Jika pernah membaca laporan panjang Dea Anugerah yang berjudul "Berkebun di Tengkulak Penulis", kita akan disajikan hal menarik. Bahwa di negara Peru, tahun 2009 tepatnya, pernah ada razia besar-besaran yang dilakukan sebuah Konsorsium Penerbit dan Kepolisian setempat. Buku-buku bajakan disita dari pembajak sebanyak 90 ribu eksemplar jumlahnya. Jika dihitung, dalam harga buku bajakan itu, senilai 348 ribu dolar Amerika Serikat. Angka yang amat fantastis bagaimanapun.
Namun yang kemudian jadi kendala adalah barang sitaan itu hanya memenuhi gudang di pengadilan. Sampai tiga bulan lamanya, jika ingatan saya tidak berkhianat mengingat. Tidak ada tindak untuk itu, jadi pengadilan belum berhak membakar atau memcacah buku-buku itu menjadi bubur kertas sekalipun. Malah diusulkan untuk disumbangkan ke sebuah program pemerintah Peru yang bergerak dibidang pendidikan.
Entah bagaimana caranya, semacam ada permainan antara pembajak dan pengadilan, buku-buku sitaan itu kembali ke rak-rak tepat di mana semula buku itu disita!
Kini pembajakan buku, saya kira, menjadi salah satu "lahan basah" sebenarnya. Ketika pemerintah kadung tidak bisa mengatur harga buku, di sana "pemain buku ilegal" senang. Negara India, yang mayoritas skala ekonominya sedikit di bawah Indonesia saja pemerintahnya masih peduli terhadap sirkulasi harga buku. Jika dibandingkan dengan kita, satu berbanding lima. Harga satu buku di Indonesia, setara dengan lima buku di India. Mahal. Lebih tepatnya, harga satu buku di sini sama halnya dengan segelas kopi di gerai-gerai warung kopi asing.
Mesti ada upaya untuk mencegahnya. Atau, paling tidak merendahkan angka pembajakan itu. Menggalakan buku digital, misalnya?
***
Semasa kuliah, ada satu tempat favorit saya jika tidak punya uang: toko buku. Karena tidak punya uang, sudah bisa dipastikan saya ke sana tidak untuk membeli. Sekadar datang, pilih-pilih buku, baca yang tidak tertutup plastik, dan mencatat harga buku yang sekiranya ingin saya beli.
Tatkala sedang melihat buku dan mencatat harga di bagian belakang buku, seorang petugas pernah menghampiri. Ia bertanya, "cuma nyatet harga saja, mas? Tidak beli?"
Diam dan membalasnya dengan senyum terburuk yang saya punya. Itu saja yang saya bisa. Malu, sudah tentu; tapi masa menyalahkan keadaan. Bisa baca beberapa sinopsis dan buku yang terbuka dengan cuma-cuma, buat saya itu jauh lebih dari cukup.
Ini sering. Ketika saya sudah mengumpulkan uang, buku yang saya ingin beli, sudah tidak dijual di toko buku jaringan besar itu. Internet adalah dunia gelap yang saya takut datangi. Entah bagaimana regulasi buku di toko buku dengan jaringan terbesar itu bekerja. Yang jelas, dalam waktu dua atau tiga bulan, buku itu raib dari rak buku mereka.
Akal-akalan saya ketika itu hanya mencari bedah bukunya. Jika diadakan di Bogor, pasti saya datangi. Jika di luar Bogor, saya masih pertimbangkan. Sebab kadang malah buku itu saya dapat cuma-cuma a.k.a gratis.