Entah diskusi apa, mungkin tentang film-film yang lahir dari puisi? Bisa jadi. Mungkin lagi, karena Ada Apa dengan Cinta 2Â baru keluar dan buku puisi Aan Mansyur untuk film itu, Tidak Ada New York Hari Ini, sedang laris-larisnya.
Dan jika ingatan saya tidak berkhianat, Istirahatlah Kata-kata sudah dapat penghargaan dari luar negeri. Saya lupa namanya. Intinya seperti itu!
Sebagai tokoh yang memerankan Wiji Thukul, Gunawan Maryanto yang juga seorang penyair ini, merasa bangga. Tidak ada kesulitan berarti dalam proses pembuatan film. Hanya berupaya untuk membuat suara cadel. Karena, itu menjadi ciri khas Wiji Thukul yang mengaksentuasikan huruf --R.
Sudah begitu, kata Gunawan Maryanto, puisi-puisi Wiji Thukul itu sangat bunyi. "Sebagai actor, puisi Wiji Thukul enak banget untuk dilantunkan," lanjutnya.
Gunawan Maryanto menduga, karena Wiji Thukul juga seorang pemain teater, akhirnya sebagai penyair ia sangat menimbang; menimbang nafas, menimbang panjang-pendek, menimbang bunyi.Â
Membaca puisi Wiji Thukul, memang seperti membaca karya-karya Rendra. Sedikit banyaknya beririsan.
9/
jangan lupa, kekasihku
jika pukul lima
buruh-buruh perempuan
yang matanya letih
jalan sama-sama denganmu
berbondong-bondong
itu kawanmu, kekasihku. – jangan lupa, kekasihku
10/
Untuk yang terbiasa atau baru akan membiasakan diri dengan Jakarta (atau kota besar lainnya), rumah akan menjadi sesuatu yang asing. Bisa pulang ke rumah, barangkali, menjadi sebuah mimpi bagi sebagian orang.
Kita menjadi lebih terbiasa dengan meributkan deadline daripada saling berebut remot tivi di rumah karena selera acara berbeda. Juga lebih bisa memaklumi terjebak kemacetan daripada menunggu tukang baso lewat depan rumah karena gas belum terbeli. Apa lagi?