Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dokter... Cintaku!

18 Oktober 2023   11:05 Diperbarui: 18 Oktober 2023   11:17 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah dua hari saya menginap di salah satu kamar rawat rumah sakit yang berlokasi di pusat kota ini. Rasa nyeri berhari-hari di bagian perut yang saya keluhkan ketika mengunjungi puskesmas di kecamatan dekat kantor justru menghasilkan surat rujukan agar saya langsung periksa lebih lanjut ke rumah sakit.

Ah, saya benci menginap di rumah sakit. Tetapi saya lebih benci lagi rasa nyeri ini. Nyeri yang disertai perasaan kembung dan mual. Apa mungkin saya hamil? Tetapi hasil pemeriksaan di laboratorium kemarin sore tidak menunjukkan tanda-tanda itu. Dokter juga tidak membahas apa-apa yang mengarah ke situ saat kunjungan rutin pasien tadi pagi. Lagian, mustahil saya hamil. Saya kan laki-laki.

Saya mengedarkan pandangan ke dinding kamar rumah sakit menatap jam dinding. Jarum jam sudah menunjukkan jam sebelas malam. Saya melirik ke tempat tidur sebelah, tampak pasieen lain, pria setengah baya dengan infus tertancap di pergelangan tangan sebelah kiri, tertidur dengan gelisah. Sesekali terdengar mengigau pelan seperti berbisik dalam tidurnya. 

Sebuah ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Seperti biasa, tanpa dijawab pun pintu akan berangsur terbuka, dan masuk lah suster muda membawa kotak plastik berisi obat-obatan dan peralatan jarum suntik. Tidak seperti orang pada umumnya yang takut jarum suntik, saya lebih takut disuruh menelan tablet atau kapsul yang beberapa diantaranya sebesar biji duren itu.  Seandainya bisa memilih, saya ingin obat-obat dalam bentuk tablet atau kapsul dibuat ekstraknya dalam bentuk cairan, sehingga bisa dicampur ke kantong infus atau langsung disuntikkan ke pergelangan tangan, atau betis, atau di mana saja di bagian tubuh yang memadai sebagai lahan suntik.

"Ini obat untuk dikonsumsi malam ini ya, Pak," suara lembut suster membuyarkan pikiran dan imajinasi absurd saya tentang cara mengkonsumsi obat yang sesuai dengan selera purba saya. Suster meletakkan satu tablet masih terbungkus dengan kemasannya di atas meja di dekat tempat tidur. Saya mengiyakan tanpa minat. Obat lagi, obat lagi. Untung ukurannya relatif kecil sehingga tidak akan membuat saya setengah mati berusaha menelannya seperti ular yang susah payah menelan mangsanya bulat-bulat di film dokumenter tentang satwa.

Kemudian suster berjalan ke arah tempat tidur pasien di sebelah saya, memeriksa sejenak kantong infus untuk memastikan tetesannya masih stabil. Lalu mencatat sesuatu, mungkin cerpen atau puisi.

Setelah suster meninggalkan ruangan, saya bermaksud untuk segera tidur saja. Dalam keadaan terbangun seperti ini saya cenderung memikirkan semua isi bumi yang bisa membuat saya kalut sendiri. 

Dengan pelan saya meraih obat yang tadi diletakkan di atas meja. Saya buka lipatan kemasannya. Ini berbeda dengan obat yang diberikan kepada saya selama dua hari ini. Lho, mengapa ada obat baru? Tadi pagi saat dikunjungi dokter, saya tidak ada menyampaikan keluhan baru yang bisa berpotensi dihadiahi obat baru. Saya justru mengatakan bahwa bahwa nyeri bagian perut saya sudah berangsur-angsur berkurang sehingga dokter mengatakan bahwa akan ada obat yang dikurangi. Lalu kenapa malam ini justru ada obat baru?

Saya sedikit memicingkan mata agar bisa membaca tulisan kecil pada kemasan obat. Saya lalu membuka ponsel, mengetikkan nama obat tersebut di Google. Hasilnya, obat pengencer darah.

Saya menekan tombol di meja dekat tempat tidur untuk memanggil suster dari ruang sebelah. Dua menit kemudian suster yang tadi datang, dia sudah memakai jaket menutupi seragam putihnya. Mungkin udara di luar dingin dan kencang.

"Ada apa, Pak?" tanyanya ramah. Seandainya ini adalah adegan di sinetron yang dialog dan jalan ceritanya sering tidak greget itu, mungkin saya akan menjawab pertanyaan suster dengan kalimat ketus 'Ada apa, ada apa! Ini obat apa yang kamu kasih ke saya? Kamu mau membunuh saya?'

"Obat yang suster tadi berikan ternyata obat pengencer darah ya?"

