Mohon tunggu...
Hartono
Hartono Mohon Tunggu... Penulis - Seorang yang suka sekali menulis

"Kurang Cerdas Dapat Diperbaiki Dengan Belajar. Kurang Cakap Dapat Dihilangkan Dengan Pengalaman. Namun Tidak Jujur Itu Sulit Diperbaiki." (Moh. Hatta)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pernikahan Anak Perlukah Dilakukan

30 Mei 2019   15:33 Diperbarui: 30 Mei 2019   15:42 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Antara foto/aditya pradana putra

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 merupakan salah satu jawaban dari fenomena perkawinan usia anak yang sebelumnya masih menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat karena adanya sudut pandang yang berbeda. 

Di mana hukum legal secara undang-undang menyatakan sah untuk perempuan yang menikah di usia 16 tahun asalkan mendapatkan izin dari orang tuanya, dan hak anak yang menyatakan seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah statusnya adalah anak yang seharusnya masih memerlukan bimbingan, pendidikan dan pengawasan dari orang tua.

Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun."

Sementara itu di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak menjelaskan definisi "anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan." 

Sehingga jika kita melihat dari kedua undang-undang ini bahwa perkawinan yang dilakukan di bawah batas usia yang ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah merupakan perkawinan anak.

Undang-Undang Perkawinan itu sendiri mengandung prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. 

Menggarisbawahi kalimat "masak jiwa raganya" dan "untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat" maka jelas disini bahwa harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih di bawah umur. Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 26 ayat (1) huruf (c) yang menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.

Hak anak untuk bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, dan ketidakadilan seharusnya ditegakkan dengan juga memberikan kepastian hukum bagi tidak adanya perkawinan pada usia anak. 

Dalam hal ini Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah membuka celah untuk dilakukannya perkawinan anak, selain itu norma tersebut juga memberikan kesempatan untuk terjadinya eksploitasi anak baik secara ekonomi maupun seksual.

Permasalahan Yang Menjadi Alasan Melangsungkan Pernikahan Usia Anak

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (susenas) 2013 dan 2015 pada buku yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2017 menunjukkan kecenderungan anak yang kawin sebelum usia 18 Tahun tidak menamatkan pendidikannya hingga SMA, pada tahun 2015 hanya terdapat 8,88 persen anak perempuan Indonesia yang dapat menyelesaikan pendidikan hingga SMA, 

sedangkan sebanyak 91,12 persen anak perempuan yang menikah sebelum 18 tahun tidak dapat menyelesaikan pendidikan hingga SMA. Dimana perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun cenderung memiliki pendidikan-pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang menikah setelah usia 18 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Wanita Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menunjukkan bahwa faktor utama penyebab pernikahan anak adalah karena faktor kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, tradisi setempat, perubahan tata nilai dalam masyarakat, dan kurangnya kesadaran dan pemahaman akan anak perempuan. 

Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah karena ia memiliki tanggung jawab baru baik sebagai istri atau calon ibu, atau orangtua yang akan diharapkan berperan lebih besar mengurus rumah tangga atau menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah.

Tidak dapat dipungkiri alasan faktor ekonomi atau kemiskinan sering menjadi alasan utama dalam melakukan pernikahan anak. Orang tua secara tidak langsung telah memindahkan tanggung jawab mereka atas masa depan anak mereka kepada orang lain yang sebenarnya belum mampu mereka terima. Anak perempuan yang tidak memiliki hak atas tubuhnya, karena anak-anak harus patuh pada orang tua atau keluarganya untuk dinikahi hal tersebut sudah mengarah pada eksploitasi seksual anak.

Belum lagi dengan maraknya pergaulan bebas di kalangan anak sekolah yang menyebabkan hamil diluar nikah, mengharuskan anak menikah dalam usia yang relatif muda menjadi faktor permasalahan yang masih belum terselesaikan hingga saat ini. 

Pernikahan anak akhirnya menjadi solusi terakhir bagi orang tua atau keluarga dengan alasan agar terhindar dari perbuatan zinah atau untuk menutupi aib yang dapat mempermalukan orang tua atau keluarga.

Dampak Pernikahan Anak

Dengan adanya perbedaan batas usia yang ditentukan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang mencantumkan usia pria 19 tahun dan perempuan 16 tahun telah melanggar pemenuhan atas pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi anak khususnya bagi anak perempuan. 

Yang dimana secara konstitusional telah menyatakan negara menjamin warga negaranya bersamaan kedudukannya baik dalam hukum maupun di dalam pemerintahan.

Perbedaan ketentuan usia antara pria dan perempuan di dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut merupakan wujud nyata dan konkrit tidak tercapainya persamaan kedudukan di dalam hukum antara pria dan perempuan yang tidak didasari oleh argumentasi alasan ilmiah yang jelas, hanya berdasarkan alasan jenis kelamin semata.

Pembedaan kedudukan hukum antara pria dan perempuan ini mengakibatkan seorang anak perempuan kawin pada usia di bawah 18 tahun, secara otomatis dia tidak lagi dianggap sebagai seorang anak, sehingga hak-hak anak yang seharusnya melekat pada dirinya seketika lenyap. 

Sedangkan pengistimewaan diberikan kepada anak pria yang hak-hak anaknya masih terjamin karena Undang-Undang Perkawinan menentukan usia 19 tahun. Dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan telah memberikan diskriminasi kepada anak perempuan.

Selain itu juga dalam perkembangan dunia medis, perempuan yang masih berusia 16 tahun sangat rentan terhadap risiko gangguan kesehatan ketika menjalani perkawinan. 

Baik dalam konteks hubungan seksual suami istri atau pada saat proses kehamilan dan melahirkan. Risiko kesehatan khususnya kesehatan reproduksi merupakan pertimbangan yang paling menonjol dalam praktik perkawinan usia anak.

Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia menerapkan wajib belajar 12 tahun, sehingga apabila perkawinan anak perempuan dilakukan pada usia 16 tahun maka anak perempuan tidak dapat menikmati hak-haknya untuk mendapatkan hak atas pendidikan. 

Kondisi ini berbeda dengan pria yang berusia 19 tahun dapat menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Sehingga pria dalam hal ini mendapatkan kesempatan dan hak yang lebih besar daripada perempuan.

Dengan perkembangan jaman pada saat ini, kita dapat melihat betapa peran perempuan dalam pembangunan ekonomi sangat besar. Salah satunya dalam membantu suami memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing. 

Perempuan pada saat ini tidak hanya diharapkan sebagai seorang ibu yang mengurusi rumah tangga saja tetapi peranan perempuan dalam membantu pria sangat dirasakan penting pada saat ini.

Sehingga sudah selayaknya perempuan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan setara dengan pria sehingga suami istri bisa saling membantu dan melengkapi sebagaimana tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dapat tercapai. 

Permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seringkali diakibatkan dari faktor kesejahteraan ekonomi yang tidak terpenuhi dalam berumah tangga, suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sering berprilaku arogan terhadap istri yang dianggap hanya sebagai pengurus rumah tangga.

Batas Usia Pernikahan Yang Ideal

Sebagian besar negara di dunia memiliki undang-undang menetapkan usia minimum untuk menikah pada usia 18 tahun. Namun, banyak negara termasuk Indonesia memberikan pengecualian untuk usia minimum pernikahan, atas persetujuan orang tua atau otorisasi pengadilan. 

Pengecualian tersebut memungkinkan hukum adat atau hukum agama yang menetapkan usia minimum pernikahan yang lebih rendah untuk diutamakan daripada hukum nasional.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan uji materi Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang batas usia perkawinan anak. 

Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Repbulik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Perlindungan Anak, yang mana didalam perlindungan anak menyebutkan anak-anak adalah mereka yang berusia di bawha 18 tahun. sehingga batas usia yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan masih berkategori sebagai anak.

Sehingga dalam hal ini Mahkamah Konstitusi meminta pembuat Undang-Undang paling lama tiga tahun sejak putusan ini ditetapkan untuk melakukan perubahan tentang perkawinan, khususnya berkenaan dengan batas usia minimal perempuan dalam perkawinan. 

Dengan pertimbangan bahwa perkawinan anak dapat mengancam dan berdampak negatif bagi anak, baik dari aspek kesehatan, pemenuhan hak anak khususnya perempuan, hingga peluang terjadinya eksploitasi dan ancaman kekerasan terhadap anak yang dikhawatirkan akan meningkat.

Seperti yang diberitakan pada situs Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada tanggal 24 Mei 2019, bahwa pihak Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam rapatnya menegaskan dan mendorong agar revisi Undang-Undang Perkawinan segera dilakukan. 

Dalam rapat koordinasi, usulan seputar batas usia minimal perkawinan yakni minimal 21 tahun bagi perempuan dan pria. Beberapa diantaranya seperti Kementerian Agama, KPAI, Koalisi Perempuan Indonesia mengusulkan usia minimal perkawinan yakni 19 tahun bagi perempuan.

terlepas usia pernikahan yang ideal baik 19 tahun ataupun 21 tahun perlu diperhatikan kesejahteraan ekonomi dalam sebuah pernikahan merupakan faktor utama bagi pasangan suami istri dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal sehingga diharapkan pria maupun perempuan dapat diberikan kesempatan yang sama tanpa adanya diskriminasi saling membantu dan melengkapi. 

Apalagi dalam dunia kerja saat ini lebih membutuhkan mereka dengan pendidikan minimal strata satu (S1). Perempuan bukan saja memiliki hak yang sama dengan pria tetapi juga memiliki peran penting dalam sebuah rumah tangga bukan sekedar "pengurus rumah tangga"

Ada adagium yang mengatakan bahwa "Dibalik kesuksesan seorang suami ada seorang istri yang hebat mendampinginya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun