Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penempatan Militer di Papua Merupakan Kesalahan Fatal?

14 Februari 2023   09:35 Diperbarui: 14 Februari 2023   09:35 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi persoalan lama mengenai adanya Gerakan bersenjata di tanah Papua. Kelompok ini kerap dinamakan sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan pasukan bernama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang ingin Papua memisahkan diri dari Indonesia dan ingin membentuk negara yang berdaulat di Papua. Isu mengenai ras dan ekonomi selalu menjadi senjata para kelompok separatis ini ingin memisahkan diri dari NKRI.

Seperti yang sekarang sedang ramai di pemberitaan nasional, diculiknya pilot Susi Air oleh kelompok seperatis di Papua menambah daftar panjang bentrok ataupun kekerasan yang terjadi di bumi cenderawasih. Bentrokan belakangan semakin meningkat dengan banyaknya anggota TNI/Polri yang ditaruh di Papua dengan tujuan keamanan maupun untuk membasmi pergerakan seperatis yang ada di daerah-daerah rawan konflik.

Namun penempatan militer dalam jumlah yang banyak di Papua justru menimbulkan konflik antara para pendatang dengan penduduk setempat yang seharusnya untuk menjaga keamanan di Papua malah membuat stabilitas keamanan semakin tidak terkendali. Kasus terakhir yaitu pembunuhan dan mutilasi empat orang Papua yang dilakukan oknum TNI yang sempat menggemparkan masyarakat pada tahun lalu.

Dalam melihat kelompok teroris di Papua, masyarakat Indonesia kerap menganggap hanya terdapat satu kelompok teroris besar yang menaungi kelompok-kelompok kecil lainnya, padahal dalam kenyataannya kelompok-kelompok kecil ini memang bergerak secara sendiri-sendiri dan tak jarang sesama kelompok separatis saling menyerang.

BNPT dan Polri yang merupakan dua lembaga pemerintah saja memetakan kelompok-kelompok bersenjata di Papua dengan jumlah yang berbeda, dilansir dari merdeka.com, BNPT mengatakan terdapat 7 kelompok yang sering melakukan aksi penembakan, sedangakn Polri memetakan ada 8 kelompok. 

Dari pemberitaan tersebut dapat terlihat bahwa sesama lembaga pemerintah saja tidak berhasil menemukan satu hal yang pasti untuk sekadar jumlah kelompok bersenjata yang ada di Papua belum hal yang mendetail lainnya. Itulah yang membuat sering kita melihat pemberitaan tentang TNI/Polri yang berhasil mengadakan perundingan damai kelompok seperatis namun konflik terus terjadi dengan kelompok seperatis yang lain.

Untuk mengetahui akar konflik perlu kita melihat sejarah singkat Papua dari kondisi penduduknya hingga alasan masuknya wilayah ini ke NKRI dan juga melihat kasus konflik di negara lain sebagai bahan perbandingan    

Keberagaman di Papua

Berdasarkan buku karya Jared Diamond yang berjudul "Guns, Gems, and Steel (Bedil, Kuman, & Baja)", Pulau Papua ini memiliki fragmentasi yang sangat tinggi. Ini terlihat dari 6.000 bahasa didunia 1.000 diantaranya berada pada pulau yang luasnya tidak jauh dengan negara bagian Texas, Amerika Serikat, dengan setiap Bahasa mayoritas hanya memiliki penutur 500 orang dan paling banyak 100.000 penutur. Fragementasi ini juga didukung dengan perang sporadis antar desa disana.

Selain itu medan yang sulit di Papua membuat isolasi geografi di pulau itu dan mengakibatkan terbatasnya masuknya teknologi atau gagasan dari daerah lain atau pulau lain yang berakibat pada penduduk pulau ini tertinggal dengan daerah lain di dunia dan diperparah dengan daerah sekitar Papua (Indonesia Timur & Benua Australia) tidak jauh berbeda kondisinya dengan Papua dan mengalami banyak perubahan ketika bangsa Eropa mulai memasuki daerah tersebut pada abad ke-15.

Persoalan Lama

Masuknya Papua menjadi bagian Indonesia sendiri sudah menjadi perdebatan bahkan sebelum bangsa Indonesia merdeka, yaitu Mohammad Hatta yang berargumen pada rapat BPUPKI, ia mengatakan bahwa Papua tidak perlu dimasukkan menjadi bagian Indonesia dan memiliki hak menjadi bangsa sendiri. 

Menurut Hatta jika memasakkan Papua menjadi bagian Indonesia hanya menimbulkan kesan imperalis bagi negara Indonesia yang buruk untuk citra Indonesia di dunia. Namun Hatta akan setuju Papua menjadi bagian Indonesia bila rakyat Papua sendiri yang menginginkannya.

Meski pada kenyataannya Indonesia terus memperjuangkan Papua bagian barat menjadi bagian NKRI. Pada mulanya sudah dilakukan dengan perjanjian dengan pihak Belanda seperi Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan dengan menunggu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda. 

Namun hal itu tidak kunjung terjadi yang membuat Presiden Soekarno menjalankan operasi militer yang dinamakan Operasi Trikora dengan tujuan mengambil alih Irian Barat dari Belanda. Dan memang dengan adanya Operasi Trikora ini membawa kemajuan untuk proses masuknya Irian Barat menjadi bagian Indonesia dengan muncul perjanjian New York yang akan membuat rakyat Papua akan memutuskan nasib mereka sendiri dengan referendum yang dikenal dengan nama Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969.

Kontroversi Pepera

Hasil dari Pepera sendiri memang menghasilkan keputusan yang mutlak dan dihadiri oleh utusan PBB, Australia, dan Belanda dengan 1025 orang dari 800.000 masyarakat Papua yang dianggap pemerintah Indonesia memiliki hak pilih memutuskan memlih masuk menjadi bagian Indonesia. Tetapi hasil ini banyak dicurigai banyak pihak selain para pemilih dipilih berdasarkan Jendral Sarwo Edhi Wibowo. 

Belum lagi adanya perjanjian izin tambang antara Indonesia dengan PT. Freeport McMaron pada tahun 1967 yang tentu saja menjadi sarat akan kepentingan.  Dan juga adanya dugaan intervensi dari pihak militer Indonesia untuk menekan orang-orang Papua untuk memilih bergabung dengan Indonesia.

Belajar dari kegagalan Amerika Serikat

Jika melihat sejarah Amerika Serikat (AS) yang seringkali melakukan invasi militer keberbagai daerah di Timur Tengah dan Vietnam sejak era Perang Dingin hingga Arab Spring diawal tahun 2000-an. Kesemua konflik yang dibawa AS di wilayah-wilayah tersebut tidak mampu menyelesaikan masalah, atau justru menimbulkan masalah baru yang lebih rumit.

Bisa dilihat pada munculnya Taliban dan Osama Bin Laden di Afghanistan tidak terlepas dari usaha AS untuk memendung Invansi Uni Soviet ke negeri tersebut dengan mempersenjatai dan melatih para anggota Taliban. Dan ketika berhasil memendung Uni Soviet, namun seperti yang kita ketahui dalam perkembangannya Taliban berkembang menjadi organisasi teroris yang membuat AS sampai harus menerjunkan pasukannya di Afghanistan selama bertahun-tahun yang memakan banyak korban jiwa dari sipil maupun militer tetapi gagal membereskan permasalahan Taliban yang justru pada tahun 2021 beberapa bulan setelah AS menarik pasukannya dari negeri itu yang menghabiskan biaya tidak sedikit dan kerusakan yang parah bagi negara itu, Taliban dengan mudahnya mengambil alih pemerintahan dan mendirikan pemerintahannya sendiri di Afghanistan.

Amy Chua dalam tulisannya pada buku "Political Tribes", menganalisis penyebab gagalnya negara adidaya AS untuk memusnahkan organisasi Taliban disebabkan para pembuat kebijakan AS hanya melihat Taliban sebagai organisasi Islam Radikal padahal kenyataannya ada gerakan etnis tertentu (etnis Pashtun) di dalam Taliban yang tidak dilihat oleh AS. Tidak melihat politik kesukuan di Afghanistan inilah yang membuat AS mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang keliru untuk Afghanistan terutama ketika bergabung dengan Aliansi Utara yang dipimpin oleh Panglima perang Tajik dan Uzbekistan, Abdul Rashid Dostum, yang dikenal banyak orang sebagai Anti-Pashtun bahkan tidak segan-segan membunuh pasukan Taliban meskipun banyak diantaranya yang sudah menyerah.

Penyelesaian konflik di Papua

Jika melihat penjelasan diatas tentu saja penempatan militer yang sangat besar di Papua yang didominasi oleh bukan orang Papua yang membuat seperti di Afghanistan hanya memperburuk usaha penyelesaian konflik di wilayah tersebut. Dan lagi masyarakat awam yang masih melihat penduduk Papua sebagai hanya satu etnis yang mendiami 2 provinsi Indonesia dan juga melihat gerakan OPM yang dianggap sebagai organisasi yang besar harus diubah.

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah berusaha melakukan upaya penyelesaian damai dengan membentuk Operasi Damai Cartenz yaitu kampanye pendekatan ke masyarakat Papua yang dilakukan oleh Polri.

Namun kita tidak bisa menampik permasalahan mengenai perekonomian dan pembangunan menjadi persoalan beberapa masalah dari kian banyak masalah yang tengah dihadapi di pulau dengan kekayaan mineral yang besar ini karena kebanyakan penghasilana atau keuntungan yang dihasilkan oleh aktvitas pertambangan di Papua lebih banyak diambil oleh Pemerintah Pusat, dan diperburuk dengan praktik korupsi oleh pejabat setempat yang sangat memperburuk pembangunan di Papua. Dan yang terbaru terkuaknya praktik korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe yang merupakan notabene orang asli Papua sendiri.

Pemerintahan Jokowi pun sebenarnya juga mengupayakan pembangunan di Papua dengan membagun sarana prasarana, khususnya jalan tol. Namun upaya ini masih dikritik oleh banyak pihak karena disamping perekonomian dan pembangunan, isu HAM dan diskriminasi justru meningkat di pemerintahan kedua Jokowi.

Melihat hal tersebut tentu pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan langkah serius untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Papua tidak hanya dengan memperbaiki perekonomian namun juga kesetaraan ras harus lebih diperhatikan. Kemudian keseriusan yang mendalam tidak hanya pemerintah pusat dan daerah saja, tetapi seluruh masyarakat Indonesia untuk juga perlu mengubah "mindset" mereka melihat orang Papua dan konflik yang sering terjadi di Papua supaya tidak menimbulkan kesalahpaham antara orang-orang Papua dengan masyarakat Indonesia lain.

Sumber rujukan:

Chua, A. (2019). Politik Kesukuan: Insting Kelompok dan Nasib Bangsa. Manado: Globalindo.

Diamond, J. (2018). Guns, Germ & Steel (Bedil, Kuman & Baja). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Firdausi, F.A. (2019). Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papau?. Tirto.id. diakses pada 11 Februari 2023 melalui https://tirto.id/sejarah-pepera-1969-upaya-lancung-ri-merebut-papua-egAj

Sitompul, Martin. (2019). Ketika Hatta Menolak Papua. Historia.id. diakses pada 11 Februari 2023 melalui https://historia.id/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ/page/1

https://www.merdeka.com/peristiwa/peta-tujuh-kelompok-kkb-papua-versi-bnpt.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun