Kilau mentari pagi begitu hangat mengenai seluruh badanku. Kulihat jam tangan menunjukan pukul 09.30. Tanpa terasa sudah sekitar empat puluh lima menit perjalanan dari Meruya menuju daerah Meruyung, sementara ini baru sampai jalan raya Jakarta-Bogor, Ciputat. Laju sepeda motor Revo aku bawa dalam kecepatan stabil tidak lebih dari 80 Km/jam. Pikirku, untuk apa buru-buru sampai ke rumah Pak Ali? Agendaku silahturahmi, bukan undangan rapat penting. Itulah mengapa sepanjang perjalanan aku nikmati pemandangan yang ada, pembangunan di daerah Ciputat ternyata cukup pesat, lama sekali aku tidak menyusuri jalan-jalan ini.
Pak Ali, sahabatku ini kukenal di suatu komunitas, usia di antara kami terpaut sangat jauh, ada sekitar tiga puluh tahunan, tetapi kalau sudah diskusi atau sharing tentang kehidupan mengarah ke spiritual, aku dan Pak Ali sudah seperti dandang ketemu tutupnya, bisa percakapan itu berjam-jam sampai lupa waktu. Pagi ini rencananya aku sempatkan diri sowan ke rumah Pak Ali, melepas rindu sudah lama sekali tidak diskusi dan sharing bersama, janjiku ke Pak Ali sebelum makan siang, sekitar jam 11.00 paling lambat sudah tiba.
Revo yang aku kendarai akhirnya mengukur jalan raya Meruyung, tak lama lagi mendekati kantor kelurahan, dan lokasi tempat tinggal Pak Ali tidak jauh dari situ. Akhirnya aku sampai di tujuan, tampak Pak Ali menyambutku dengan senyuman yang khasnya.
"Wah Mas Hari sampai juga ya?!" Sapa Pak Ali saat melihatku yang sedang membuka helm dan melepaskan jaket.
"Ha... Ha... Ha... Ya pasti sampai dong Pak, Saya sudah pernah ke sini sebelumnya, paling tidak ancer-ancer posisi masih ingat," jawabku ke Pak Ali, lantas kami bersalaman dan berpelukan akrab.
Jarak Meruya ke Meruyung yang cukup jauh, ada kira-kira 30 km, menjadi bahan pertimbanganku tidak sering bermain ke sini.
"Masuk Mas, silakan duduk dan anggap saja rumah sendiri ya?" ujar Pak Ali dengan ramah.
"Baik Pak, terima kasih," jawabku dengan sopan kepada pribadi yang usianya seperti ayahku.
"Bagaimana kabar, sehat?" tanya Pak Ali kepadaku dengan penuh perhatian.
"Sehat dan bahagia, Pak!" jawabku dengan tegas. Lalu aku bertanya: "Bapak sendiri bagaimana nih? Sehat?"
"Alhamdulillah Mas, sehat!" jawab Pak Ali sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
"Mas Hari mau minum apa? Kopi, teh, atau apa?" tawar Pak Ali.
"Kopi boleh, Pak tetapi pahit tanpa gula ya kalau bisa," pintaku.
"Oke Mas, tunggu ya." Pak Ali menjawab sambil masuk ke dalam.
Tak lama kemudian, keluarlah Pak Ali dengan nampan berisi dua cangkir kopi dan singkong rebus dalam piring. Hidangan sederhana menemani diskusi dan sharing kami pagi itu.
"Keluarga sehat-sehat, Mas?" tanya Pak Ali kepadaku sambil duduk ke atas sofa yang ada di ruang tamu.
"Keluarga sehat semua, Pak, bersyukur semuanya baik-baik," jawabku sambil mendinginkan kopi yang masih panas dalam cangkir.
"Mas tadi dari rumah langsung ke sini?" tanya Pak Ali.
"Oh tadi sekalian anter keponakan ke stasiun kereta, dia mau naik KRL," jawabku ke Pak Ali, seraya tanganku mengambil singkong rebus yang menggoda di atas piring.
"Mas Hari tahu tidak? Saya ini tukang ojek yang mengantar orang pulang ke rumah." Pak Ali bertanya sambil menatap tajam ke arahku, tatapannya serius dan tanpa senyum khasnya.
"Maksudnya bagaimana, Pak Ali?" tanyaku balik. Ada perasaan heran, bingung dan penasaran dengan maksud pertanyaan Pak Ali. Pengalamanku selama ini bersama Pak Ali, setiap pembicaraan bisa menjadi awal sharing atau diskusi kehidupan dan spiritual. Itulah mengapa aku siap-siap dengan kejutan selanjutnya.
"Mas, biasanya tukang ojek itu, anter penumpang dengan tujuan ke luar rumah. Ya seperti Mas Hari tadi, Mas anter keponakan ke stasiun, itu artinya Mas Hari anternya ke luar rumah, kan?" Pak Ali mencoba memberi penjelasan perlahan-lahan dengan contoh yang sederhana dan biasa terjadi.
"Nah, saya ini anterin penumpang balik pulang ke rumahnya, bukan ke luar rumah atau makin menjauh dari rumahnya." jawab Pak Ali sambil tersenyum khas, ia puas membuat diriku makin bingung dan belum menemukan apa yang dimaksud Pak Ali dari pernyataan sebelumnya.
Pak Ali tertawa. "Mas Hari bingung sepertinya, ya?" tanya Pak Ali sambil memainkan rokoknya yang tinggal setengah batang itu.
