"Baiklah kalau begitu. Kami tinggal ya, Pak."Â
"Terserah!!!"Â jawab saya dalam hati.
Sepeninggal mereka berdua, obat yang tadi saya pegang saya letakkan kembali ke atas meja. Saya tidak ada niat sedikit pun untuk meminumnya. Boro-boro meminum obat yang tidak jelas begini, obat yang jelas saja saya butuh semangat dan kepercayaan diri yang tinggi untuk meminumnya. Saya menutup mata, berusaha untuk tidur.
Saya dibangunkan oleh suara pintu kamar mandi di pojok ruangan yang ditutup dari dalam. Saya melirik tempat tidur sebelah, kosong dan berantakan. Tiang infusnya juga raib, mungkin ikut digeret ke dalam kamar mandi. Ternyata sudah pagi.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Terdengar ketukan lembut dari arah pintu, lalu sesosok tubuh berjubah putih masuk dengan tergesa-gesa dan langkah kaki yang sedikit keras dari biasanya. Malaikat pencabut nyawa? Ah, ternyata dokter yang menangani saya sejak hari pertama opname di sini. Dokter pria yang saya perkirakan berumur sekitar empat puluhan, dengan untaian sehelai dua helai uban di antara rambut hitamnya yang lurus dan dipotong pendek model anak muda masa kini. Dia berjalan tergesa-gesa seperti hendak memburu sesuatu, menghampiri tempat tidur saya dengan wajah kikuk, diikuti suster dari belakang. Tidak biasanya dokter terlihat gusar begini. Biasanya selalu tenang, setenang air yang menghanyutkan.
Pasti Suster Kepala sudah melaporkan kelakuan saya tadi malam sehingga pagi ini dokter akan menghakimi saya. Tetapi saya sudah mempersiapkan diri untuk berdebat sengit karena saya punya argumen untuk membela diri.
"Selamat pagi, Pak," sapa dokter ramah tetapi tetap tidak bisa menyembunyikan wajah gusarnya.
"Pagi, Dok," jawab saya datar, sedatar dataran tinggi Dieng.
"Begini, Pak. Obat yang tadi malam diberi suster apakah jadi bapak minum?"
Saya terkejut. Apa maksud pertanyaan ini?
"Kenapa, Dok?" Saya malah menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan. Rasakan itu!