"Betuk, Pak."

"Kenapa saya diberi obat pengencer darah ya?"

"Oh, itu sudah diresepkan dokter tadi pagi, Pak"

"Tapi saya kan tidak ada keluhan lain selain keluhan nyeri di bagian perut. Dan itu pun sudah berangsur-angsur berkurang"

"Dari hasil cek pemeriksaan darah Bapak ada pengentalan, makanya diresepkan dokter begitu, Pak."

"Saya boleh minta tolong dipastikan lagi ke dokternya? Atau mungkin bisa diperiksa hasil resume medis saya untuk memastikan kembali?"

"Baik, Pak. Sebentar saya tanyakan ke Suster Kepala."

"Terima kasih."

Dia pun kembali ke ruangan sebelah. Samar-samar terdengar pembicaraan antara dua orang perempuan di luar pintu, salah satu suara terdengar dengan nada tinggi.

Brak! Pintu didorong dengan keras dari luar menimbulkan suara yang sedikit mengejutkan. Saya melirik pasien di sebelah, dia membuka mata sejenak akibat gangguan suara barusan, lalu kembali lagi tertidur.

"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" Muncul suster yang lain. Postur tubuhnya lebih besar dan cukup mengintimidasi. Ini pasti Suster Kepala yang dimaksud.

"Begini, Bu. Saya diberi obat pengencer darah, sementara saya..."

"Itu dokter yang meresepkan, Pak!" Suster Kepala langsung memotong kalimat saya. Ekspresi wajahnya tampak tenang dengan intonasi suara yang tegas. Saya langsung terdiam. Terdiam bukan karena takut, tetapi kaget karena dia bahkan tidak membiarkan saya menyelesaikan kalimat saya. Untuk apa tadi dia bertanya kalau tidak ada niat untuk mendengarkan saya?

"Bapak pasien kami di sini. Kami hanya menjalankan prosedur, dan bapak sebagai pasien juga wajib mengikuti prosedur tersebut."

"Tapi ini menyangkut nyawa saya, Suster. Saya hanya ingin memastikan saja, karena tadi pagi dokter tidak ada membahas ini ke saya."

"Saya sudah bilang ini prosedur, Pak. Prosedur ini sudah kami jalankan puluhan tahun. Dokter meresepkan obatnya, kami wajib menyampaikannya ke pasien, dan pasien sebaiknya menurut. Kami tidak mungkin menjalankan prosedur yang asal-asalan."

"Saya tahu. Tetapi saya tidak ada riwayat pengentalan atau pembekuan darah, Suster. Dan saya tidak ada keluhan apa pun tentang itu."

"Tolong kerjasamanya ya, Pak. Yang kami jalankan sudah sesuai prosedur dan obat yang kami berikan sudh sesuai arahan dokter."

Saya pun terdiam kembali. Pasien di sebelah saya terbatuk, menatap saya dengan nanar. Sepertinya dia terbangun akibat perdebatan barusan, dan dia menyalahkan saya karena ngeyel.

"Ada lagi yang bisa kami bantu, Pak?" tanya Suster Kepala berbasa-basi dengan maksud agar bisa segera pergi dan mengurus pasien yang lain. Pasien merka kan bukan hanya saya saja. Saya sengaja tidak menjawab, pura-pura mengalihkan pandangan saya ke langit-langit.

"Baiklah kalau begitu. Kami tinggal ya, Pak." 

"Terserah!!!" jawab saya dalam hati.

Sepeninggal mereka berdua, obat yang tadi saya pegang saya letakkan kembali ke atas meja. Saya tidak ada niat sedikit pun untuk meminumnya. Boro-boro meminum obat yang tidak jelas begini, obat yang jelas saja saya butuh semangat dan kepercayaan diri yang tinggi untuk meminumnya. Saya menutup mata, berusaha untuk tidur.

Saya dibangunkan oleh suara pintu kamar mandi di pojok ruangan yang ditutup dari dalam. Saya melirik tempat tidur sebelah, kosong dan berantakan. Tiang infusnya juga raib, mungkin ikut digeret ke dalam kamar mandi. Ternyata sudah pagi.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Terdengar ketukan lembut dari arah pintu, lalu sesosok tubuh berjubah putih masuk dengan tergesa-gesa dan langkah kaki yang sedikit keras dari biasanya. Malaikat pencabut nyawa? Ah, ternyata dokter yang menangani saya sejak hari pertama opname di sini. Dokter pria yang saya perkirakan berumur sekitar empat puluhan, dengan untaian sehelai dua helai uban di antara rambut hitamnya yang lurus dan dipotong pendek model anak muda masa kini. Dia berjalan tergesa-gesa seperti hendak memburu sesuatu, menghampiri tempat tidur saya dengan wajah kikuk, diikuti suster dari belakang. Tidak biasanya dokter terlihat gusar begini. Biasanya selalu tenang, setenang air yang menghanyutkan.

Pasti Suster Kepala sudah melaporkan kelakuan saya tadi malam sehingga pagi ini dokter akan menghakimi saya. Tetapi saya sudah mempersiapkan diri untuk berdebat sengit karena saya punya argumen untuk membela diri.

"Selamat pagi, Pak," sapa dokter ramah tetapi tetap tidak bisa menyembunyikan wajah gusarnya.

"Pagi, Dok," jawab saya datar, sedatar dataran tinggi Dieng.

"Begini, Pak. Obat yang tadi malam diberi suster apakah jadi bapak minum?"

Saya terkejut. Apa maksud pertanyaan ini?

"Kenapa, Dok?" Saya malah menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan. Rasakan itu!

"Begini ya, Pak. Sebelumnya saya minta maaf atas kekeliruan informasi ini. Di kamar sebelah ada pasien yang namanya sama dengan nama Bapak. Hasil pemeriksaan laboratorium beliau tertukar dengan milik Bapak. Jadi kemarin itu suster membacakan hasil laboratorium beliau  ke saya untuk keperluan meresepkan obat untuk Bapak."

Hening sejenak.

"Jadi sebenarnya obat pengencer darah itu untuk pasien di kamar sebelah, Pak." Dokter melanjutkan dengan nada suara penuh penyesalan. Saya pura -pura terkejut dan panik.

"Lho, bagaimana ini? Obatnya sudah saya minum. Berarti lima menit lagi saya meninggal dong?"

"Eh, tidak begitu efeknya, Pak."

"Trus, bagaimana?" Saya merasa berada di atas angin. Sekarang saatnya menuntut balas.

"Mungkin bapak ada merasa pusing, sesak atau jantung berdebar setelah meminum obat?"

"Tidak sih. Cuma tiba-tiba saya merasa alam baka sudah dekat saja."

"Aduh, jangan begitu, Pak." Dokter terlihat antara mau tersenyum atau menangis. "Bapak ada merasakan keluhan baru setelah mengkonsumsi obatnya?"

"Sejauh ini tidak ada."

"Oh, syukurlah. Jika nanti ada keluhan, segera diinformasikan ke suster agar kami bisa segera melakukan penanganan ya, Pak"

"Baik. Nanti saya informasikan kalau saya sudah sampai di neraka."

Wajah dokter tampak memerah, entah karena gemas atau kesal karena merasa dikerjai namun tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara suster yang berdiri di belakangnya terlihat terkikik sambil menutupi mukanya dengan map warna putih.

"Sekali lagi atas nama rumah sakit dan keluarga besar tenaga medis di yang bekerja di sini, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya ya, Pak."

"Tidak apa-apa. Saya kok yang salah," jawab saya cuek.

"Lho, kok begitu Pak?" Dokter dan suster saling berpandangan antar geli dan bingung.

"Iya, saya yang salah. Nama saya yang pasaran sehingga membuat rumah sakit kebingungan karena ada beberapa pasien yang namanya sama."

"Ah, bapak bisa saja."

Saya yakin sang dokter khawatir saya akan memperpanjang masalah ini, entah lewat media sosial atau mungkin jalur hukum. Yang jelas saya tidak terpikir ke arah itu. Toh saya tidak mengkonsumsi obat yang diberikan, dan mereka sudah menyadari dan mengakui bahwa kekeliruan ada pada pihak mereka. Itu sudah lebih dari cukup untuk menutup kasus ini sampai di sini. Tinggal menunggu Suster Kepala nongol saja, dia yang paling wajib menerima keisengan saya.

Tiba-tiba dokter menatap kemasan obat di atas meja. Saya terkesiap, kenapa tadi tidak saya sembunyikan dulu ya? Saya tidak mengira dokter akan datang secepat ini sehingga saya tidak sempat menghilangkan barang bukti. Tetapi kondisi kemasan obatnya terlipat random begitu, tidak ada yang bisa menebak kalau masih ada obatnya.

Prrrrrooootttt!!! Tiba-tiba kami dikejutkan suara yang tidak terduga dari dalam kamar mandi. Sepertinya pasien sebelah saya sedang mengalami kelegaan yang luar biasa, tidak tahu bahwa di luar sini baru saja terjadi drama. Dokter dan suter segera mohon diri untuk menyelamatkan diri. Tinggal saya yang terjebak bersama riuhnya bunyi-bunyian liar tak terkendali yang masih kembali terdengar dari dalam kamar mandi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun