Tak perlu lama untukku menghafalnya dan memaknainya isinya. Makna surat itu tak sesulit puisi Eyang Sapadri tapi menyirat pesan berharga untukku.

Untuk Mama,

Ma, aku bahagia tinggal dengan Papa, tapi aku tak ingin jauh dari Mama

Tak bisakah kita tinggal bersama seperti dulu?

Aku kesepian, Ma.

###

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun