Mohon tunggu...
Har Sono
Har Sono Mohon Tunggu... -

hitam. dark. suka melamun.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sunset With Sunrise (Album Kedua, sebuah novel)

7 Januari 2011   13:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:51 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hem,,,ini adalah lanjutan dari Sunset and Sunrise. Keep Reading ya....

Bagi yang belum baca, bisa baca Album pertama dulu

--> album pertama bagian 1: http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/03/sunset-dan-sunrise-sebuah-novel-album-1/

--> album pertama bagian 2: http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/04/sunset-with-sunrise-album-1-bagian-2/

ALBUM KEDUA
Aku gengsi, kamu gengsi. Aku malu, kamu malu. Aku deg-degan, bagaimana denganmu??

Berdua dengan Landung di satu motor membuatku salah tingkah. Dan itu kurasa perilaku langka. Setidaknya hingga kami berdua melakukannya untuk kedua kali saat OSPEK.

OSPEK fakultas benar-benar menyita waktu dan mata, kurasa. Berbeda dengan masa orientasi waktu SMA, OSPEK memaksa kami untuk berkumpul 1 kelompok dan membuat pernak-pernik.

“Ini kerjasama tim. Saya ingin melihat kekompakan kalian,” tegas ketua OSPEK fakultas saat briefing kemarin. Kami dibagi dalam beberapa kelompok sekitar 30-an kelompok, aku tak tau pastinya. Setiap kelompok terdiri dari 30 orang dari program studi atau jurusan yang berbeda-beda. Cukup banyak. Kami mendapat PR yang sama: topi harus sama, tas harus sama, buku harus sama, dan sama-sama yang lain. Semuanya dengan warna yang sama.

Alhasil, kami satu kelompok harus bekerja bersama. Membuat bersama-sama, dari tas, blocknote, topi, hingga maskot kelompok. Karena rumahku paling dekat dengan kampus, setidaknya aku memiliki halaman dan ruang tamu yang luas, kerja kelompok itu dilakukan di rumahku.

Kami kerja hingga larut malam. Beberapa temen cewek kelompokku yang notabene adalah anak kosan terpaksa nginep di rumahku. Tapi ada pula yang balik. Kami tidak pernah tidur sebenarnya karena takut bangun telat. Jika tidur, heeemmm…dibagian lain akan aku ceritakan akibatnya. Pagi-pagi jam 5 kita harus sudah siap berangkat ke fakultas jika tidak ingin dihukum oleh bagian tata tertib OSPEK.

Aziz berbeda kelompok denganku. Dia kelompok 8, sementara aku kelompok 25. Bari juga berbeda kelompok. Mereka berdua terpaksa harus nginep sampai jam 3 pagi di rumah salah satu kelompoknya. Jam 4 shubuh mereka baru pulang untuk bersiap berangkat.

Sementara Landung??

Entahlah, mungkin panitia OSPEK-nya tau tentang perasaanku. Atau karena hal lain, aku juga tak mengerti. Saat melihat daftar kelompok pas briefing kemarin, aku mendapati namanya tepat di atas namaku. Yah, tepat di atasnya.

…..

07/251001/TK/32519 Harsono Teknik Arsitektur

07/251010/TK/32526 Landung Dewantara Teknik Industri

07/251019/TK/32578 Erena Pratiwi Putri Teknik Industri

……

# # #

“Ren…Rena, bangun Ren. Sudah jam 6 pagi.”

Jam 6? Mataku membuka seketika. Siklus tidurku yang belum sempat selesai, baru permulaan kurasa, terpaksa harus terputus karena mendengar kata JAM 6.

Aku belum sadar benar saat kudapati aku tidur di sofa ruang tamu. Ruang tamu masih berserakan kertas-kertas warna, spidol warna warni, gunting, lem. Hari ini adalah hari kedua OSPEK. Setidaknya aku masih mengingat akan hal itu. Tadi malam kelompok 25 kembali mengerjakan di rumahku. Aku masih ingat pula bahwa mata kami sudah 5 watt saat jam 3 pagi tadi. Kerjaan kami adalah membuat kerajinan dari barang bekas. Kami memilih membuat rumah-rumahan dari botol air mineral. Aku juga masih ingat selesai sholat shubuh mereka, teman-teman kelompokku, meminta ijin untuk pulang ke kos. Mau siap-siap katanya. Mereka juga minta maaf belum bisa membereskan. Aku mengangguk, memahami keadaan. Mereka pasti kecapekan. Begitupun aku. Begitu aku menyentuh sofa, aku terlelap menuju alam mimpi.

Pagi ini di antara sadar dan terlelap, aku dibangunkan oleh suara yang kukenal: LANDUNG.

Dia jongkok di sampingku. Dia sudah memakai kaos seragam kami, kaos warna putih dengan gambar tugu Teknik di bagian depan, topi robot buatan kami di hari pertama, tas serempang dari kardus dan tali raffia, juga name tag yang bertuliskan nama kelompok kami dan namanya.

Aku terperanjat kaget.

“Ada apa?” ucapku gugup melihatnya.

“Ada apa?” dia mengulang pertanyaanku sambil mengernyitkan kening.

“Iya, ada apa? Kamu mengapa jongkok di situ?”

Dia tersenyum kecil. “Ini sudah jam 6, Ren. Kau masih sadar kan bahwa hari ini adalah hari kedua OSPEK?”

Aku melihat ke jam dinding. Jam 6 lewat sepuluh menit.

“Mampus, jam 6. Kenapa tidak ada yang membangunkanku?” aku berdiri tergesa. Mondar-mandir bingung. Aku duduk, lalu berdiri lagi. Berulang-ulang aku menyibakkan rambut.

“Aku gag tega membangunkanmu. Kamu terlihat capek banget tadi.” Dia diam sesaat. Lanjutnya, “Trus, dari pada kamu mondar-mandir seperti itu, mending kamu siap-siap. Ganti baju trus kita berangkat.”

“Tidak mandi?” ucapku ngawur.

“Kamu tidak ingin kan kakak-kakak angkatan kita di bagian ketertiban semakin mengerjai kita?”

Aku membenarkan ucapannya. OSPEK dimulai pukul 6 pagi. Setiap mahasiswa harus sudah tiba setidaknya 15 menit sebelum apel pagi. Dan kini aku sudah telat hampir 30 menit. Jika aku mandi, pasti akan telat lebih lama.

“Aziz mana?”

“Dia sudah berangkat sejak tadi. Kan dia beda kelompok ama kita.”

“Oh iya ya. Bari?”

“Dia juga beda kelompok, Ren. Kamu gag amnesia, kan?”

Aku mendengus kecil. Mengapa aku mendadak bego seperti ini.

Aku masuk kamar, menyambar kaos OSPEK yang tergelantung di belakang pintu. Kaos itu belum sempat dicuci dan kini harus dipakai lagi. Kemarin di hari pertama aku pulang jam 7 malam. Setelah itu harus kumpul lagi bersama kelompokku. Mana sempat mencuci baju dan harus siap kering jam 5 pagi.

Aku keluar kamar dan mendapati Landung duduk di sofa kamar tamu.

“Loh Ndung, kamu kok belum berangkat?” aku mengerutkan kening. Menyadari bahwa Landung juga belum berangkat padahal jam sudah menunjukkan angka 6 lewat 15 menit.

“Ya aku nungguin kamu,” ucapnya.

Aku melongo mendengar jawabannya yang terasa ringan diucapkan.

# # #

Sehari setelah OSPEK fakultas.

OSPEK fakultas berjalan 3 hari, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Sangat melelahkan, baik mata, tenaga, pikiran. Tapi seru. Seseru saat aku di hari kedua telat bersama Landung. Hari itu, kami berangkat berdua. Ya, berdua saja menggunakan motorku. Setelah serangkaian persiapan kilatku; gosok gigi kilat, cuci muka kilat, tanpa makan, sisiran kilat, aku berhasil menyentuh halaman fakultas teknik tepat 5 menit setelah apel pagi.

Sebelum berangkat, ada perdebatan kecil di depan rumahku mengenai ‘siapa yang di depan siapa’.

“Aku yang nyetir motor,” ucapku sambil mengenakan helm.

“Aku saja. Aku kan cowok.”

“Gag ada bedanya yang nyetir cowok atau cewek,” ucapku lagi.

“Tapi kan gengsi.”

“Biasanya juga gengsi.” Entah dari mana keberanian itu muncul, tapi pagi itu mendadak aku menjadi cewek cerewet di depan Landung. Padahal biasanya….ah bicara dengannya saja hanya sepatah sepatah.

Akhirnya aku memenangkan perdebatan itu. Bukan, bukan. Sebenarnya tidak memenangkan karena si Landung tidak melawan sedikitpun. Setelah kukatai ‘gengsi’, dia diam saja. Tak membantah.

Dalam perjalanan, kami saling diam. Seperti biasa. Dia cuma sekali bilang ke aku: cepat dikit sudah telat ini. Itu saja. Huft, seenaknya menyuruhku cepat-cepat. Ini motor-motorku juga. Aku meruntuk dalam hati.

“Mending aku yang depan deh, Ren. Pelan sekali kamu nyetirnya. Lagian kamu nyetirnya nyeremin amat. Takut nabrak aku.”

“Ini juga sudah cepat,” ucapku agak lantang. Kesal juga dikata-katain ama dia.

“Ini hampir jam 7, Ren.”

“Iya aku tau.” Aku melirik jam di tanganku. Memang hampir jam 7. Sesaat setelah mataku melirik jam tanganku, aku mendapati taksi yang berjalan di depanku berhenti mendadak.

Ciiiiitttttttttttttttttttttttttt…aku menekan rem mendadak. Motorku hampir menabrak bagian belakang taksi itu. Dadaku naik turun karena terkejut. Aku lebih terkejut saat menyadari tangan Landung sudah melingkar di pinggangku.

“Arghhhhhhh…..” aku menjerit di tengah jalan.

Kejadian itu membuatku jera jika harus berboncengan dengan Landung. Landung berulang kali minta maaf dengan alasan ‘tidak sengaja’, ‘kaget’, ‘terkejut’. Aku tak sepenuhnya marah padanya. Toh, itu juga karena kesalahanku. Tapi yang membuatku semakin tak enak dengannya, dia menjadi agak malu setiap bertemu denganku. Tak ada yang tau kejadian itu kecuali aku dan dia. Maksudku, si Bari, Aziz, atau teman-teman kampus tidak ada yang tau.

Pagi ini, aku bertemu dengan Landung di halaman belakang. Dia masih tinggal di rumahku. Dia baru akan pindah ke tempat kosnya sore nanti. Landung memakai celana pendek olahraga, kaos tanpa lengan yang membuat bulu ketiaknya sedikit terlihat, ada headset di telinganya. Sepertinya dia baru saja lari pagi.

Aku sendiri sedang menyirami bunga-bunga di pot, kebiasanku di pagi hari. Biasanya ayah juga sudah berada di halaman belakang pagi-pagi seperti ini. Beliau selalu menyemprot burung-burung peliharaannya dengan air, lalu menggantungkan kandangnya di pohon atau di tiang bambu yang sengaja beliau buat untuk menaruh kandang tersebut. Tapi sejak pulang kemarin sore, beliau sepertinya tidak enak badan. Kata ibu, malam hari ayah minta dikeriki. Badan sudah sepuh memang seperti itu. Dikit-dikit sakit. Aku berulang kali menyuruh ayah agar banyak-banyak istirahat dan tidak terlalu capek bekerja.

“Kamu ikut anak-anak ke Pantai Sundak?” tanya dia. Tumben berani menyapaku, batinku.

“Kamu?” aku balik bertanya.

Hari ini kelompok 25, temen-temen OSPEK-ku, memang berencana untuk bermain ke Pantai Sundak. Rasa kekompakan dan kekeluargaan yang terbina sejak bekerja bersama 3 hari lalu memang masih sangat melekat. Sehari setelah OSPEK, kami berniat untuk bermain bersama ke pantai. Melepas penat setelah 3 hari lalu digodok oleh kakak-kakak angkatan.

Setidaknya ini kami lakukan karena menyadari bahwa kami tak mungkin bisa bersama-sama terus nantinya.

Aku dari industri, ada Ria dari Fisika, Mei dari Kimia, ketua kelompokku Rio si manusia tegas dan berwibawa dari Geologi, Delon dari Sipil, dan teman-teman lain yang tersebar di 8 jurusan di fakultas Teknik. Fakultar Teknik sangat luas, gedungnya terpisah-pisah. Sangat jarang pasti nanti kami bisa berkumpul, ditambah dengan kesibukan kami masing-masing. Hal ini kami sadari nanti. Ya, nanti. Bahwa ada sebagian dari kami bahkan lupa dengan nama-nama teman sekelompoknya.

Tapi, perkenalan dan kebersamaan singkat itu tak akan kami lupa sampai kapanpun. Ya walaupun kami hanya bisa mengenangnya lewat foto. Nanti, sebulan setelah OSPEK kami juga mengadakan buka bersama bareng. Yang datang sudah berkurang, tidak seperti pas bermain di pantai nanti. Tinggal 25 orang. Reuni ramadhan tahun berikutnya lebih ironis, yang datang hanya 12 orang termasuk aku dan Landung. Dan hari-hari setelahnya, kami jarang bertemu, bahkan tidak pernah. Sesekali kami masih saling berpapasan di bagian tata usaha di fakultas saat mengurus A atau B. Kami hanya saling menyapa, say hello, nanya kabar. Finish.

“Entahlah aku juga bingung. Hari ini aku dan Bari kan pindahan ke kos.”

“Jadi kos di Pogung?”

“Iya, deket soalnya dari kampus.”

Aku diam, masih sok sibuk menyirami bunga-bunga. Padahal sekali-kali aku melirik Landung yang duduk di kursi bambu di bawah pohon mangga. Ganteng sekali pagi ini, batinku. Oh, tidak, tidak. Dia tidak hanya ganteng di pagi ini, tapi juga tiap hari. Aku terkekeh kecil di dalam hati.

“Gimana, kamu ikut tidak?” tanya dia.

Aku mengangkat bahu. Sebenarnya aku ingin bilang padanya, pada si Landung itu, bahwa aku akan ikut jika dia ikut.

“Kamu sendiri?” tanyaku balik.

“Aku akan ikut kalo kamu ikut, gimana?”

# # #

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun