Sebab mereka bertiga, Wiji Thukul; Tan Malaka; dan Munir, adalah posterboy. Wajah mereka selalau dijadikan simbol perlawanan atas kejamnya kekuasaan.Â
Namun, hanya Wiji Thukul sahaja yang jarang sekali saya temukan rekam jejak kehidupannya. Ada, tapi lagi-lagi sama: Wiji Thukul selalu digambarkan seorang penyair. Titik.
Tidak banyak bahasan tentang bagaimana kehidupan Wiji Thukul. Buku Serial Tokoh yang dibuat Tempo saja sekadar berfokus pada masa di mana sebelum ia (di)hilang(kan) dan proses kepenyairannya.Â
Namun, buku itu,saya kira, sangat cocok untuk mengantar para penonton Istirahatlah Kata-kata.
Oleh karenanya, penggambaran saya tentang Wiji Thukul terbagi dua: (1)selama pelariannya, saya bayangkan Tan Malaka; (2) membela kaum-kaum buruh dan sebagainya, saya bayangkan Munir. Sekadar membayangkan saja supaya lebih mudah.
Sisi semacam inilah yang coba ditawarkan Yosep Anggi Noen lewat Istirahatlah Kata-kata.Â
Sang Sineas ingin menjelaskan bahwa Thukul tak ubahnya adalah manusia biasa seperti kita; akui, kamu dan mereka. Ia punya ketakutan ketika dikekang. Ia punya kerinduan ketika jarak memisahkan. Ia punya ribuan keresahan juga seperti kita.
Makanya saya sedikit kesal saja yang bagi mereka sudah menonton dan kecewa karena tidak ada adegan–adegan heroik yang mereka bayangkan tentang masa itu.Â
Sialnya lagi, mereka-mereka yang kecewa, adalah generasi milineal yang mengenal Thukul sebagai alat gagah-gagahan. Saya memaklumi. Setidaknya masih ada yang bisa dikapitilisasi dari sosok Wiji Thukul.
8/
Saya jadi ingat ketika diskusi Istirahatlah Kata-kata di Asean Literary Festival 2016 yang diwakili Gunawan Maryanto. Saat itu juga ada Aan Mansyur.Â