"Itu perumpamaan Mas, jangan terlalu dipikir serius, bisa cepat tua nanti." Pak Ali akhirnya memberi jawaban sambil senyumnya khasnya.
Aku masih diam, mencoba mencerna apa yang dimaksud Pak Ali. Tukang ojek yang mengantar pulang ke rumahnya, bukan antar ke tujuan luar rumah seperti kantor, stasiun, pasar atau lokasi lainnya. Tanganku meraih cangkir isi kopi yang tinggal setengah isinya.
"Jadi kongkritnya bagaimana ya, Pak?" tanyaku lalu mencecap kopi. Otakku sambil berpikir mencoba menyerap apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pak Ali merapikan sikap duduknya, ia mengambil posisi lebih santai dari sebelumnya. Ia nyalakan batang rokok baru sebelum memulai percakapan lebih mendalam dan serius. Matanya menatap lurus ke arahku sambil tersenyum.
"Mas Hari. Maksud perumpamaan tadi itu adalah," Pak Ali berhenti sejenak, ia menarik dengan lembut isapan tembakau dalam rokoknya.
"Orang-orang yang datang ke saya, akan saya ajak untuk masuk ke dalam dirinya, yaitu pulang kembali ke asalnya." Pak Ali beri penjelasan dengan tenang sambil mengisap rokoknya lebih dalam.
"Banyak orang sekarang ini tersesat atau menyesatkan dirinya, mereka lupa jalan pulang kembali ke rumah. Mereka semakin menjauh dari rumahnya, jauh dari dirinya sendiri." Pak Ali lalu melanjutkan. "Ego manusia yang menciptakan ini semua. Mereka sibuk mencari kebahagian yang di luar diri. Harta, tahta dan wanita kalau untuk lelaki. Kesenangan semu yang tidak abadi," jelas Pak Ali dengan suaranya yang tenang dan lembut.
"Lalu bagaimana dengan pemuka agama dan ahli kitab itu?" tanyaku dengan penuh semangat. Â Alur diskusi sudah mulai ini, lebih baik tanya lebih dalam saja ke Pak Ali, pikirku dalam diri.
"Pemuka agama, ahli kitab atau pemimpinnya seperti ustaz, pastor, pendeta, banthe dan lain-lain, ya ada beberapa orang yang sudah mengantarkan umatnya pulang kembali ke rumahnya, tetapi ada juga yang membuat jebakan kemelekatan, jangan sampai pengikutnya tahu jalan pulang supaya mereka bisa mendapatkan keuntungan finansial dari situ," jawab Pak Ali dengan mimik muka yang tegas, tenang dan meyakinkan.
Lantas Pak Ali mencoba menyamakan para oknum pemuka agama yang tidak menunjukan jalan pulang ke rumah dengan profesi calo yang menjual tiket bis di terminal dan mereka tidak ikut naik sampai tujuan.
"Saya dalam hal ini bukan memusuhi mereka, Mas." Pak Ali mencoba menenangkan diriku yang masih meraba-raba arah diskusi.
Kali itu Pak Ali menyampaikan tentang pesan para sesepun di mana hal itu tidak ada yang benar atau salah. Adanya mengerti atau belum mengerti. Jika seseorang belum sampai tahap pengertian ya memang tidak akan mengerti. Pak Ali memberi penjelasan sambil mengutip pesan sesepuh: Di dunia ini ada dua golongan, mengerti atau belum mengerti. Kalau ukurannya salah atau benar, itu semua berdasarkan jumlah suara mayoritas terbanyak ketika  salah atau benar.
 Aku pun mencoba mengingat kembali pesan sesepuh dalam buku atau ceramah yang disampaikan kepada kami semua saat beliau masih ada. Percakapan kami seru sekali, tanpa terasa sudah waktunya makan siang. Kami pun santap siang bersama dengan menu buatan istri Pak Ali. Sayur asem, ikan cuek balado dan tahu tempe goreng. Selama makan, pikiranku melayang memikirkan percakapan tukang ojek pulang ke rumah dibandingkan dengan calo.
Akhirnya sekitar jam tiga sore aku pamitan pulang, banyak hal yang bisa dibawa sebagai bahan permenungan dan refleksi dari pertemuan dengan Pak Ali. Sepanjang perjalanan pulang, aku memikirkan diskusi tadi. Laju sepeda motor kubawa dengan santai menikmati suasana sore yang indah.
Sampai di rumah segera bebersih diri lalu santai di kamar. Pada saat itu aku menemukan pengertian: Pulang ke rumah. Selama ini banyak orang pergi meninggalkan rumah tetapi lupa jalan pulang. Padahal, yang seharusnya, sejauh kaki melangkah pada akhirnya pulang ke rumah juga.
Pengertian itu kemudian aku tulis di catatan pribadi: Pulang ke rumah itu ya artinya, masuk ke dalam diri sendiri, kenali diri, bukan mengenal pribadi orang lain. Saat itu aku juga teringat kutipan Aristoteles yang mengatakan Knowing yourself is the beginning of all wisdom. Sejatinya dalam setiap agama ada. Masuk kembali ke diri pribadi masing-masing. Masalahnya, apakah mau atau tidak melakukannya.
Aku bersyukur bisa sharing dan diskusi dengan Pak Ali. Aku ingin berterima kasih kepadanya melaui pesan WA. Aku mengatakan bahwa banyak hal yang bisa kudapatkan darinya. Hal itu memang tidak mudah diterapkan tetapi setidaknya ada sesuatu yang bisa aku pelajari. Semua membutuhkan proses. Ya hidup sebaiknya terus diperbaharui, Vita est semper renovanda. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H